PERAN
GURU DALAM BIMBINGAN KONSELING DI SEKOLAH
Disusun
oleh
ANGGORO
TRI H. (090401080157)
LUSIANTO
EKO P. (090401080021)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
KANJURUHAN MALANG
2012
BAB
I
PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG
Dalam proses pendidikan, semua stakeholder yang terkait
dengan proses tersebut mempunyai peran dan tanggungjawab sesuai dengan apa yang
dibutuhkan. Masing-masing peran tersebut harus berjalan secara sinergis saling melengkapi
sehingga membentuk sustu sistem yang harmonis. Dari peran-peran yang ada, peran
guru bimbingan dan konseling sangat diperlukan sehingga kegiatan belajar dapat
berlangsung dengan baik sesuai dengan apa yang diharapkan. Bimbingan dan
konseling merupakan pelayanan dari, untuk, dan oleh manusia memiliki pengertian
yang khas. Dengan bimbingan dan konseling tersebut, siswa akan melakukan
aktifitas belajar sesuai dengan apa yang telah ditentukan, atau telah diatur
dalam suatu aturan (norma). Sebagaimana dikemukakan oleh Moeliono (1993:
208) bahwa disiplin adalah ketaatan (kepatuhan) kepada peraturan tata tertib,
aturan, atau norma.
Upaya peningkatan pendidikan berkaitan dengan upaya
peningkatan kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia
merupakan faktor penting dalam menunjang keberhasilan pembangunan yang
dilakukan oleh suatu bangsa. Tidak sedikit pakar dari berbagai cabang
ilmu pengetahuan di dunia ini mempunyai pendapat demikian. Frederick Harbison
(1961 dalam Todaro, 1999 : 455) yang menyatakan bahwa:
Sumber daya manusia merupakan modal dasar dari kekayaan
suatu bangsa. Modal fisik dan sumber daya alam hanyalah faktor produksi yang
pada dasarnya bersifat pasif. Manusia yang merupakan agen-agen aktif akan
mengumpulkan modal, mengeksploitasikan sumber daya alam, membangun berbagai
macam organisasi sosial, ekonomi dan politik, serta melaksanakan pembangunan
nasional. Dengan demikian jika suatu negara tidak segera mengembangkan keahlian
dan pengetahuan rakyatnya, maka Negara tersebut tidak akan dapat mengembangkan
apa pun.
Pendapat di atas dapat dilihat kebenarannya dari kondisi
penanganan pendidikan di berbagai Negara dengan kondisi kemajuan kehidupan
sosial ekonominya. Negara yang terkenal melimpah dengan kekayaan sumber daya
alam tetapi kurang memperhatikan pengembangan sumber daya manusia melalui
sistem pendidikan yang dapat mendorong peningkatan kualitas sumber daya
manusia akan kalah tingkat kemakmurannya jika dibandingkan dengan Negara yang
kurang beruntung dalam hal kekayaan sumber daya alam tetapi berhasil
mengembangkan sistem pendidikan yang dapat berperan untuk mendorong peningkatan
kualitas sumber daya alam.
Berdasarkan undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20
Tahun 2003 pasal 3 dinyatakan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Mahaesa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sejalan dengan tujuan pendidikan nasional maka dirumuskan
tujuan pendidikan dasar yakni memberi bekal kemampuan dasar kepada siswa untuk
mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara
dan anggota umat manusia serta mempersiapkan siswa untuk mengikuti pendidikan
menengah (pasal 3 PP nomor 28 tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar). Pendidikan
merupakan salah satu pilar utama dalam rangka pembangunan suatu bangsa.
Pendidikan merupakan sebuah modal dasar bagaimana bangsa bisa tumbuh dan
berkembang dalam menghadapi berbagai macam perkembangan dunia dan perkembangan
masa yang semakin menantang. Dalam pendidikan terkandung berbagai macam aspek,
salah satu diantaranya adalah proses belajar mengajar yang menjadi ujung tombak
dimana para peserta didik yakni generasi muda bangsa mendapatkan sebuah ilmu
dan berbagai pemahaman tentang berbagai macam pengetahuan.
Proses pembelajaran atau belajar mengajar ini mencakup
beberapa aspek atau unsur utama, yakni guru dan murid (peserta didik). Guru
atau pengajar merupakan individu-individu yang memiliki tugas dan peranan
penting dalam memberikan dan mentransfer pengetahuan kepada para peserta
didiknya,sedangkan murid atau peserta didik adalah individu-individu yang
berusaha mempelajari segenap pengetahuan yang diajarkan,diberikan dan
dijelaskan oleh para pengajar. Dengan kata lain, guru adalah seorang yang
bertugas menyampaikan materi pelajaran sedangkan murid adalah individu yang
berhak mendapatkan materi pelajaran dengan berbagai macam penjelasannya.
Pada perkembangannya, tugas seorang guru kini semakin
terlihat semakin kompleks. Guru yang hanya bisa menyampaikan materi pelajaran
kepada murid-murinya hanya akan menjadi seorang guru yang terlalu kaku terhadap
murid-muridnya, apalagi jika ditambah dengan tanpa adanya bimbingan terhadap
murid-muridnya yang akan membuat hubungan guru-murid semakin kaku.Ini terasa
cukup untuk menggambarkan, bahwa tugas guru bukanlah hanya untuk menyampaikan
segudang materi dengan teori-teori konsep yang begitu rumit,tetapi seorang guru
juga memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memberikan bimbingan serta
konseling kepada para peserta didiknya untuk menyelesaikan persoalan yang
dihadapi oleh para murid sehingga pembelajaran yang diberikan tidak hanya
terpancang pada materi pelajaran yang diberikan tetapi kini ditambah dengan
bimbingan yang akan semakin membantu siswa dalam mengatasi persoalan baik dalam
masalah pembelajaran materi maupun di luar pembelajaran sekolah.
Bimbingan merupakan bantuan kepada individu dalam menghadapi
persoalan-persoalan yang dapat timbul dalam hidupnya. Bantuan semacam itu
sangat tepat jika diberikan di sekolah, supaya setiap siswa lebih berkembang ke
arah yang semaksimal mungkin. Dengan demikian bimbingan menjadi bidang layanan
khusus dalam keseluruhan kegiatan pendidikan sekolah yang ditangani oleh
tenaga-tenaga ahli dalam bidang tersebut.
Lebih lanjut Priyanto mengemukakan bahwa permasalahan yang
dialami oleh para siswa di sekolah sering kali tidak dapat dihindari meski
dengan pengajaran yang baik sekalipun. Hal tersebut juga disebabkan oleh
karena sumber-sumber permasalahan siswa banyak yang disebabkan oleh hal-hal di
luar sekolah. Dalam hal ini permasalahan siswa tidak boleh dibiarkan begitu
saja, termasuk perilaku siswa yang tidak dapat mengatur waktu untuk melakukan
aktifitas belajar sesuai apa yang dibutuhkan, diatur, atau diharapkan. Apabila
para siswa tersebut belajar sesuai dengan kehendak sendiri dalam arti tanpa
aturan yang jelas, maka upaya belajar siswa tersebut tidak dapat berjalan
dengan efektif. Apalagi tantangan kehidupan sosial dewasa ini semakin kompleks,
termasuk tantangan dalam mengalokasikan waktu. Dalam hal ini jika pengaturan
waktu berdasarkan kesadaran sendiri maupun arahan pihak lain tidak dilakukan
dengan disiplin maka semuanya akan menjadi kacau. Demikian pula dengan
kedisiplinan siswa dalam melakukan aktifitas belajar dipadukan aktifitas lain
dalam kehidupan sehari-hari. Disinilah perlakuan guru bimbingan dan konseling
diperlukan untuk mendampingi mereka.
Melihat begitu kompleksnya tugas seorang guru serta begitu
pentingnya bimbingan dan konseling bagi siswa-siswi di sekolah, maka saya
bermaksud untuk memaparkan sebuah makalah yang akan membahas dan mengupas lebih
jauh tentang peranan guru dalam rangka pelaksanaan bimbingan dan konseling di
sekolah.
BAB
II
PEMBAHASAN
- KONSEP DAN PENGERTIAN BIMBINGAN KONSELING
Kehadiran guru bimbingan dan konseling (guru BK) di
Indonesia masih relatif baru. Pada awal 1970-an, profesi ini baru diperkenalkan
di negeri ini. Di negeri Paman Sam tempat dilahirkannya profesi ini; guru BK
dikenal dengan istilah scholl counselor (konselor sekolah). Di Indonesia, pada
awalnya dikenal dengan sebutan guru BP (bimbingan penyuluhan). Karena dalam
konteks tugas istilah “konseling” lebih sesuai daripada “penyuluhan”, pada
tahap selanjutnya sebutan guru BP berubah menjadi guru BK (bimbingan
konseling).
Pada beberapa daerah ada pula guru BP yang disebut dengan
istilah guru pembimbing. Akhir-akhir ini, penggunaan sebutan “konselor” lebih
dianjurkan.
Dalam UU Nomor 20 tahun 2003 Pasal 1 Ayat (6) disebut
istilah “konselor” untuk profesi pendidik ini. Lebih lanjut dalam buku Rambu-Rambu
Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal yang
dikeluarkan Dirjen PMPTK Depdiknas tahun 2007, dijelaskan pendidikan minimal
konselor adalah sarjana (S1) program studi bimbingan dan konseling. Diharapkan
setelah lulus pendidikan akademik dan memperoleh gelar sarjana pendidikan
(S.Pd) jurusan bimbingan dan konseling, lulusan dapat melanjutkan pendidikan
profesi konselor (PPK).
Dasar pemikiran penyelenggaraan bimbingan dan konseling di
Sekolah/Madrasah, bukan semata-mata terletak pada ada atau tidak adanya
landasan hukum (perundang-undangan) atau ketentuan dari atas, namun yang lebih
penting adalah menyangkut upaya memfasilitasi peserta didik yang selanjutnya
disebut konseli, agar mampu mengembangkan potensi dirinya atau mencapai
tugas-tugas perkembangannya (menyangkut aspek fisik, emosi, intelektual,
sosial, dan moral-spiritual).
Konseli sebagai seorang individu yang sedang berada dalam
proses berkembang atau menjadi (on becoming), yaitu berkembang ke arah
kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai kematangan tersebut, konseli
memerlukan bimbingan karena mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan
tentang dirinya dan lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah
kehidupannya. Disamping itu terdapat suatu keniscayaan bahwa proses
perkembangan konseli tidak selalu berlangsung secara mulus, atau bebas dari
masalah. Dengan kata lain, proses perkembangan itu tidak selalu berjalan dalam
alur linier, lurus, atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang
dianut.
Perkembangan konseli tidak lepas dari pengaruh lingkungan,
baik fisik, psikis maupun sosial. Sifat yang melekat pada lingkungan adalah
perubahan. Perubahan yang terjadi dalam lingkungan dapat mempengaruhi gaya
hidup (life style) warga masyarakat.
Apabila perubahan yang terjadi itu sulit diprediksi, atau di
luar jangkauan kemampuan, maka akan melahirkan kesenjangan perkembangan
perilaku konseli, seperti terjadinya stagnasi (kemandegan) perkembangan,
masalah-masalah pribadi atau penyimpangan perilaku. Perubahan lingkungan yang
diduga mempengaruhi gaya hidup, dan kesenjangan perkembangan tersebut, di
antaranya: pertumbuhan jumlah penduduk yang cepat, pertumbuhan kota-kota,
kesenjangan tingkat sosial ekonomi masyarakat, revolusi teknologi informasi,
pergeseran fungsi atau struktur keluarga, dan perubahan struktur masyarakat
dari agraris ke industri.
Iklim lingkungan kehidupan yang kurang sehat, seperti :
maraknya tayangan pornografi di televisi dan VCD; penyalahgunaan alat
kontrasepsi, minuman keras, dan obat-obat terlarang/narkoba yang tak
terkontrol; ketidak harmonisan dalam kehidupan keluarga; dan dekadensi moral
orang dewasa sangat mempengaruhi pola perilaku atau gaya hidup konseli
(terutama pada usia remaja) yang cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah moral
(akhlak yang mulia), seperti: pelanggaran tata tertib Sekolah/Madrasah,
tawuran, meminum minuman keras, menjadi pecandu Narkoba atau NAPZA (Narkotika,
Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya, seperti: ganja, narkotika, ectasy,
putau, dan sabu- sabu), kriminalitas, dan pergaulan bebas (free sex).
Penampilan perilaku remaja seperti di atas sangat tidak
diharapkan, karena tidak sesuai dengan sosok pribadi manusia Indonesia yang
dicita-citakan, seperti tercantum dalam tujuan pendidikan nasional (UU No. 20
Tahun 2003), yaitu: (1) beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2)
berakhlak mulia, (3) memiliki pengetahuan dan keterampilan, (4) memiliki
kesehatan jasmani dan rohani, (5) memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri,
serta (6) memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan
tersebut mempunyai implikasi imperatif (yang mengharuskan) bagi semua tingkat
satuan pendidikan untuk senantiasa memantapkan proses pendidikannya secara
bermutu ke arah pencapaian tujuan pendidikan tersebut.
Bimbingan merupakan terjemahan dari guidance yang
didalamnya terkandung beberapa makna. Sertzer & Stone (1966) menemukakan
bahwa guidance berasal kata guide yang mempunyai arti to
direct, pilot, manager, or steer (menunjukkan, menentukan, mengatur, atau mengemudikan).
Sedangkan menurut W.S. Winkel (1981) mengemukakan bahwa guidance
mempunyai hubungan dengan guiding: “ showing a way” (menunjukkan jalan),
leading (memimpin), conducting (menuntun), giving instructions
(memberikan petunjuk), regulating (mengatur), governing (mengarahkan)
dan giving advice (memberikan nasehat).
Untuk memahami lebih jauh tentang pengertian bimbingan, di
bawah ini dikemukakan pendapat dari beberapa ahli :
Miller (I. Djumhur dan Moh. Surya, 1975) mengartikan
bimbingan sebagai proses bantuan terhadap individu untuk mencapai pemahaman
diri yang dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian diri secara maksimum di
sekolah, keluarga dan masyarakat.
Peters dan Shertzer (Sofyan S. Willis, 2004) mendefiniskan
bimbingan sebagai : the process of helping the individual to understand himself
and his world so that he can utilize his potentialities.
United States Office of Education (Arifin, 2003) memberikan
rumusan bimbingan sebagai kegiatan yang terorganisir untuk memberikan bantuan
secara sistematis kepada peserta didik dalam membuat penyesuaian diri terhadap
berbagai bentuk problema yang dihadapinya, misalnya problema kependidikan,
jabatan, kesehatan, sosial dan pribadi. Dalam pelaksanaannya, bimbingan harus
mengarahkan kegiatannya agar peserta didik mengetahui tentang diri pribadinya
sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Jones et.al. (Sofyan S. Willis, 2004) mengemukakan :
“guidance is the help given by one person to another in making choice and
adjusment and in solving problem.
Djumhur dan Moh. Surya, (1975) berpendapat bahwa bimbingan
adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis kepada
individu dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, agar tercapai kemampuan
untuk dapat memahami dirinya (self understanding), kemampuan untuk menerima
dirinya (self acceptance), kemampuan untuk mengarahkan dirinya (self direction)
dan kemampuan untuk merealisasikan dirinya (self realization) sesuai dengan
potensi atau kemampuannya dalam mencapai penyesuaian diri dengan lingkungan,
baik keluarga, sekolah dan masyarakat.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990 tentang
Pendidikan Menengah dikemukakan bahwa “Bimbingan merupakan bantuan yang
diberikan kepada peserta didik dalam rangka menemukan pribadi, mengenal
lingkungan, dan merencanakan masa depan”.
Prayitno, dkk. (2003) mengemukakan bahwa bimbingan dan
konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan
maupun kelompok agar mandiri dan berkembang secara optimal, dalam bimbingan
pribadi, bimbingan sosial, bimbingan belajar, dan bimbingan karier, melalui
berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung, berdasarkan norma-norma yang
berlaku.
M. Surya (1988:12) berpendapat bahwa bimbingan adalah suatu
proses pemberian atau layanan bantuan yang terus menerus dan sistematis dari
pembimbing kepada yang dibimbing agar tercapai perkembangan yang optimal dan
penyesuaian diri dengan lingkungan.
Bimbingan ialah penolong individu agar dapat mengenal
dirinya dan supaya individu itu dapat mengenal serta dapat memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi di dalam kehidupannya (Oemar Hamalik, 2000:193).
Bimbingan adalah suatu proses yang terus-menerus untuk
membantu perkembangan individu dalam rangka mengembangkan kemampuannya secara
maksimal untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya, baik bagi dirinya
maupun bagi masyarakat (Tim Pengembangan MKDK IKIP Semarang, 1990:11).
Dari beberapa pendapat di atas, tampaknya para ahli masih
beragam dalam memberikan pengertian bimbingan, kendati demikian kita dapat
melihat adanya benang merah, bahwa : Bimbingan pada hakekatnya merupakan upaya
untuk memberikan bantuan kepada individu atau peserta didik. Bantuan dimaksud
adalah bantuan yang bersifat psikologis. Tercapainya penyesuaian diri,
perkembangan optimal dan kemandirian merupakan tujuan yang ingin dicapai dari
bimbingan.
Bimbingan konseling adalah salah satu komponen yang penting
dalam proses pendidikan sebagai suatu sistem. Hal ini sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh Tim Pengembangan MKDK IKIP Semarang bahwa proses pendidikan
adalah proses interaksi antara masukan alat dan masukan mentah. Masukan mentah
adalah peserta didik, sedangkankan masukan alat adalah tujuan pendidikan,
kerangka, tujuan dan materi kurikulum, fasilitas dan media pendidikan, system
administrasi dan supervisi pendidikan, sistem penyampaian, tenaga pengajar,
sistem evaluasi serta bimbingan konseling (Tim Pengembangan MKDK IKIP Semarang,
1990:58).
Selain itu, dapat ditarik sebuah inti sari bahwa bimbingan
dalam penelitian ini merupakan suatu bentuk bantuan yang diberikan kepada
individu agar dapat mengembangkan kemampuannya seoptimal mungkin, dan membantu
siswa agar memahami dirinya (self understanding), menerima dirinya (self
acceptance), mengarahkan dirinya (self direction), dan merealisasikan dirinya
(self realization).
Konseling adalah proses pemberian yang dilakukan melalui
wawancara konseling oleh seorang ahli kepada individu yang sedang mengalami
suatu masalah yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi oleh klien
(Prayitno, 1997:106).
Konseling merupakan upaya bantuan yang diberikan kepada
seseorang supaya dia memperoleh konsep diri dan kepercayaan pada diri sendiri,
untuk dimanfaatkan olehnya dan memperbaiki tingkah lakunya pada masa yang akan
datang (Mungin Eddy Wibowo, 1986:39). Dari pengertin tersebut, dapat penulis
sampaikan ciri-ciri pokok konseling, yaitu:
(1)
Adanya bantuan dari seorang ahli,
(2)
Proses pemberian bantuan dilakukan dengan wawancara konseling,
(3) Bantuan diberikan kepada individu yang mengalami masalah agar memperoleh konsep
diri dan kepercayaan diri dalam mengatasi masalah guna memperbaiki tingkah
lakunya di masa yang akan datang.
Dalam konteks pemberian layanan bimbingan konseling,
Prayitno (1997:35-36) mengatakan bahwa pemberian layanan bimbingan konseling
meliputi layanan orientasi, informasi, penempatan dan penyaluran, pembelajaran,
konseling perorangan, bimbingan kelompok, dan konseling kelompok.
Dalam
Pedoman Kurikulum Berbasis Kompetensi bidang Bimbingan Konseling tersirat bahwa
suatu sistem layanan bimbingan dan konseling berbasis kompetensi tidak mungkin
akan tercipta dan tercapai dengan baik apabila tidak memiliki sistem
pengelolaan yang bermutu. Artinya, hal itu perlu dilakukan secara jelas,
sistematis, dan terarah. Untuk itu diperlukan guru pembimbing yang profesional
dalam mengelola kegiatan Bimbingan Konseling berbasis kompetensi di sekolah
dasar.
1.
PERANAN GURU DALAM BIMBINGAN
KONSELING
Peran
guru dalam bimbingan konseling, meliputi :
1.
Peran guru kelas/mata pelajaran
Di
sekolah, tugas dan tanggung jawab utama guru adalah melaksanakan kegiatan
pembelajaran siswa. Kendati demikian, bukan berarti dia sama sekali lepas
dengan kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling. Peran dan konstribusi guru
mata pelajaran tetap sangat diharapkan guna kepentingan efektivitas dan efisien
pelayanan Bimbingan dan Konseling di sekolah. Bahkan dalam batas-batas tertentu
guru pun dapat bertindak sebagai konselor bagi siswanya. Wina Senjaya (2006)
menyebutkan salah satu peran yang dijalankan oleh guru yaitu sebagai pembimbing
dan untuk menjadi pembimbing baik guru harus memiliki pemahaman tentang anak
yang sedang dibimbingnya. Sementara itu, berkenaan peran guru mata pelajaran
dalam bimbingan dan konseling, Sofyan S. Willis (2005) mengemukakan bahwa
guru-guru mata pelajaran dalam melakukan pendekatan kepada siswa harus
manusiawi-religius, bersahabat, ramah, mendorong, konkret, jujur dan asli,
memahami dan menghargai tanpa syarat. Prayitno (2003) memerinci peran, tugas
dan tanggung jawab guru-guru mata pelajaran dalam bimbingan dan konseling
adalah :
1.
Membantu memasyarakatkan pelayanan
bimbingan dan konseling kepada siswa
2.
Membantu guru pembimbing/konselor
mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan layanan bimbingan dan konseling,
serta pengumpulan data tentang siswa-siswa tersebut.
3.
Mengalih tangankan siswa yang
memerlukan pelayanan bimbingan dan konseling kepada guru pembimbing/konselor
4.
Menerima siswa alih tangan dari guru
pembimbing/konselor, yaitu siswa yang menuntut guru pembimbing/konselor
memerlukan pelayanan pengajar /latihan khusus (seperti pengajaran/ latihan
perbaikan, program pengayaan).
5.
Membantu mengembangkan suasana
kelas, hubungan guru-siswa dan hubungan siswa-siswa yang menunjang pelaksanaan
pelayanan pembimbingan dan konseling.
6.
Memberikan kesempatan dan kemudahan
kepada siswa yang memerlukan layanan/kegiatan bimbingan dan konseling untuk
mengikuti /menjalani layanan/kegiatan yang dimaksudkan itu.
7.
7)
Berpartisipasi dalam kegiatan khusus penanganan masalah siswa, seperti
konferensi kasus.
8.
Membantu pengumpulan informasi yang
diperlukan dalam rangka penilaian pelayanan bimbingan dan konseling serta upaya
tindak lanjutnya.
Implementasi
kegiatan BK dalam pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi sangat menentukan
keberhasilan proses belajar-mengajar. Oleh karena itu peranan guru kelas dalam
pelaksanaan kegiatan BK sangat penting dalam rangka mengefektifkan pencapaian
tujuan pembelajaran yang dirumuskan.
Sardiman
(2001:142) menyatakan bahwa ada sembilan peran guru dalam kegiatan BK, yaitu:
1.
Informator, guru diharapkan sebagai
pelaksana cara mengajar informatif, laboratorium, studi lapangan, dan sumber
informasi kegiatan akademik maupun umum.
2.
Organisator, guru sebagai pengelola
kegiatan akademik, silabus, jadwal pelajaran dan lain-lain.
3.
Motivator, guru harus mampu
merangsang dan memberikan dorongan serta reinforcement untuk mendinamisasikan
potensi siswa, menumbuhkan swadaya (aktivitas) dan daya cipta (kreativitas)
sehingga akan terjadi dinamika di dalam proses belajar-mengajar.
4.
Director, guru harus dapat membimbing
dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan yang
dicita-citakan.
5.
Inisiator, guru sebagai pencetus ide
dalam proses belajar-mengajar.
6.
Transmitter, guru bertindak selaku
penyebar kebijaksanaan dalam pendidikan dan pengetahuan.
7.
Fasilitator, guru akan memberikan
fasilitas atau kemudahan dalam proses belajar-mengajar.
8.
Mediator, guru sebagai penengah
dalam kegiatan belajar siswa.
9.
Evaluator, guru mempunyai otoritas
untuk menilai prestasi anak didik dalam bidang akademik maupun tingkah laku
sosialnya, sehingga dapat menentukan bagaimana anak didiknya berhasil atau
tidak.
Sedangkan
dalam pengertian pendidikan yang terbatas, Abin Syamsuddin dengan mengutip
pemikiran Gage dan Berliner, mengemukakan peran guru dalam proses pembelajaran
peserta didik, yang mencakup :
1.
Guru sebagai perencana (planner)
yang harus mempersiapkan apa yang akan dilakukan di dalam proses belajar
mengajar (pre-teaching problems).;
2.
Guru sebagai pelaksana (organizer),
yang harus dapat menciptakan situasi, memimpin, merangsang, menggerakkan, dan
mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana, di mana ia
bertindak sebagai orang sumber (resource person), konsultan kepemimpinan
yang bijaksana dalam arti demokratik & humanistik (manusiawi) selama proses
berlangsung (during teaching problems).
3.
Guru sebagai penilai (evaluator)
yang harus mengumpulkan, menganalisa, menafsirkan dan akhirnya harus memberikan
pertimbangan (judgement), atas tingkat keberhasilan proses pembelajaran,
berdasarkan kriteria yang ditetapkan, baik mengenai aspek keefektifan prosesnya
maupun kualifikasi produknya.
Selanjutnya,
dalam konteks proses belajar mengajar di Indonesia, Abin Syamsuddin menambahkan
satu peran lagi yaitu sebagai pembimbing (teacher counsel), di mana guru
dituntut untuk mampu mengidentifikasi peserta didik yang diduga mengalami
kesulitan dalam belajar, melakukan diagnosa, prognosa, dan kalau masih dalam
batas kewenangannya, harus membantu pemecahannya (remedial teaching).
Di
lain pihak, Moh. Surya (1997) mengemukakan tentang peranan guru di sekolah,
keluarga dan masyarakat. Di sekolah, guru berperan sebagai perancang
pembelajaran, pengelola pembelajaran, penilai hasil pembelajaran peserta didik,
pengarah pembelajaran dan pembimbing peserta didik. Sedangkan dalam keluarga, guru
berperan sebagai pendidik dalam keluarga (family educator). Sementara itu di
masyarakat, guru berperan sebagai pembina masyarakat (social developer), penemu
masyarakat (social inovator), dan agen masyarakat (social agent).
Lebih
jauh, dikemukakan pula tentang peranan guru yang berhubungan dengan aktivitas
pengajaran dan administrasi pendidikan, diri pribadi (self oriented), dan dari
sudut pandang psikologis.
Dalam
hubungannya dengan aktivitas pembelajaran dan administrasi pendidikan, guru
berperan sebagai :
1.
Pengambil inisiatif, pengarah, dan
penilai pendidikan;
2.
Wakil masyarakat di sekolah, artinya
guru berperan sebagai pembawa suara dan kepentingan masyarakat dalam
pendidikan;
3.
Seorang pakar dalam bidangnya, yaitu
menguasai bahan yang harus diajarkannya;
4.
Penegak disiplin, yaitu guru harus
menjaga agar para peserta didik melaksanakan disiplin;
5.
Pelaksana administrasi pendidikan,
yaitu guru bertanggung jawab agar pendidikan dapat berlangsung dengan baik;
6.
Pemimpin generasi muda, artinya guru
bertanggung jawab untuk mengarahkan perkembangan peserta didik sebagai generasi
muda yang akan menjadi pewaris masa depan; dan
7.
Penterjemah kepada masyarakat, yaitu
guru berperan untuk menyampaikan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi kepada masyarakat.
Di pandang dari segi diri-pribadinya (self oriented), seorang guru berperan sebagai :
1.
Pekerja sosial (social worker),
yaitu seorang yang harus memberikan pelayanan kepada masyarakat;
2.
Pelajar dan ilmuwan, yaitu seorang
yang harus senantiasa belajar secara terus menerus untuk mengembangkan
penguasaan keilmuannya;
3.
Orang tua, artinya guru adalah wakil
orang tua peserta didik bagi setiap peserta didik di sekolah;
4.
model keteladanan, artinya guru
adalah model perilaku yang harus dicontoh oleh mpara peserta didik; dan
5.
Pemberi keselamatan bagi setiap
peserta didik. Peserta didik diharapkan akan merasa aman berada dalam didikan
gurunya.
Dari
sudut pandang secara psikologis, guru berperan sebagai :
1.
Pakar psikologi pendidikan, artinya
guru merupakan seorang yang memahami psikologi pendidikan dan mampu
mengamalkannya dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik;
2.
seniman dalam hubungan antar manusia
(artist in human relations), artinya guru adalah orang yang memiliki
kemampuan menciptakan suasana hubungan antar manusia, khususnya dengan para
peserta didik sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan;
3.
Pembentuk kelompok (group builder),
yaitu mampu mambentuk menciptakan kelompok dan aktivitasnya sebagai cara untuk
mencapai tujuan pendidikan;
4.
Catalyc agent atau inovator, yaitu guru
merupakan orang yang yang mampu menciptakan suatu pembaharuan bagi membuat
suatu hal yang baik; dan
5.
Petugas kesehatan mental (mental
hygiene worker), artinya guru bertanggung jawab bagi terciptanya kesehatan
mental para peserta didik.
Sementara
itu, Doyle sebagaimana dikutip oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukan dua peran
utama guru dalam pembelajaran yaitu menciptakan keteraturan (establishing
order) dan memfasilitasi proses belajar (facilitating learning).
Yang dimaksud keteraturan di sini mencakup hal-hal yang terkait langsung atau
tidak langsung dengan proses pembelajaran, seperti : tata letak tempat duduk,
disiplin peserta didik di kelas, interaksi peserta didik dengan sesamanya,
interaksi peserta didik dengan guru, jam masuk dan keluar untuk setiap sesi
mata pelajaran, pengelolaan sumber belajar, pengelolaan bahan belajar, prosedur
dan sistem yang mendukung proses pembelajaran, lingkungan belajar, dan
lain-lain.
Sejalan
dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa
mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa
melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian kemampuan profesionalnya. Guru
harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran peserta
didik. Guru di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling
well informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang tumbuh,
berkembang, berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru
bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah peserta didiknya.
Jika
guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian
cepat, ia akan terpuruk secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan
kehilangan kepercayaan baik dari peserta didik, orang tua maupun masyarakat.
Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru perlu berfikir secara
antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan pembaruan ilmu dan
pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus. Disamping itu, guru masa
depan harus paham penelitian guna mendukung terhadap efektivitas pengajaran
yang dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitiaan guru tidak
terjebak pada praktek pengajaran yang menurut asumsi mereka sudah efektif,
namum kenyataannya justru mematikan kreativitas para peserta didiknya. Begitu
juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir memungkinkan guru untuk
melakukan pengajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan
konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung.
1. Peran Wali Kelas
Sebagai pengelola kelas tertentu dalam pelayanan bimbingan dan konseling, Wali Kelas berperan :
1)
Membantu guru pembimbing/konselor melaksanakan tugas-tugasnya, khususnya di
kelas yang menjadi tanggung jawabnya.
2)
Membantu Guru Mata Pelajaran melaksanakan peranannya dalam pelayanan bimbingan
dan konseling, khususnya di kelas yang menjadi tanggung jawabnya.
3)
Membantu memberikan kesempatan dan kemudahan bagi siswa, khususnya dikelas yang
menjadi tanggung jawabnya, untuk mengikuti/menjalani layanan dan/atau kegiatan
bimbingan dan konseling;
4)
Berpartisipasi aktif dalam kegiatan khusus bimbingan dan konseling, seperti
konferensi kasus; dan
5)
Mengalihtangankan siswa yang memerlukan layanan bimbingan dan konseling kepada
guru pembimbing/konselor.
6)
Kerjasama guru dan konselor dalam layanan bimbingan konseling.
1.
Peran guru pembimbing/konselor
Ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan yang harus dimili oleh seorang guru
penyuluh / konselor.
1.
Kwalifikasi Dan Pendidikan Guru
Penyuluh
Untuk
menghadapi kebutuhan dewasa ini seorang guru penyuluh sekurang-kurangnya harus
seorang sarjana muda. Ia harus memiliki kwalifikasi yang memungkinkannya untuk
dapat melaksanakan tugas penyuluhan dengan berhasil baik. Diantarannya :
kecakapan scholastic, minat terhadap pekerjaannya, dan berkepribadian yang
baik.
1.
Kewajiban Dan Tanggungjawab Guru
Penyuluh
Pada
umumnya guru penyuluh bertanggungjawab dalam melaksanakan Bimbingan Pendidikan
( Educational Guidance ), dan Bimbingan dalam masalah-masalah pribadi
( Personal Guidance ). Iapun harus menetapkan
kasus-kasus yang perlu mendapatkan perhatiannya dengan segera dengan jalan
meneliti catatan-catatan sekolah, mengadakan pertemuan-pertemuan dengan
anggota-anggota staff sekolah lainya, melaksanakan observasi yang dilakukannya
sendiri dan menggunakan teknik sosiometrik.
1.
TUJUAN BIMBINGAN KONSELING
Tujuan
pelayanan bimbingan ialah agar konseli dapat: (1) merencanakan kegiatan
penyelesaian studi, perkembangan karir serta kehidupan-nya di masa yang akan
datang; (2) mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimilikinya
seoptimal mungkin; (3) menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan,
lingkungan masyarakat serta lingkungan kerjanya; (4) mengatasi hambatan dan
kesulitan yang dihadapi dalam studi, penyesuaian dengan lingkungan pendidikan,
masyarakat, maupun lingkungan kerja.
Untuk
mencapai tujuan-tujuan tersebut, mereka harus mendapatkan kesempatan untuk: (1)
mengenal dan memahami potensi, kekuatan, dan tugas-tugas perkem-bangannya, (2)
mengenal dan memahami potensi atau peluang yang ada di lingkungannya, (3)
mengenal dan menentukan tujuan dan rencana hidupnya serta rencana pencapaian
tujuan tersebut, (4) memahami dan mengatasi kesulitan-kesulitan sendiri (5)
menggunakan kemampuannya untuk kepentingan dirinya, kepentingan lembaga tempat
bekerja dan masyarakat, (6) menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan dari
lingkungannya; dan (7) mengembangkan segala potensi dan kekuatan yang
dimilikinya secara optimal.
Secara
khusus bimbingan dan konseling bertujuan untuk membantu konseli agar dapat
mencapai tugas-tugas perkembangannya yang meliputi aspek pribadi-sosial,
belajar (akademik), dan karir.
1.
Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek pribadi-sosial konseli
adalah:
·
Memiliki komitmen yang kuat dalam
mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, baik
dalam kehidupan pribadi, keluarga, pergaulan dengan teman sebaya,
Sekolah/Madrasah, tempat kerja, maupun masyarakat pada umumnya.
·
Memiliki sikap toleransi terhadap
umat beragama lain, dengan saling menghormati dan memelihara hak dan
kewajibannya masing-masing.
·
Memiliki pemahaman tentang irama
kehidupan yang bersifat fluktuatif antara yang menyenangkan (anugrah) dan yang
tidak menyenangkan (musibah), sertadan mampu meresponnya secara positif sesuai
dengan ajaran agama yang dianut.
·
Memiliki pemahaman dan penerimaan
diri secara objektif dan konstruktif, baik yang terkait dengan keunggulan
maupun kelemahan; baik fisik maupun psikis.
·
Memiliki sikap positif atau respek
terhadap diri sendiri dan orang lain.
·
Memiliki kemampuan untuk melakukan
pilihan secara sehat
·
Bersikap respek terhadap orang lain,
menghormati atau menghargai orang lain, tidak melecehkan martabat atau harga
dirinya. Memiliki rasa tanggung jawab, yang diwujudkan dalam bentuk komitmen
terhadap tugas atau kewajibannya.
·
Memiliki kemampuan berinteraksi
sosial (human relationship), yang diwujudkan dalam bentuk hubungan
persahabatan, persaudaraan, atau silaturahim dengan sesama manusia.
·
Memiliki kemampuan dalam
menyelesaikan konflik (masalah) baik bersifat internal (dalam diri sendiri)
maupun dengan orang lain.
·
Memiliki kemampuan untuk mengambil
keputusan secara efektif.
2.
Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek akademik (belajar) adalah
:
·
Memiliki kesadaran tentang potensi
diri dalam aspek belajar, dan memahami berbagai hambatan yang mungkin muncul
dalam proses belajar yang dialaminya.
·
Memiliki sikap dan kebiasaan belajar
yang positif, seperti kebiasaan membaca buku, disiplin dalam belajar, mempunyai
perhatian terhadap semua pelajaran, dan aktif mengikuti semua kegiatan belajar
yang diprogramkan.
·
Memiliki motif yang tinggi untuk
belajar sepanjang hayat.
·
Memiliki keterampilan atau teknik
belajar yang efektif, seperti keterampilan membaca buku, mengggunakan kamus,
mencatat pelajaran, dan mempersiapkan diri menghadapi ujian.
·
Memiliki keterampilan untuk
menetapkan tujuan dan perencanaan pendidikan, seperti membuat jadwal belajar,
mengerjakan tugas-tugas, memantapkan diri dalam memperdalam pelajaran tertentu,
dan berusaha memperoleh informasi tentang berbagai hal dalam rangka
mengembangkan wawasan yang lebih luas.
·
Memiliki kesiapan mental dan
kemampuan untuk menghadapi ujian.
3.
Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek karir adalah :
·
Memiliki pemahaman diri (kemampuan,
minat dan kepribadian) yang terkait dengan pekerjaan.
·
Memiliki pengetahuan mengenai dunia
kerja dan informasi karir yang menunjang kematangan kompetensi karir.
·
Memiliki sikap positif terhadap
dunia kerja. Dalam arti mau bekerja dalam bidang pekerjaan apapun, tanpa merasa
rendah diri, asal bermakna bagi dirinya, dan sesuai dengan norma agama.
·
Memahami relevansi kompetensi
belajar (kemampuan menguasai pelajaran) dengan persyaratan keahlian atau
keterampilan bidang pekerjaan yang menjadi cita-cita karirnya masa depan.
·
Memiliki kemampuan untuk membentuk
identitas karir, dengan cara mengenali ciri-ciri pekerjaan, kemampuan
(persyaratan) yang dituntut, lingkungan sosiopsikologis pekerjaan, prospek
kerja, dan kesejahteraan kerja.
·
Memiliki kemampuan merencanakan masa
depan, yaitu merancang kehidupan secara rasional untuk memperoleh peran-peran
yang sesuai dengan minat, kemampuan, dan kondisi kehidupan sosial ekonomi.
·
Dapat membentuk pola-pola karir,
yaitu kecenderungan arah karir. Apabila seorang konseli bercita-cita menjadi
seorang guru, maka dia senantiasa harus mengarahkan dirinya kepada
kegiatan-kegiatan yang relevan dengan karir keguruan tersebut.
·
Mengenal keterampilan, kemampuan dan
minat. Keberhasilan atau kenyamanan dalam suatu karir amat dipengaruhi oleh
kemampuan dan minat yang dimiliki.
Oleh
karena itu, maka setiap orang perlu memahami kemampuan dan minatnya,
1.
JENIS LAYANAN BIMBINGAN KONSELING
Dalam
rangka pencapaian tujuan Bimbingan dan Konseling di sekolah, terdapat beberapa
jenis layanan yang diberikan kepada siswa, diantaranya:
·
Layanan Orientasi;
layanan yang memungkinan
peserta didik memahami lingkungan baru, terutama
lingkungan sekolah dan obyek-obyek yang dipelajari, untuk
mempermudah dan memperlancar
berperannya peserta didik di lingkungan
yang baru itu, sekurang-kurangnya diberikan dua kali dalam satu tahun yaitu
pada setiap awal semester.
Tujuan
layanan orientasi adalah agar peserta didik dapat beradaptasi dan menyesuaikan diri
dengan lingkungan baru secara tepat dan memadai, yang berfungsi untuk
pencegahan dan pemahaman.
·
Layanan Informasi; layanan yang
memungkinan peserta didik menerima dan memahami berbagai informasi (seperti :
informasi belajar, pergaulan, karier, pendidikan lanjutan). Tujuan layanan
informasi adalah membantu peserta didik agar dapat mengambil keputusan secara
tepat tentang sesuatu, dalam bidang pribadi, sosial, belajar maupun karier
berdasarkan informasi yang diperolehnya yang memadai.
Layanan
informasi pun berfungsi untuk pencegahan dan pemahaman.
·
Layanan Konten; layanan yang
memungkinan peserta didik mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik
dalam penguasaan kompetensi yang cocok dengan kecepatan dan kemampuan dirinya
serta berbagai aspek tujuan dan kegiatan belajar lainnya, dengan tujuan agar
peserta didik dapat mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik.
Layanan pembelajaran berfungsi untuk pengembangan.
·
Layanan Penempatan dan Penyaluran;
layanan yang memungkinan peserta didik memperoleh penempatan dan penyaluran di
dalam kelas, kelompok belajar, jurusan/program studi, program latihan, magang,
kegiatan ko/ekstra kurikuler, dengan tujuan agar peserta didik dapat
mengembangkan segenap bakat, minat dan segenap potensi lainnya.
Layanan
Penempatan dan Penyaluran berfungsi untuk pengembangan.
·
Layanan Konseling Perorangan;
layanan yang memungkinan peserta didik mendapatkan layanan langsung tatap muka
(secara perorangan) untuk mengentaskan permasalahan yang dihadapinya dan
perkembangan dirinya.
Tujuan
layanan konseling perorangan adalah agar peserta didik dapat mengentaskan
masalah yang dihadapinya.
Layanan
Konseling Perorangan berfungsi untuk pengentasan dan advokasi.
·
Layanan Bimbingan Kelompok; layanan
yang memungkinan sejumlah peserta didik secara bersama-sama melalui dinamika
kelompok memperoleh bahan dan membahas pokok bahasan (topik) tertentu untuk
menunjang pemahaman dan pengembangan kemampuan sosial, serta untuk pengambilan
keputusan atau tindakan tertentu melalui dinamika kelompok, dengan tujuan agar
peserta didik dapat memperoleh bahan dan membahas pokok bahasan (topik)
tertentu untuk menunjang pemahaman dan pengembangan kemampuan sosial, serta
untukpengambilan keputusan atau tindakan tertentu melalui dinamika kelompok.
Layanan
Bimbingan Kelompok berfungsi untuk pemahaman dan Pengembangan
·
Layanan Konseling Kelompok; layanan
yang memungkinan peserta didik (masing-masing anggota kelompok) memperoleh
kesempatan untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan pribadi melalui
dinamika kelompok, dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh kesempatan
untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan pribadi melalui dinamika
kelompok.
Layanan
Konseling Kelompok berfungsi untuk pengentasan dan advokasi.
·
Konsultasi, yaitu layanan yang
membantu peserta didik dan atau pihak lain dalam memperoleh wawasan, pemahaman,
dan cara-cara yang perlu dilaksanakan dalam menangani kondisi dan atau masalah
peserta didik.
·
Mediasi, yaitu layanan yang membantu
peserta didik menyelesaikan permasalahan dan memperbaiki hubungan antarmereka.
Untuk
menunjang kelancaran pemberian layanan-layanan seperti yang telah dikemukakan
di atas, perlu dilaksanakan berbagai kegiatan pendukung, mencakup :
1.
Aplikasi Instrumentasi Data;
merupakan kegiatan untuk mengumpulkan data dan keterangan tentang peserta
didik, tentang lingkungan peserta didik dan lingkungan lainnya, yang dapat
dilakukan dengan menggunakan berbagai instrumen, baik tes maupun non tes,
dengan tujuan untuk memahami peserta didik dengan segala karakteristiknya dan
memahami karakteristik lingkungan.
2.
Himpunan Data; merupakan kegiatan
untuk menghimpun seluruh data dan keterangan yang relevan dengan keperluan
pengembangan peserta didik. Himpunan data diselenggarakan secara berkelanjutan,
sistematik, komprehensif, terpadu dan sifatnya tertutup.
3.
Konferensi Kasus; merupakan kegiatan
untuk membahas permasalahan peserta didik dalam suatu pertemuan yang dihadiri
oleh pihak-pihak yang dapat memberikan keterangan, kemudahan dan komitmen bagi
terentaskannya permasalahan klien. Pertemuan konferensi kasus bersifat terbatas
dan tertutup. Tujuan konferensi kasus adalah untuk memperoleh keterangan dan
membangun komitmen dari pihak yang terkait dan memiliki pengaruh kuat terhadap
klien dalam rangka pengentasan permasalahan klien.
4.
Kunjungan Rumah; merupakan kegiatan
untuk memperoleh data,keterangan, kemudahan, dan komitmen bagi terentaskannya
permasalahan peserta didik melalui kunjungan rumah klien. Kerja sama dengan
orang tua sangat diperlukan, dengan tujuan untuk memperoleh keterangan dan
membangun komitmen dari pihak orang tua/keluarga untuk mengentaskan
permasalahan klien.
5.
Alih Tangan Kasus; merupakan
kegiatan untuk untuk memperoleh penanganan yang lebih tepat dan tuntas atas
permasalahan yang dialami klien dengan memindahkan penanganan kasus ke pihak
lain yang lebih kompeten, seperti kepada guru mata pelajaran atau konselor,
dokter serta ahli lainnya, dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh
penanganan yang lebih tepat dan tuntas atas permasalahan yang dihadapinya
melalui pihak yang lebih kompeten.
1.
PROSEDUR UMUM LAYANAN BIMBINGAN
KONSELING
Sebagai
sebuah layanan profesional, layanan bimbingan dan konseling tidak dapat
dilakukan secara sembarangan, namun harus dilakukan secara tertib berdasarkan
prosedur tertentu, yang secara umum terdiri dari enam tahapan sebagai, yaitu:
(A) Identifikasi kasus; (B) Identifikasi masalah; (C) Diagnosis; (D) Prognosis;
(E) Treatment; (F) Evaluasi dan Tindak Lanjut.
A.
Identifikasi kasus
Identifikasi
kasus merupakan langkah awal untuk menemukan peserta didik yang diduga
memerlukan layanan bimbingan dan konseling. Robinson (Abin Syamsuddin Makmun,
2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi
peserta didik yang diduga mebutuhkan layanan bimbingan dan konseling, yakni :
1.
Call them approach; melakukan
wawancara dengan memanggil semua peserta didik secara bergiliran sehingga
dengan cara ini akan dapat ditemukan peserta didik yang benar-benar membutuhkan
layanan konseling.
2.
Maintain good relationship;
menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban sehingga tidak terjadi jurang
pemisah antara guru pembimbing dengan peserta didik. Hal ini dapat dilaksanakan
melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar
mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan
situasi-situasi informal lainnya.
3.
Developing a desire for counseling;
menciptakan suasana yang menimbulkan ke arah penyadaran peserta didik akan
masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan peserta
didik yang bersangkutan tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi,
tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta
diupayakan berbagai tindak lanjutnya.
4.
Melakukan analisis terhadap hasil
belajar peserta didik, dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis
kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi peserta didik.
5.
Melakukan analisis sosiometris,
dengan cara ini dapat ditemukan peserta didik yang diduga mengalami kesulitan
penyesuaian sosial.
B.
Identifikasi Masalah
Langkah
ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah
yang dihadapi peserta didik. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar,
permasalahan peserta didik dapat berkenaan dengan aspek : (1) substansial –
material; (2) struktural – fungsional; (3) behavioral; dan atau (4)
personality. Untuk mengidentifikasi kasus dan masalah peserta didik, Prayitno
dkk. telah mengembangkan suatu instrumen untuk melacak masalah peserta didik,
dengan apa yang disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu
untuk menemukan kasus dan mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi peserta
didik, seputar aspek : (1) jasmani dan kesehatan; (2) diri pribadi; (3)
hubungan sosial; (4) ekonomi dan keuangan; (5) karier dan pekerjaan; (6)
pendidikan dan pelajaran; (7) agama, nilai dan moral; (hubungan muda-mudi); (9)
keadaan dan hubungan keluarga; dan (10) waktu senggang.
C.
Diagnosis
Diagnosis
merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang
melatarbelakangi timbulnya masalah peserta didik. Dalam konteks Proses Belajar
Mengajar faktor-faktor penyebab kegagalan belajar peserta didik, bisa dilihat
dari segi input, proses, ataupun out put belajarnya. W.H. Burton membagi ke
dalam dua faktor yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan atau kegagalan
belajar peserta didik, yaitu : (1) faktor internal; faktor yang besumber dari
dalam diri peserta didik itu sendiri, seperti : kondisi jasmani dan kesehatan,
kecerdasan, bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis
lainnya; dan (2) faktor eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan
sekolah termasuk didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.
D.
Prognosis
Langkah
ini dilakukan untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami peserta didik
masih mungkin untuk diatasi serta menentukan berbagai alternatif pemecahannya,
Hal ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan
hasil-hasil langkah kedua dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini
seyogyanya terlebih dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan
pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang dihadapi siswa untuk diminta
bekerja sama guna membantu menangani kasus – kasus yang dihadapi.
1.
Treatment
Langkah
ini merupakan upaya untuk melaksanakan perbaikan atau penyembuhan atas masalah
yang dihadapi klien, berdasarkan pada keputusan yang diambil dalam langkah
prognosis. Jika jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan
dengan sistem pembelajaran dan masih masih berada dalam kesanggupan dan
kemampuan guru pembimbing atau konselor, maka pemberian bantuan bimbingan dapat
dilakukan oleh guru atau guru pembimbing itu sendiri (intervensi langsung),
melalui berbagai pendekatan layanan yang tersedia, baik yang bersifat direktif,
non direktif maupun eklektik yang mengkombinasikan kedua pendekatan tersebut.
Namun,
jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan
lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru pembimbing/ konselor sebatas
hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten (referal atau alih tangan
kasus).
1.
Evaluasi dan Follow Up
Cara
manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan masalah seyogyanya tetap
dilakukan untuk melihat seberapa pengaruh tindakan bantuan (treatment) yang
telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang dihadapi peserta didik.
Berkenaan
dengan evaluasi bimbingan dan konseling, Depdiknas (2003) telah memberikan
kriteria-kriteria keberhasilan layanan bimbingan dan konseling yaitu:
1.
Berkembangnya pemahaman baru yang
diperoleh peserta didik berkaitan dengan masalah yang dibahas;
2.
Perasaan positif sebagai dampak dari
proses dan materi yang dibawakan melalui layanan, dan
3.
Rencana kegiatan yang akan
dilaksanakan oleh peserta didik sesudah pelaksanaan layanan dalam rangka
mewujudkan upaya lebih lanjut pengentasan masalah yang dialaminya.
Sementara
itu, Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2004) mengemukakan beberapa
kriteria dari keberhasilan dan efektivitas layanan yang telah diberikan, yang
terbagi ke dalam kriteria yaitu kriteria keberhasilan yang tampak segera dan
kriteria jangka panjang.
Kriteria
keberhasilan tampak segera, diantaranya apabila:
1.
Peserta didik (klien) telah
menyadari (to be aware of) atas adanya masalah yang dihadapi.
2.
Peserta didik (klien) telah memahami
(self insight) permasalahan yang dihadapi.
3.
Peserta didik (klien) telah mulai
menunjukkan kesediaan untuk menerima kenyataan diri dan masalahnya secara
obyektif (self acceptance).
4.
Peserta didik (klien) telah menurun
ketegangan emosinya (emotion stress release).
5.
Peserta didik (klien) telah menurun
penentangan terhadap lingkungannya
6.
Peserta didik (klien) telah melai
menunjukkan sikap keterbukaannya serta mau memahami dan menerima kenyataan
lingkungannya secara obyektif.
7.
Peserta didik (klien) mulai
menunjukkan kemampuannya dalam mempertimbangkan, mengadakan pilihan dan
mengambil keputusan secara sehat dan rasional.
8.
Peserta didik (klien) telah
menunjukkan kemampuan melakukan usaha – usaha perbaikan dan penyesuaian diri
terhadap lingkungannya, sesuai dengan dasar pertimbangan dan keputusan yang
telah diambilnya.
Sedangkan
kriteria keberhasilan jangka panjang, diantaranya apabila:
1.
Peserta didik (klien) telah
menunjukkan kepuasan dan kebahagiaan dalam kehidupannya yang dihasilkan oleh
tindakan dan usaha-usahanya.
2.
Peserta didik (klien) telah mampu
menghindari secara preventif kemungkinan-kemungkinan faktor yang dapat
membawanya ke dalam kesulitan.
3.
Peserta didik (klien) telah
menunjukkan sifat-sifat yang kreatif dan konstruktif, produktif, dan
kontributif secara akomodatif sehingga ia diterima dan mampu menjadi anggota
kelompok yang efektif.
1.
PENANGANAN SISWA BERMASALAH DI
SEKOLAH
Di
sekolah sangat mungkin ditemukan siswa yang yang bermasalah, dengan menunjukkan
berbagai gejala penyimpangan perilaku. yang merentang dari kategori ringan
sampai dengan berat. Upaya untuk menangani siswa yang bermasalah, khususnya
yang terkait dengan pelanggaran disiplin sekolah dapat dilakukan melalui dua
pendekatan yaitu: (1) pendekatan disiplin dan (2) pendekatan bimbingan dan
konseling. Penanganan siswa bernasalah melalui pendekatan disiplin merujuk pada
aturan dan ketentuan (tata tertib) yang berlaku di sekolah beserta sanksinya.
Sebagai salah satu komponen organisasi sekolah, aturan (tata tertib) siswa
beserta sanksinya memang perlu ditegakkan untuk mencegah sekaligus mengatasi
terjadinya berbagai penyimpangan perilaku siswa. Kendati demikian, harus
diingat sekolah bukan “lembaga hukum” yang harus mengobral sanksi kepada siswa
yang mengalami gangguan penyimpangan perilaku. Sebagai lembaga pendidikan,
justru kepentingan utamanya adalah bagaimana berusaha menyembuhkan segala
penyimpangan perilaku yang terjadi pada para siswanya.
Oleh
karena itu, disinilah pendekatan yang kedua perlu digunakan yaitu pendekatan
melalui Bimbingan dan Konseling. Berbeda dengan pendekatan disiplin yang
memungkinkan pemberian sanksi untuk menghasilkan efek jera, penanganan siswa
bermasalah melalui Bimbingan dan Konseling justru lebih mengutamakan pada upaya
penyembuhan dengan menggunakan berbagai layanan dan teknik yang ada. Penanganan
siswa bermasalah melalui Bimbingan dan Konseling sama sekali tidak menggunakan
bentuk sanksi apa pun, tetapi lebih mengandalkan pada terjadinya kualitas
hubungan interpersonal yang saling percaya di antara konselor dan siswa yang
bermasalah, sehingga setahap demi setahap siswa tersebut dapat memahami dan
menerima diri dan lingkungannya, serta dapat mengarahkan diri guna tercapainya
penyesuaian diri yang lebih baik.
Sebagai
ilustrasi, misalkan di suatu sekolah ditemukan kasus seorang siswi yang hamil
akibat pergaulan bebas, sementara tata tertib sekolah secara tegas menyatakan
untuk kasus demikian, siswa yang bersangkutan harus dikeluarkan. Jika hanya
mengandalkan pendekatan disiplin, mungkin tindakan yang akan diambil sekolah
adalah berusaha memanggil orang tua/wali siswa yang bersangkutan dan
ujung-ujungnya siswa dinyatakan dikembalikan kepada orang tua (istilah lain
dari dikeluarkan). Jika tanpa intervensi Bimbingan dan Konseling, maka sangat
mungkin siswa yang bersangkutan akan meninggalkan sekolah dengan dihinggapi
masalah-masalah baru yang justru dapat semakin memperparah keadaan. Tetapi
dengan intervensi Bimbingan dan Konseling di dalamnya, diharapkan siswa yang
bersangkutan bisa tumbuh perasaan dan pemikiran positif atas masalah yang
menimpa dirinya, misalnya secara sadar menerima resiko yang terjadi, keinginan
untuk tidak berusaha menggugurkan kandungan yang dapat membahayakan dirinya
maupun janin yang dikandungnya, keinginan untuk melanjutkan sekolah, serta
hal-hal positif lainnya, meski ujung-ujungnya siswa yang bersangkutan tetap
harus dikeluarkan dari sekolah.
Perlu
digarisbawahi, dalam hal ini bukan berarti Guru BK/Konselor yang harus
mendorong atau bahkan memaksa siswa untuk keluar dari sekolahnya. Persoalan mengeluarkan
siswa merupakan wewenang kepala sekolah, dan tugas Guru BK/Konselor hanyalah
membantu siswa agar dapat memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya.Lebih jauh,
meski saat ini paradigma pelayanan Bimbingan dan Konseling lebih mengedepankan
pelayanan yang bersifat pencegahan dan pengembangan, pelayanan Bimbingan dan
Konseling terhadap siswa bermasalah tetap masih menjadi perhatian. Dalam hal
ini, perlu diingat bahwa tidak semua masalah siswa harus ditangani oleh guru BK
(konselor). Dalam hal ini, Sofyan S. Willis (2004) mengemukakan tingkatan
masalah berserta mekanisme dan petugas yang menanganinya, sebagaimana dalam
penjelasan berikiut :
1.
Masalah (kasus) ringan, seperti:
membolos, malas, kesulitan belajar pada bidang tertentu, berkelahi dengan teman
sekolah, bertengkar, minum minuman keras tahap awal, berpacaran, mencuri kelas
ringan. Kasus ringan dibimbing oleh wali kelas dan guru dengan berkonsultasi
kepada kepala sekolah (konselor/guru pembimbing) dan mengadakan kunjungan
rumah.
2.
Masalah (kasus) sedang, seperti:
gangguan emosional, berpacaran, dengan perbuatan menyimpang, berkelahi antar
sekolah, kesulitan belajar, karena gangguan di keluarga, minum minuman keras
tahap pertengahan, mencuri kelas sedang, melakukan gangguan sosial dan asusila.
Kasus sedang dibimbing oleh guru BK (konselor), dengan berkonsultasi dengan
kepala sekolah, ahli/profesional, polisi, guru dan sebagainya. Dapat pula
mengadakan konferensi kasus.
3.
Masalah (kasus) berat, seperti:
gangguan emosional berat, kecanduan alkohol dan narkotika, pelaku kriminalitas,
siswa hamil, percobaan bunuh diri, perkelahian dengan senjata tajam atau
senjata api. Kasus berat dilakukan referal (alihtangan kasus) kepada ahli
psikologi dan psikiater, dokter, polisi, ahli hukum yang sebelumnya terlebih
dahulu dilakukan kegiatan konferensi kasus.
Dengan
melihat penjelasan di atas, tampak jelas bahwa penanganan siswa bermasalah
melalui pendekatan Bimbingan dan Konseling tidak semata-mata menjadi tanggung
jawab guru BK/konselor di sekolah tetapi dapat melibatkan pula
berbagai pihak lain untuk
bersama-sama membantu siswa agar memperoleh
penyesuaian diri dan perkembangan pribadi secara optimal.
STUDI
KASUS DALAM BIMBINGAN KONSELING
Lia
(bukan nama sebenarnya) adalah siswa kelas I SMU Favorit Salatiga yang barusan
naik kelas II. Ia berasal dari keluarga petani yang terbilang cukup secara
sosial ekonomi di desa pedalaman + 17 km di luar kota Salatiga, sebagai anak
pertama semula orang tuanya berkeberatan setamat SLTP anaknya melanjutkan ke
SMU di Salatiga; orang tua sebetulnya berharap agar anaknya tidak perlu
susah-sudah melanjutkan sekolah ke kota, tapi atas bujukan wali kelas anaknya
saat pengambilan STTB dengan berat merelakan anaknya melanjutkan sekolah.
Pertimbangan wali kelasnya karena Lia terbilang cerdas diantara teman-teman
yang lain sehingga wajar jika bisa diterima di SMU favorit. Sejak diterima di
SMU favorit di satu fihak Lia bangga sebagai anak desa toh bisa diterima,
tetapi di lain fihak mulai minder dengan teman-temannya yang sebagian besar dari
keluarga kaya dengan pola pergaulan yang begitu beda dengan latar belakang Lia.
Ia menganggap teman-teman dari keluarga kaya tersebut sebagai orang yang egois,
kurang bersahabat, pilih-pilih teman yang sama-sama dari keluarga kaya saja,
dan sombong.
Makin
lama perasaan ditolak, terisolik, dan kesepian makin mencekam dan mulai timbul
sikap dan anggapan sekolahnya itu bukan untuk dirinya tidak krasan, tetapi mau
keluar malu dengan orang tua dan temannya sekampung; terus bertahan, susah tak
ada/punya teman yang peduli. Dasar saya anak desa, anak miskin (dibanding
teman-temannya di kota) hujatnya pada diri sendiri. Akhirnya benar-benar
menjadi anak minder, pemalu dan serta ragu dan takut bergaul sebagaimana
mestinya. Makin lama nilainya makin jatuh sehingga beban pikiran dan perasaan
makin berat, sampai-sampai ragu apakah bisa naik kelas atau tidak.
MEMAHAMI
LIA DALAM PERSPEKTIF RASIONAL EMOTIF
Menurut
pandangan rasional emotif, manusia memiliki kemampuan inheren untuk berbuat
rasional ataupun tidak rasional, manusia terlahir dengan kecenderungan yang
luar biasa kuatnya berkeinginan dan mendesak agar supaya segala sesuatu terjadi
demi yang terbaik bagi kehidupannya dan sama sekali menyalahkan diri sendiri,
orang lain, dan dunia apabila tidak segera memperoleh apa yang diinginkannya.
Akibatnya berpikir kekanak-kanakan (sebagai hal yang manunusiawi) seluruh
kehidupannya, akhirnya hanya kesulitan yang luar biasa besar mampu mencapai dan
memelihara tingkah laku yang realistis dan dewasa; selain itu manusia juga mempunyai
kecenderungan untuk melebih-lebihkan pentingnya penerimaan orang lain yang
justru menyebabkan emosinya tidak sewajarnya seringkali menyalahkan dirinya
sendiri dengan cara-cara pembawaannya itu dan cara-cara merusak diri yang
diperolehnya. Berpikir dan merasa itu sangat dekat dan dengan satu sama lainnya
: pikiran dapat menjadi perasaan dan sebaliknya; Apa yang dipikirkan dan atau
apa yang dirasakan atas sesuatu kejadian diwujudkan dalam tindakan/perilaku
rasional atau irasional. Bagaimana tindakan/perilaku itu sangat mudah
dipengaruhi oleh orang lain dan dorongan-doronan yang kuat untuk mempertahankan
diri dan memuaskan diri sekalipun irasional.
Ciri-ciri
irasional seseorang tak dapat dibuktikan kebenarannya, memainkan peranan Tuhan
apa saja yang dimui harus terjadi, mengontrol dunia, dan jika tidak dapat
melakukannya dianggap goblok dan tak berguna; menumbuhkan perasaan tidak nyaman
(seperti kecemasan) yang sebenarnya tak perlu, tak terlalu jelek/memalukan
namundibiarkan terus berlangsung, dan menghalangi seseorang kembai ke kejadian
awal dan mengubahnya. Bahkan akhirnya menimbulkan perasaan tak berdaya pada
diri yang bersangkutan. Bentuk-bentuk pikiran/perasaan irasional tersebut
misalnya : semua orang dilingkungan saya harus menyenangi saya, kalau ada yang
tidak senang terhadap saya itu berarti malapetaka bagi saya. Itu berarti salah
saya, karena saya tak berharga, tak seperti orang/teman-teman lainnya. Saya
pantas menderita karena semuanya itu.
Sehubungan
dengan kasus, Lia sebetulnya terlahir dengan potensi unggul, ia menjadi
bermasalah karena perilakunya dikendalikan oleh pikiran/perasaan irasional; ia
telah menempatkan harga diri pada konsep/kepercayaan yang salah yaitu jika
kaya, semua teman memperhatikan / mendukung, peduli, dan lain-lain dan itu semua
tidak ada/didapatkan sejak di SMU, sampai pada akhirnya menyalahkan dirinya
sendiri dengan hujatan dan penderitaaan serta mengisolir dirinya sendiri. Ia
telah berhasil membangun konsep dirinya secara tidak realistis berdasarkan
anggapan yang salah terhadap (dan dari) teman-teman lingkungannya. Ia menjadi
minder, pemalu, penakut dan akhirnya ragu-ragu keberhasilan/prestasinya kelak
yang sebetulnya tidak perlu terjadi.
TUJUAN
DAN TEKNIK KONSELING
Jika
pemikiran Lia yang tidak logis / realistis (tentang konsep dirinya dan
pandangannya terhadap teman-temannya) itu diperangi maka dia akan mengubahnya.
Dengan demikian tujuan konseling adalah memerangi pemikiran irasional Lia yang
melatar-belakangi ketakutan / kecematannya yaitu konsep dirinya yang salah beserta
sikapnya terhadap teman lain. Dalam konseling konselor lebih bernuansa
otoritatif : memanggil Lia, mengajak berdiskusi dan konfrontasi langsung untuk
mendorongnya beranjak dari pola pikir irasional ke rasional / logis dan
realistis melalui persuasif, sugestif, pemberian nasehat secara tepat, terapi
dengan menerapkan prinsip-prinsip belajar untuk PR serta bibliografi terapi.
Konseling
kognitif : untuk menunjukkan bahwa Lia harus membongkar pola pikir irasional
tentang konsep harga diri yang salah, sikap terhadap sesama teman yang salah
jika ingin lebih bahagia dan sukses. Konselor lebih bergaya mengajar : memberi
nasehat, konfrontasi langsung dengan peta pikir rasional-irasoonal, sugesti dan
asertive training dengan simulasi diri menerapkan konsep diri yang benar dan
sikap/ketergantungan pada orang lain yang benar/rasional dilanjutkan sebagai PR
melatih, mengobservasi dan evaluasi diri. Contoh : mulai dari seseorang
berharga bukan dari kekayaan atau jumlah dan status teman yang mendukung,
tetapi pada kasih Allah dan perwujudanNya. Allah mengasihi saya, karena saya
berharga dihadiratNya. Terhadap diri saya sendiri suatu saat saya senang, puas
dan bangga, tetapi kadang-kadang acuh-tak acuh, bahkan adakalanya saya benci,
memaki-maki diri saya sendiri, sehingga wajar dan realistis jika sejumlah 40
orang teman satu kelas misalnya ada + 40% yang baik, 50% netral, hanya 10% saja
yang membeci saya. Adalah tidak mungkin menuntut semua / setiap orang setiap
saat baik pada saya, dan seterusnya. Ide-ide ini diajarkan, dan dilatihkan
dengan pendekatan ilmiah.
Konseling
emotif-evolatif untuk mengubah sistem nilai Lia dengan menggunakan teknik
penyadaran antara yang benar dan salah seperti pemberian contoh, bermain peran,
dan pelepasan beban agar Lia melepaskan pikiran dan perasaannya yang tidak
rasional dan menggantinya dengan yang rasional sebagai kelanjutan teknik
kognitif di atas. Konseling behavioritas digunakan untuk mengubah perilaku yang
negatif dengan merobah akar-akar keyakinan Lia yang irasional/tak logis kontrak
reinforcemen, sosial modeling dan relaksasi/meditasi.
PENUTUP
Teori
ini dalam menolong menggunakan pendekatan direct menggunakan nasehat yang
ditandai oleh menyerang masalah dengan intektual dan meyakinkan (koselor).
Tekniknya jelas, teliti, makin melihat/menyadari pikiran dan kata-kata yang
terus menerus ditujukan kepada diri sendiri, yang membawa kehancuran kepada
diri sendiri. Cara konselor ialahdengan pendekatan yang tegas, memintakan
perhatian kepada pikiran-pikiran yang menjadi sebab gangguan itu dan bagaimana
pikiran dan kalimat itu beroperasi hingga membawa akibat yang merugikan.
Konselor selanjutnya menolong dia untuk memikir kembali, menantang, mendebat,
menyebutkan kembali kalimat-kalimat yang merugikan itu, dan dengan cara
demikian ia membawa klien ke kesadaran dan tilikan baru. Tetapi tilikan dan
kesadaran tidak cukup. Ia harus dilatih untuk berpikir dan berkata kepada diri
sendiri hal-hal yang lebih positive dan realistik. Terapis mengajar klien untuk
berpikir betul dan bertindak efektif. Teknik yang dipakai bersifat eklektif
dengan pertimbangan :
1.
Ekonomis dari segi waktu baik bagi
konselor maupun konseli.
2.
Efektifitas teknis-teknis yang
dipakai cocok untuk bermacam ragam konseli.
3.
Kesegaran hasil yang dicapai.
4.
Kedalaman dan tanah lama serta dapat
dipakai konseli untuk mengkonseling dirinya sendiri kalah.
Kesimpulannya,
penstrukturan kembali filosofis untuk merubah kepribadian yang salah berfungsi
menyangkut langkah-langkah sebagai berikut : (1) mengakui sepenuhnya bahwa kita
sebagian besar bertanggungjawab penciptaan masalah-masalah kita sendiri; (2)
menerima pengertian bahwa kita mempunyai kemampuan untuk merubah
gangguan-gangguan secara berarti; (3) menyadari bahwa problem-problem dan emosi
kita berasal dari kepercayaan-kepercayaan tidak rasional ; (4) mempersepsi
dengan jelas kepercayaan-kepercayaan ini; (5) menerima kenyataan bahwa, jika
kita mengharap untuk berubah, kita lebih baik harus menangani cara-cara tingkah
laku dan emosi untuk tindak balasan kepada kepercayaan-kepercayaan kita dan
perasaan-perasan yang salah fungsi dan tindakan-tindakan yang mengikuti; dan
(6) mempraktekkan metode-metode RET untuk menghilangkan atau merubah
konsekuensi-konsekuensi yang terganggu pada sisa waktu hidup kita ini.
DAFTAR
PUSTAKA
-,
2009. Makalah Peran Guru Kelas Dalam Bimbingan Konseling. http://makalah-di.blogspot.com/2009/11/makalah-peran-guru-kelas-dalam.html diakses tanggal 11 desember 2009
-.
2009. Penguatan Peran Guru BK Siapkan Mental Siswa Hadapi UNAS. http://www2.umy.ac.id/2009/11/penguatan-peran-guru-bk-siapkan-mental-siswa-hadapi-unas.umy diakses tanggal 11 desember 2009.
-.
Konselor Pendidikan. http://id.wikipedia.org/wiki/Konselor_Pendidikan diakses tanggal 11 desember 2009.
Rustanti.
-. Peran Guru Kelas Dalam Pelaksanaan Bimbingan Konseling di Sekolah Dasar.http://re-searchengines.com/rustanti40708.html diakses tanggal 11 desember 2009
Sudrajat
Ahmad. 2008. Peranan Kepala Sekolah, Guru, dan Wali Kelas Dalam Bimbingan
Konseling. http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/08/13/peranan-kepala-sekolah-guru-dan-wali-kelas-dalam-bimbingan-dan-konseling/ diakses tangal 11 Desember 2009.
Sudrajat
Ahmad. 2008. Peranan Guru dalam Prose Pendidikan. http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/03/06/peran-guru-dalam-proses-pendidikan/ diakses tanggal 11 Desember 2009.
Sudrajat
ahmad. 2008. Tujuan Bimbingan Konseling. http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/03/14/tujuan-bimbingan-dan-konseling/ diakses tanggal 11 desember 2009.