Thursday, May 31, 2012

Fenomenologi: Metode Penelitian Kualitatif


Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phainomai, yang berarti ‘menampak’ dan phainomenon merujuk ‘pada yang menampak’. Istilah feomenologi diperkenalkan oleh Johann Heinrickh Lambert. Meskipun pelopor fenomenologi adalah Husserl, namun dalam buku ini lebih banyak mengupas ide-ide Schutz (yang tetap berdasar pada pemikiran sang pelopor, Husserl). Terdapat dua alasan utama mengapa Schutz dijadikan centre dalam penerapan metodologi penelitian kualitatif menggunakan studi fenomenologi ini. Pertama, karena melalui Schutz-lah pemikiran dan ide Husserl yang dirasa abstrak dapat dijelaskan dengan lebih gamblang dan mudah dipahami. Kedua, Schutz merupakan orang pertama yang menerapkan fenomenologi dalam penelitian ilmu sosial. Oleh karena itu, buku ini mengupas beberapa pandangan Schutz dan penerapannya dalam sebuah penelitian sosial. Schutz mengawali pemikirannya dengan mengatakan bahwa objek penelitian ilmu sosial pada dasarnya berhubungan degan interpretasi terhadap realitas. Jadi, sebagai peneliti ilmu sosial, kita pun harus membuat interpretasi terhadap realitas yag diamati. Orang-orang saling terikat satu sama lain ketika membuat interpretasi ini. Tugas peneliti sosial-lah untuk menjelaskan secara ilmiah proses ini.
Dalam melakukan penelitian, peneliti harus menggunakan metode interpretasi yang sama dengan orang yang diamati, sehingga peneliti bisa masuk ke dalam dunia interpretasi orang yang dijadikan objek penelitian. Pada praktiknya, peneliti mengasumsikan dirinya sebagai orang yang tidak tertarik atau bukan bagian dari dunia orang yang diamati. Peneliti hanya terlibat secara kogniti dengan orang yang diamati. Peneliti dapat memilih satu ‘posisi’ yang dirasakan nyaman oleh subyek penelitiannya, sehingga ketika subyek merasa nyaman maka dirinya dapat menjadi diri sendiri. Ketika ia menjadi dirinya sendiri inilah yang menjadi bahan kajian peneliti sosial.
Setelah Schutz berhasil mengintegrasikan fenomenologi dalam ilmu sosial, para cendekiawan sosial mulai melirik pemikiran fenomenologi yang paling awal, yakni fenomenologi transendental Husserl. Husserl sangat tertarik dengan penemuan makna dan hakikat dari pengalaman. Dia berpendapat bahwa terdapat perbedaan antara fakta dan esensi dalam fakta, atau dengan kata lain perbedaan antara yang real dan yang tidak. Berikut adalah komponen konseptual dalam fenomenologi transendental Husserl:



a.      Kesengajaan (Intentionality)
Kesengajaan (intentionality) adalah orientasi pikiran terhadap suatu objek (sesuatu) yang menurut Husserl, objek atau sesuatu tersebut bisa nyata atau tidak nyata. Objek nyata seperti sebongkah kayu yang dibentuk dengan tujuan tertentu dan kita namakan dengan kursi. Objek yang tidak nyata misalnya konsep tentang tanggung jawab, kesabaran, dan konsep lain yang abstrak atau tidak real. Husserl menyatakan bahwa kesengajaan sangat terkait dengan kesadaran atau pengalaman seseorang dimana kesengajaan atau pengalaman tersebut dipengaruhi oleh faktor kesenangan (minat), penilaian awal, dan harapan terhadap objek. Misalnya minat terhadap bola akam menentukan kesengajaan untuk menonton pertandingan sepak bola.

b.      Noema dan Noesis
Noema atau noesis merupakan turunan dari kesengajaan atau intentionality. Intentionality adalah maksud memahami sesuatu, dimana setiap pengalaman individu memiliki sisi obyektif dan subyektif. Jika akan memahami, maka kedua sisi itu harus dikemukakan. Sisi obyektif fenomena (noema) artinya sesuatu yang bisa dilihat, didengar, dirasakan, dipikirkan, atau sekalipun sesuatu yang masih akan dipikirkan (ide). Sedangkan sisi subyektif (noesis) adalah tindakan yang dimaksud (intended act) seperti merasa, mendengar, memikirkan, dan menilai ide. Terdapat kaitan yang erat antara noema dan noesis meskipun keduanya sangat berbeda makna. Noema akan membawa pemikiran kita kepada noesis. Tidak akan ada noesis jika kita tidak mengawalinya dengan noema. Begini mudahnya. Kita tidak akan tau tentang bagaimana rasanya menikmati buah durian (noesis karena ada aspek merasakan, sebagai sesuatu atau objek yang abstrak) jika kita sendiri belum mengetahui seperti apa wujud durian (noema karena berkaitan dengan wujud, sebagai sesuatu atau objek yang nyata).

c.       Intuisi
Intuisi yang masuk dalam unit analisis Husserl ini dipengaruhi oleh intuisi menurut Descrates yakni kemampuan membedaka “yang murni” dan yang diperhatikan dari the light of reason alone (semata-mata alasannya). Intuisilah yang membimbing manusia mendapatkan pengetahuan. Bagi Husserl, intuisilah yang menghubungkan noema dan noesis. Inilah sebabnya fenomenologi Husserl dinamakan fenomenologi transendental, karena terjadi dalam diri individu secara mental (transenden).

d. Intersubjektivitas
Makna intersubjektif ini dijabarkan oleh Schutz. Bahwa makna intersubjektif ini berawal dari konsep ‘sosial’ dan konsep ‘tindakan’. Konsep sosial didefinisikan sebagai hubungan antara dua atau lebih orang dan konsep tindakan didefinisikan sebagai perilaku yang membentuk makna subjektif. Akan tetapi, makna subjektif tersebut bukan berada di dunia privat individu melainkan dimaknai secara sama dan bersama dengan individu lain. Oleh karenanya, sebuah makna subjektif dikatakan intersubjektif karena memiliki aspek kesamaan dan kebersamaan (common and shared).

Pendekatan Fenomenologis (Bagian I)
Peneliti dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. Sosiologi fenomenologis pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh Edmund Husserl dan Alfred Schultz. Pengaruh lainnya berasal dari Weber yang memberi tekanan pada verstehn, yaitu pengertian interpretatif terhadap pemahaman manusia. Fenomoenologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang diteliti oleh mereka. Inkuiri fenomenologis memulai dengan diam. Diam merupakan tindakan untuk mengungkap pengertian sesuatu yang sedang diteliti. Yang ditekankan oleh kaum fenomenologis adalah aspek subjektif dari perilaku orang. Mereka berusaha untuk masuk kedalam dunia konseptual para subyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaiaman suatu pengertian yang dikembangkan oleh mereka di sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari-hari. Para fenomenolog percaya bahwa pada makhluk hidup tersedia pelbagai cara untuk menginterpretasikan pengalaman melalui interaksi dengan orang lain, dan bahwa pengertian pengalaman kitalah yang membentuk kenyataan.

Ada pelbagai cabang penelitian kualitatif, namun semua berpendapat sama tentang tujuan penertian subyek penelitian, yaitu melihatnya dari “sudut pandang mereka”. Jika ditelaah secara teliti, frase “dari segi pandang mereka” menjadi persoalan. Persoalannya adalah “dari segi pandang mereka” bukanlah merupakan ekspresi yang digunakan oleh subyek itu sendiri dan belum tentu mewakili cara mereka berpikir. “Dari segi pandangan mereka” adalah cara peneliti menggunakannya sebagai pendekatan dalam pekerjaannya. Jadi, “dari segi pandangan mereka” merupakan konstrak penelitian. Melihat subyek dari segi ini hasilnya barangkali akan memaksa subyek tersebut mengalami dunia yang asing baginya.

Sebenarnya upaya mengganggu dunia subyek oleh peneliti bagaimanapun perlu dalam penelitian. Jika tidak, peneliti akan membuat tafsiran dan harus mempunyai kerangka konsep untuk menafsirkannya. Peneliti kualitatif percaya bahwa mendekati orang dengan tujuan mencoba memahami pandangan mereka dapat menghalangi pengalaman subyek. Bagi peneliti kualitatif terdapat perbedaan dalam (1) Derajat mengatasi masalah metodologis/konseptual ini dan (2) cara mengatasinya. Sebagian peneliti mencoba melakukan “deskripsi fenomenologis murni”. Di pihak lain, peneliti lainnya kurang memperdulikan dan berusaha membentuk abstraksi dengan jalan menafsirkan data berdasarkan “segi pandangan mereka”. Apapun posisi seorang peneliti, yang jelas ia harus menyadari persoalan teoretis dan isu metodologis ini.

Peneliti kualitatif cenderung berorientasi fenomenologis, namun sebagian besar diantaranya tidak radikal, tetapi idealis pandangannya. Mereka memberi tekanan pada segi subjektif, tetapi mereka tidak perlu menoklak kenyataan adanya “di tempat sana”, artinya mereka tidak perlu mendesak atau bertentangan dengan pandangan orang yang mampu menolak tindakan itu. Sebagai gambaran diberikan contoh, misalnya guru mungkin percaya bahwa ia mampu menembus dinding bata, tetapi untuk mencapainya memerlukan pemikiran. Hakikatnya, batu itu keras ditembus, namun guru itu tidak perlu merasakan bahwa ia tidak mampu berjalan menembus dinding itu. Peneliti kulaitatif menekankan berpikir subyektif karena, sebagai yang mereka lihat, dunia di dominasi oleh subyek yang kurang keras dbandingkan dengan batu. Manusia kurang lebih sama dengan ‘mesin kecil’ yang dapat melakukan sesuatu. Kita hidup dalam imajinasi kita, lebih banyak berlatar simbolik daripada konkret.

Interaksi Simbolik
Bersamaan dengan perspektif fenomenologis, pendekatan ini berasumsi bahwa pengalaman manusia ditengahi oleh penafsiran. Objek, orang, situasi, dan peristiwa tidak mempunyai pengertiannya sendiri, sebaliknya pengertian itu diberikan untuk mereka. Misalnya seorang teknolog pendidikan mungkin menentukan proyektor 16 mm sebagai alat yang akan digunakan ole guru untuk memperlihatkan film-film yang relevan  dengan tujuan pendidikan; seorang guru barangkali menetapkan penggunaan proyektor tersebut sebagai alat rekreasi untuk siswa apabila ia kehabisan bahan pelajaran sewaktu mengajar atau apabila ia sudah letih. Pengertian yang diberikan orang pada pengalaman dan proses penafsirannya adalah esensial serta menentukan dan bukan bersifat kebetulan atau bersifat kurang penting terhadap pengalaman itu.

Untuk memahami perilaku, kita harus mamahami definisi dan proses pendefinisiannya. Manusia terikat secara aktif dalam menciptakan dunianya sehingga dengan demikian ia mengerti akan pemisahan antara riwayat hidup dengan masyarakat yang merupakan sesuatu yang essensial. Manusia tidak dapat bertindak atas dasar respon yang telah ditentukan terlebih dahulu untuk mempradefinisikan obyek, tetapi lebih sebagai penafsiran, pendefinisian, “hewan simbolik” yang perilakunya hanya dapat dipahami dengan jalan peneliti memasuki proses definisi melalui metode seperti pengamatan-berperan serta. Penafsiran bukanlah tindakan bebas dan bukan pula ditentukan oleh kekuatan manusia atau bukan. Orang-orang menafsirkan sesuatu dengan bantuan orang lain seperti orang-orang pada masa lalu, penulis, keluarga, pemeran di televisi, dan pribadi-pribadi yang ditemuinya dalam latar temapt mereka bekerja atau bermain, namun orang lain tidak melakukannya untuk mereka. Melalui interaksi seseorang membentuk pengertian. Orang dalam situasi tertentu (misalnya mahasiswa dalam ruang kuliah terrtentu) sering mengembangkan definisi bersama (atau “perspektif bersama” dalam bahasa interaksi-simbolik) karena mereka secara teratur berhubungan dan mengalami pengalaman bersama, masalah, dan latar belakang, tetapi kesepakatan tidak merupakan keharusan. Di pihak lain, sebagian memgang “definisi bersama” untuk menunjuk pada “kebenaran”, sautu pengertian yang senantiasa dapat disepakati. Hal itu dapat dipengaruhi oleh orang yang melihat sesuatu dari sisi yang lain. Bila bertindak atas dasar definisi tertentu, sesuatu barangkali tidak akan baik bagi seseorang. Biasanya pada seseorang ada masalah, dan masalah itu dapat membentuk definisi baru, dapat meniadakan yang lama, dengan kata lain apat berubah. Bagaimana definisi itu berubah atau berkembang merupakan pokok persoalan yang akan diteliti.
Jadi, penafsiran itu esensial. Interaksi simbolik menjadi paradigma konseptuakl melebihi “dorongan dari dalam”, “sifat-sifat pribadi”, “motivasi yang tidak disadari”,”kebetulan”, “status sosial ekonomi”, “kewajiban peranan”, “resep budaya”, “mekanisme pengawasan masyarakat”, atau lingkungan fisik lainnya. Faktor-faktor tersebut sebagian adalah konstrak yang digunakan para ilmuwan sosial dalam usahanya untuk memahami dan menjelaskan perilaku. Para interaksionis simbolik tidak menolak kenyataan bahwa konsep teoretik tersebut mungkin bermanfaat. Namun, hal itu hanya relevan untuk memahami perilaku sepanjang hal itu memasuki atau berpengaruh terhadap proses pendefinisian. Penganjur teori ini tidak boleh menolak adanya kenyataan bahwa terdapat adanya dorongan untuk makan dan bahwa ada efinisi kultural tentang bagaimana, apa, dan bilamana seseorang harus makan. Bagaimanapun, mereka harus menolak apabila dikatakan bahwa makan hanya dapat di-pahami dalam kerangka definisi kebudayaan dan dorongan. Makan dapat dipahami dengan melihatnya pada saling kaitan antara bagaimana orang mendefinisikan makan dan situasi khusus dimana mereka dapat memperolehnya. Makan dapat didefinisikan dengan beberapa cara yang berbeda, yaitu proses dialami secara berbeda, dan orang-orang menampakkan perilaku berbeda apabila sedang makan dalam situasi yang berbeda. Guru di sekolah mendefinisikan kapan waktu yang tepat untuk makan, apa yang dimakan, bagaimana cara makan yang berbeda antara siswa yang satu dengan yang lainnya pada tempat yang sama. Makan siang bisa berarti istirahat karena bekerja, gangguan yang menjengkelkan, kesempatan untuk melakukan pekerjaan pokok, waktu untuk diet, atau kesempatan memperoleh jawaban terhadap pertanyaan ujian. Makan bagi orang lain misalnya dapat merupakan tonggak dalam perkembangan hidupnya. Makan disini dinyatakan signifikan dengan jalan menyediakan peristiwa bagi seseorang untuk dapat mengukur apa yang sudah atau belum tercapai, berapa hari ia masih dapat bertahan, atau secepatnya seseorang akan terpaksa mengakhiri hari yang menyenangkan.

Dari gambaran di atas dapat dilihat bahwa makan siang mempunyai makna simbolik, dan konsep seperti dorongan dan ritual tidak berlaku. Teori itu tidak menolak bahwa ada aturan dan keteraturan, nilai, dan sistem nilai dalam masyarakat. Hal itu menjadi penting dalam memahami perilaku hanya jika orang mempertimbangkannya. Selanjutnya disarankan bahwa bukan aturan, keteraturan, norma, atau apa saja yang penting untuk memahami perilaku, melainkan bagaimana hal-hal itu didefinisikan dan digunakan dalam situasi-situasi khusus. Sekolah menengah mungkin memiliki sistim penilaian, susunan organisasi, jadwal kelas, kurikulum, dan motto resmi yang menyarankan tujuan pokok untuk “mendidik keseluruhan pribadi”. Manusia bertindak bukan atas dasar apa yang diwajibkan oleh  sekolah itu atau apa yang seharusnya dari sekolah itu atau menurut apa yang dikatakan oleh administrator, melainkan atas dasar bagaimana mereka memandang hal itu. Untuk sebagian, sekolah menengah itu merupakan tempat untuk bertemu dengan teman-temannya, atau malah tempat untuk memperoleh derajat yang lebih tinggi bagi sebagian siswa, sekolah merupakan tempat untuk memperoleh nilai dan mengumpulkan kredit sehingga mereka bisa lulus. Jadi, terakhir, mereka mendefinisikan tugas sebagai acuan ke perguruan tinggi atau memperoleh pekerjaan. Mereka mendefinisikan tindakannya walaupun ada aturan dan sistem kredit yang membawa pengaruh terhadap perilakunya. Organisasi-organisasi bervariasi dalam hal menyediakan pengertian yang pasti dan dalam hal bahwa alternatif pengertian tersedia dan diciptakan. Bagian lainnya yang penting dari teori interaksi simbolik ialah konstrak tentang “diri”. Diri itu tidak dilihat sebagai yang berada dalam individu seperti “aku” atau “kebutuhan yang teratur”, “motivasi”, dan “norma” seperti “nilai” dari dalam. Diri adalah definisi yang diciptakan orang (melalui interaksi dengan lainnya) di tempat ia berada. Dalam mengkonstrak atau mendefinisikan aku, manusia mencoba melihat dirinya sebagai orang lain, melihatnya dengan jalan menafsirkan tindakan dan isyarat yang diarahkan kepada mereka dengan jalan menenpatkan dirinya dalam peranan orang lain. Dengan singkat, kita melihat diri kita sendiri sebagai bagian dari orang lain melihat kita. Jadi, diri itu juga merupakan konstrak sosial, yaitu hasil persepsi seseorang terhadap dirinya dan kemudian mengembangkan definisi melalui proses interaksi. Cara ini memberi kesempatan bagi orang untuk bertumbuh dan berubah sepanjang mereka lebih banyak belajar tentang dirinya melalui proses interaksi tersebut. Cara konseptualisasi diri ini telah mengarah pada penelitian tentang self-fullfiling prophecy dan menyediakan latar belakang tentang apa yang dinamakan labelling approach terhadap perilaku seseorang.




PENGARUH SOSIOLOGI TERHADAP PENCIPTAAN NOVEL DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH KARYA HAMKA


(HAJI ABDUL KAMRIM MALIK AMRULLAH)


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra merupakan pencerminan masyarakat. Melalui karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat status sosial tertentu dan tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkan sekaligus membentuknya.
Menurut Ratna (2003: 2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain.
1.           Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangan aspek kemasyarakatannya.
2.           Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya.
3.           Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakangi.
4.           Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) anatara sastra dengan masyarakat, dan
5.           Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdependensi antara sastra dengan masyarakat.
Karya sastra HAMKA sudah merentas seluruh pelosok negeri, terutama di kawasan Nusantara dan Semenanjung Melayu. Karya beliau mempunyai warna tersendiri, yang dapat membedakannya dari warna karya sastra pengarang lainnya. Karya-karya beliau penuh dengan nilai-nilai adat istiadat Minangkabau yang berasaskan “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”. Oleh sebab itu, tidak mengherankan kalau karya-karya beliau dapat memberikan gambaran kehidupan etnik Minangkabau yang penuh dengan kesantunan dan keagamaan.


1.2 Masalah
·      Bagaimana gambaran kebudayaan masyarakat masa lalu pada novel “DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH”?
·      Bagaimana gambaran adat yang terdapat dalam novel “DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH”?
·      Bagaimana unsur Relegius yang ada pada roman “DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH” ?

1.3 Tujuan
·      Untuk mengetahui gambaran kebudayaan masyarakat masa lalu pada novel “DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH”.
·      Untuk mengetahui gambaran adat yang terdapat dalam novel “DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH”
·      Untuk mengetahui sejauh mana unsur Relegius yang ada pada roman “DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH”.


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

Minangkabau merupakan salah satu etnik daripada bangsa Melayu, kebudayaan Minangkabau tidaklah sama dengan kebudayaan Melayu. Pernyataan ini sesuai dengan gagasan Khaidir (1995: 98) yang menyebutkan bahwa : Budaya Minangkabau merupakan bahagian penting daripada budaya Melayu. Orang Minang adalah orang Melayu. Walaupun budaya Minang adalah bagian dari budaya Melayu, dan orang Minang menganggap dirinya orang Melayu, namun budaya Minang tentu tidak persis sama dengan budaya Melayu.
Sebagaimana halnya bangsa Melayu yang terkenal dengan bangsa yang sangat menghargai budaya, etnik Minangkabau mempunyai nilai-nilai falsafah yang tinggi dan bersifat universal. Mereka sangat menjunjung tinggi adat. Adat diciptakan oleh nenek moyang orang Minang sebagai hukum atau aturan hidup yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alamnya berdasarkan falsafah “Alam takambang jadi guru”.
Pernyataan di atas sejalan dengan pandangan Aswar (2006: 1) yang memaparkan bahwa adat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai, norma, hukum, dan aturan yang saling berkaitan menjadi suatu sistem. Menurut Aswar (2006), adat adalah perilaku agama yang terserap dalam pola pikir dan falsafah hidup orang Miangkabau, sistem sosial masyarakat yang menyeluruh, yang membentuk seluruh sistem penilaian, yang menjadi dasar dari sikap dan perilaku semua penilaian etika dan hukum. Oleh karena itu, adat menjadi pusat kehidupan etnik Minangkabau yang menentukan cara bertindak dan memberikan aturan hidup bagi etnik Minangkabau. Artinya, adat itu mengatur tatakehidupan masyarakat, baik individual maupun kolektif, dalam setiap perilaku pergaulan yang berdasarkan kepada ajaran berbudi pekerti yang baik dan bermoral mulia.
Sejalan dengan uraian di atas, etnik Minangkabau dikenal sebagai etnik yang berpegang teguh kepada nilai-nilai agama, adat, dan budaya. Ungkapan tak lapuk dek hujan, tak lakang dek paneh (Tidak lapuk kerana hujan, tidak lekang kerana panas) menunjukkan bahwa betapa orang Minang kokoh berpegang kepada nilai-nilai luhur yang mereka percayai, meskipun dalam kenyataan empirik tidak ada yang kekal di bawah langit, kecuali perubahan. Justru itu, budaya Minangkabau berfalsafahkan Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (Adat bersendikan syarak, syarak bersendikan Kitabullah). Dalam falsafah ini, secara eksplisit dinyatakan bahwa norma-norma budaya Minangkabau tidak hanya berdasarkan nilai adat semata, melainkan juga disempurnakan oleh nilai-nilai agama (Hakimy 1997: 27-30).
Pandangan Hakimy (1997) di atas sesuai dengan pandangan Rasyid (2006: 2) yang menyebutkan bahwa adat merupakan aturan atau norma untuk melakukan hubungan interaktif antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam sekitarannya sesuai dengan keyakinan kepada Khaliknya, sedangkan budaya merupakan kebiasaan naluriah untuk menganut dan menjalankan nilai-nilai adat dalam setiap aspek kehidupan. Agama, adat, dan budaya merupakan subsistem yang menghasilkan daya dorong (spirit) untuk berperilaku. Ketiga-tiga subsistem ini di dalam adat dikenal dengan Tungku tigo sajarangan (Tungku tiga sejerangan) yang melandasi sistem adat Minangkabau, yaitu “Adat basandi syarak dan syarak basandi Kitabullah”.
Rasyid (2006: 1) menegaskan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam adat memberi bentuk dan pola kepada budaya Minangkabau. Adat dibangun dengan memahami kaidah alam melalui olah rasa (emosi) yang disebut raso dan olah fikir (rasio) yang disebut pareso. Oleh karena itu, tegas Rasyid (2006:1), sikap atau pun perilaku etnik Minangkabau harus lahir melalui proses olah raso dan pareso secara interaktif. Adat yang demikianlah yang telah menyusun, merangkai, dan melatari Hamka dalam meluapkan ide dan perasaannya dalam novel Di Bawah Lindungan Kabah.
Di dalam cerita novel Di Bawah Lingdungan Ka’bah, Hamka menggambarkan sosok Hamid yang sangat religius dalam menghadapi segala musibah di dalam kehidupannya dari kecil hingga dewasa. Di waktu kecil Hamid selalu ingin membantu ibunya dalam hal ekonomi dengan cara berjualan kue dan itu merupakan sebagian dari kereligiusan karena menghormati dan berbakti kepada orang tua, terutama terhadap orang tua. Artinya surga itu terletak di telapak kaki ibu, maksudnya adalah sebagai seorang anak sudah seharusnya taat, dan barbakti kepada ibu, mau selamat dunia akhirat, harus hormat dan taat orang tua kepada ayah dan kepada ibu.
Pada saat hamid patah hati pada saat dia disuruh oleh ibu Zainab untuk membujuk Zainab untuk segera menikah, di menjalankan amanah ibu Zainab dengan baik walau hatinya sangat sakit. Dalam agama islam amanah harus disampaikan walaupun sangat mengyakitkan bagi diri sendiri.
Hamid meninggalkan Indonesia dan pergi ke Mekkah untuk tinggal di sana dan mendekatkan diri kepada tuhannya pada saat dia patah hati karena dia menyangka Zainab akan menikah dengan lelaki pilihan ibunya. Kita sebaiknya harus selalu mendekatkan diri kepada tuhan dalam hal apapun dan kapanpun, tidak hanya dalam keadaan susah tetapi juga pada saat berbahagia.

Hikmatul Izzah