ESTETIKA RESEPSI SASTRA DAN PENERAPANNYA
Oleh Kelas A/2009
Kelompok 5:
Aditya Charisma Ningtyas 090401080044
Andreas Wali 090401080015
Falistin Shinta Devi 090401080165
Hikmatul Izzah 090401080093
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Kanjuruhan Malang
Maret 2012
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI …………..……………………………………………………... 1
KATA PENGANTAR ….……………………………………………………. 2
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang………………………………………...………………….. 3
1.2. Identifikasi Masalah………………………………...………...................... 3
1.3. Tujuan ………………………………………………………………...... .. 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Estetika Resepsi …………..…………………………………….... 4
2.2. Dasar-Dasar Teori Resepsi Sastra ….…………………………………….. 4
2.3. Penerapan Teori Estetika Resepsi ………………………………………… 8
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan……………………………………………………………..… 12
DAFTAR PUSTAKA ……...……………………………………………...….. 13
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya kami selaku penulis dapat mengerjakan tugas menyusun makalah ini yang telah diberikan oleh bapak Azam Arifin selaku dosen Kritik Sastra di Universitas Kanjuruhan.
Dengan adanya makalah ini, kami berharap semoga dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi siapapun yang kelak membacanya. Di dalam makalah ini tentunya masih banyak kekurangan – kekurangan, untuk itu kami selaku penyusun mengharapkan saran dan kritik agar makalah ini mencapai kesempurnaan. Kami juga meminta maaf apabila ada salah penulisan atau gelar.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu kami selama menyusun makalah ini, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik.
Malang, 17 April 2012
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Kritik sastra memiliki peran yang besar dalam perkembangan teori sastra dan salah satu teori tersebut adalah resepsi sastra. Oleh karena itu, resepsi sastra adalah bagian yang tak terpisahkan dari kritik sastra. Kritik sastra sendiri berasal dari bahasa Yunani krites yang berarti hakim. Kata benda krites berasal dari kata kerja krinein yang berarti menghakimi. Kata krinein merupakan pangkal dari kata benda kriterion yang berarti dasar penghakiman. Lalu timbul kata kritikos yang berarti hakim karya sastra (Suyitno, 2009:1).
1.2. RUMUSAN MASALAH
· Apakah pengertian dari estetika resepsi sastra?
· Seperti apakah dasar-dasar teori estetika resepsi sastra?
· Bagaimanakah penerapan estetika resepsi sastra?
1.3. TUJUAN
· Mengetahui pengertian dari estetika resepsi sastra
· Dapat memahami dasar-dasar teori estetika resepsi sastra
· Mengetahui penerapan estetika resepsi sastra
BAB II
PEMBAHASAN
ESTETIKA RESEPSI DAN PENERAPANNYA
2.1. PENGERTIAN
Ratna (2008:165) mengemukakan secara definitif estetik resepsi sastra berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris) yang berarti sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya sehingga dapat memberikan respons terhadapnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Pradopo (2007:206) bahwa resepsi sastra adalah estetika (ilmu keindahan) yang mengacu kepada tanggapan atau resepsi pembaca karya sastra dari waktu ke waktu.
Selanjutnya, Endaswara (2008:118) mengemukakan bahwa resepsi berarti menerima atau penikmatan karya sastra oleh pembaca. Resepsi merupakan aliran yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak kepada pembaca yang memberi reaksi atau tanggapan terhadap teks itu. Dalam meresepsi sebuah karya sastra bukan hanya makna tunggal, tetapi memiliki makna lain yang akan memperkaya karya sastra itu.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa resepsi sastra merupakan penelitian yang menfokuskan perhatian kepada pembaca, yaitu bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya sastra, sehingga memberikan reaksi terhadap teks tersebut.
2.2. DASAR-DASAR TEORI ESTETIKA RESEPSI SASTRA
Estetika resepsi sastra dapat melahirkan tanggapan, reaksi atau respon terhadap sebuah karya sastra dikemukakan oleh pembaca sejak dulu hingga sekarang akan berbeda-beda antara pembaca yang satu dengan yang lain. Begitu juga dengan tiap periode berbeda dengan periode lainnya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cakrawala harapan (verwachtingshorizon atau horizon of expectation).
A. Cakrawala harapan ini adalah harapan-harapan seorang pembaca terhadap karya sastra (Pradopo, 2007:207). Cakrawala ini sebagai konsep awal yang dimiliki pembaca terhadap karya sastra ketika ia membaca sebuah karya sastra. Harapan itu adalah karya sastra yang dibacanya sejalan dengan konsep tenatang sastra yang dimiliki pembaca. Oleh karena itu, konsep sastra antara seorang pembaca dengan pembaca lain tentu akan berbeda-beda. Hal ini dikarenakan cakrawala harapan seseorang itu ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan dalam menanggapi karya sastra.
Teori resepsi dikembangkan oleh RT Segers (1978:36) dalam bukunya Receptie Esthetika (1978) Buku Receptie Esthetika diawali dengan dasar-dasar resepsi sastra ditentukan ada tiga dasar faktor cakrawala harapan yang dibangun pembaca:
- Norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca.
- Pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya.
- Pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami, baik secara horison “sempit” dari harapan-harapan sastra maupun dalam horison “luas” dari pengetahuannya tentang kehidupan.
Selanjutnya, Pradopo (2007:208) mengemukakan bahwa dalam karya sastra ada tempat-tempat terbuka (open plek) yang “mengharuskan” para pembaca mengisinya. Hal ini berhubungan dengan sifat karya sastra yang multi tafsir. Oleh karena itu, tugas pembacalah untuk memberi tanggapan estetik dalam mengisi kekosongan dalam teks tersebut. Pengisian tempat terbuka ini dilakukan melalui proses konkretisasi (hasil pembacaan) dari pembaca. Jika pembaca memiliki pengetahuan yang luas tentang kehidupan, pastilah konkretisasinya akan “sempurna” dalam mengisi “tempat-tempat terbuka (open plak) dengan baik.
B. Metode Estetika Resespsi.
Perhatian utama dalam estetika teori resepsi adalah pembaca karya sastra. Hal ini disebabkan bahwa kehidupan historis karya sastra tidak terpikirkan tanpa partisipasi para pembacanya. Mendasarkan diri pada teori bahwa karya sastra itu sejak berdirinya selalu mendapat resepsi atau tanggapan para pembacanya. Menurut Jeuss “apresiasi pembaca pertama terhadap sebuah karya sastra akan dilanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan-tanggapan yang lebih lanjut dari generasi ke generasi. Dengan cara ini makna historis karya satra akan ditentukan dan nilai estetiknya terungkap (Jauss, 1974:14). Sebuah karya sastra jauh lebih merupakan orkestrasi yang selalu menyuarakan suara-suara baru diantara para pembacanya, bukan hanya objek yang berdiri sendiri yang memberikan wadah yang sama kepada masing-masing pembaca di setiap periode. Karena itu, sebuah karya sastra harus dimengerti sebagai pencipta dialog maka keahlian filosofis harus didirikan pada pembacaan kembali teks secara terus-menerus. Tidak hanya ada fakta-fakta saja.”
Dalam metode ini diteliti tanggapan-tanggapan setiap periode yaitu tanggapan-tanggapan sebuah karya sastra oleh pembacanya. Pembaca dalam hubungan ini yang dimaksud adalah pembaca yang cakap bukan awam, yaitu para kritikus sastra dan ahli sastra yang dipandang dapat mewakili para pembaca pada periodenya (ahli sejarah, para ahli estetika dan para kritikus (Vodicka-1964:78). Para ahli sastra di setiap periode memberikan komentar-komentar berdasarkan konkretisasi terhadap karya sastra yang bersangkutan. Konkretisasi berarti pengkongkritan makna karya sastra atas dasar pembacaan dengan tujuan estetik.
Proses pembacaan, bagi teori resepsi sastra, selalu bersifat dinamis, pergerakan dan pemikiran yang kompleks sepanjang waktu. Karya sastra sendiri eksis hanya apa yang disebut ahli teori polandia Roman Ingarden sebagai seperangkat ‘scemata’ atau arah yang umum, yang harus diaktualisasikan oleh pembaca. Untuk melakukan ini pembaca akan membawa ‘prapemahaman’ tertentu ke dalam karya, sebuah konteks kepercayaan dan expestasi yang samar-samar, yang di dalamnya pembaca akan memeriksa ciri-ciri karya yang bervariasi.
Akan tetapi selagi proses pembacaan berjalan, ekspsedisi tadi sendirinya akan dimodifikasi oleh apa yang kita pelajari, dan lingkaran hermeunetika bergerak dari bagian keseluruhan dan kembali ke bagian yang akan kembali berputar. Sambil membangun pemahaman yang koheren dari teks, pembaca akan menyeleksi dan mengorganisisr elemen-elemen karya-karya yang menjadi satu keseluruhan yang konsisten, meyisihkan berapa elemen dan mengedepankan yang lain, ‘mengkonkertkan’ item-item tertentu dengan cara-cara tertentu; ia akan mencoba menyatukan persepektif yang berbeda di dalam karya secara bersama-sama, atau pindah dari satu persepktif lain demi membangun sebuah ilusi yang terintegrasi.
Pada kenyataannya, teori resepsi Iser didasarkan pada sebuah ideology humanis liberal: kepercayaan bahwa dalam membaca kita harus fleksibel dan berpikiran terbuka, siap untuk mempertanyakan kepercayaan kita dan membiarkannya mengalami transformasi.
Menerangkan fakta bahwa resepsi atas sebuah karya bukan hanya sebuah fakta ‘sternal’ mengenainya, sebuah hal yang bersifat kebetulan tentang kajian buku dan penjualan di toko buku. Resepsi karya adalah dimensi yang membangun karya itu sendiri. Setiap teks karya sastra dibangun dari sebuah pemahaman tentang pembaca potensialnya, mencakup bayangan tentang untuk siapa karya itu ditulis; setiap karya menyusun kode di dalam dirinya tentang apa yang disebut oleh Iser yaitu ‘pembaca tersirat’, mengindikasikan dalam setiap gerakanya jenis ‘penerima tuturan’ yang diantisipasi olehnya (Jean Paul Sartre).
Efek estetik karya sastra sebagai keseluruhan begitu juga konkretisasinya, tunduk kepada perubahan yang terus menerus. Kekuatan sebuah karya sastra tergantung pada kualitas yang dikandung secara potensial karya itu dalam perkembangan norma sastra. Jika karya sastra dinilai positif, bahkan bila norma berubah, itu berarti bahwa karya sastra tersebut mempunyai jangka hidup yang lebih panjang dari pada sebuah karya sastra yang efektifitas estetiknya habis dengan lenyapnya norma sastra pada masanya. (Vodicka,1964:79).
Dengan demikian penelitian dengan metode estetika resepsi seperti juga dikemukakan oleh Segers (1978:49), ialah 1.mengkonstruksi bermacam-macam konkretisasi sebuah karya sastra dalam masa sejarahnya dan 2. Meneliti hubungan diantara konkretisasi-konkretisasi itu disatu pihak dan dilain pihak meneliti hubungan diantara karya sastra dengan konteks historis yang memiliki konkretisasi-konkretisasi itu.
Dengan demikian penelitian dengan metode estetika resepsi seperti juga dikemukakan oleh Segers (1978:49), ialah 1.mengkonstruksi bermacam-macam konkretisasi sebuah karya sastra dalam masa sejarahnya dan 2. Meneliti hubungan diantara konkretisasi-konkretisasi itu disatu pihak dan dilain pihak meneliti hubungan diantara karya sastra dengan konteks historis yang memiliki konkretisasi-konkretisasi itu.
2.3. PENERAPAN ESTETIKA RESEPSI
Dalam meneliti karya sastra berdasarakan metode estetika resepsi dapat dilakuakan dalam dua cara, yaitu:
1. Sinkronik ialah cara penelitian resepsi terhadap sebuah karya sastra dalam satu masa atau satu periode. Yaitu yang diteliti di sini resepsi pembaca dalam satu kurun waktu. Dengan kata lain, sinkronik meneliti karya sastra dalam hubungannya dengan pembaca sezaman atau satu periode sastra. Namun harus diingat bahwa dalam satu kurun waktu itu biasanya ada norma-norma yang memahami karya sastra. Akan tetapi, tiap-tiap orang mempunyai cakrawala harapan sendiri berdasarkan pengetahuan sendiri. Bahkan juga ideologi, maka mereka akan menanggapi karya sastra berbeda-beda. Contohnya tanggapan pembaca berpaham ‘seni untuk seni’ akan berbeda dengan tanggapan ‘seni untuk masyarakat’(seni bartends) dan sebagainya.
Konkeretisasi dari masing-masing pembaca dapat diteliti dengan cara pneyebaran angket kepada pembaca sekurun waktu yang dikumpulkan. Akan tetapi, meskipun diketahui konkretisasi pembaca-pembaca terhadap karya sastra dalam suatu kurun waktu, nilai seni karya sastra tersebut belum teruji secara historis. Maka, penelitian secara diakronislah yang akan lebih kuat menunjukan nilai seni sebuah karya sastra sepanjang waktu yang telah dilalui.
2. Diakronis yaitu melakukan dengan mengumpulkan tanggapan-tanggapan pembaca ahli sebagai wakil-wakil pembaca dari tiap-tiap periode. Misalnya, bila meneliti konkeretisasi dan nilai Chairil Anwar, dapat diteliti bagaimana resepsi pembaca semasa karya itu terbit, kemudian diteliti resepsi-resepsi pada periode selanjutnya, dan resepsi pada periode sekarang ini terhadap karya-karya tersebut. Maka akan dapat disimpulkan bagaimana nilai estetik sebuah karya sastra berdasarkan resepsi-resepsi pada setiap periode itu yang diteliti dasar-dasar yang digunakan oleh pembaca di setiap periode, norma-norma yang menjadi dasar konkretisasinya, dan kriteria apa yang menjadi dasar penelitiannya. Bila sebuah karya sastra dapat diketahui dasar konkretisasinya dan penilaian di setiap periode yang dilalaui maka, dapa disimpulkan nilai estetiknya sebagai karya seni sastra jika mendapat nilai positif berarti karya asastra tersebut bernilai tinggi.
Penggolongan suatu karya sastra ke dalam suatu periode tertentu, tentu harus didasarkan oleh ciri-ciri tertentu. Setiap periode/angkatan sastra mempunyai ciri yang berbeda. Ciri khas sastra setiap periode / angkatan merupakan gambaran dari masyarakatnya sebab sastra merupakan hasil dari masyarakatnya serta ciri-ciri unsur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra itu sendiri. Berdasarkan pendapat itu, terjadilah penggolongan sastra atau periodisasi sastra seperti berikut.
1. Periode 1920-an atau Masa Balai Pustaka
2. Periode 1930-an atau Masa Pujangga Baru
3. Periode 1945-an atau Masa Angkatan 45
4. Periode 1966-an atau Masa Angkatan 66
5. Periode 1970-an atau Masa Sastra Kontemporer
6. Periode 2000-an atau Masa Angkatan 2000
A. Penelitian Estetika Resepsi Naskah Tulisan tangan Sastra Lama
Sebelum ada percetakan terdapat beberapa versi naskah tulisan tangan dari sebuah karya sastra; hal ini disebabkan penyalinan naskah dengan tulisan tangan yang dilakukan oleh beberapa orang. Versi tersebut pada umumnya menunjukkan adanya perbedaan meskipun bersumber dari satu naskah tertua (Archetype).
Untuk meneliti versi ini biasanya peneliti menggunakan metode perbandingan teks (disebut metode stema). Dengan metode ini diharapkan dapat ditemukan bentuk yang diperkirakan menyamai Archetype-nya, tulisan asli yang tidak ada. Menurut teori ini terdapat kesalahan-kesalahan dalam satu naskah ke naskah yang ditulis ulang yang mungkin akan sangat lain bahkan menyimpang dari naskah aslinya atau Archetype. Akan tetapi berdasarkan teori estetika resepsi mungkin “ kesalahan-kesalahan “ tersebut memang sengaja dibuat oleh para penyalin di setiap periode. Hal ini disebabkan oleh tiap periode mempunyai cakrawala harapan sendiri. Maka, menurut teori estetika resepsi para penyalin bukan hanya sekedar menyalin, melainkan menciptakan versi baru. Jadi menurut estetika resepsi tiap naskah itu dianggap asli__tidak perlu dicari Archetype-nya. Dalam penelitian berdasar metode estetika tanggapan, resepsi-resepsi pada tiap periode itulah yang harus diteliti.
Sebelum ada percetakan terdapat beberapa versi naskah tulisan tangan dari sebuah karya sastra; hal ini disebabkan penyalinan naskah dengan tulisan tangan yang dilakukan oleh beberapa orang. Versi tersebut pada umumnya menunjukkan adanya perbedaan meskipun bersumber dari satu naskah tertua (Archetype).
Untuk meneliti versi ini biasanya peneliti menggunakan metode perbandingan teks (disebut metode stema). Dengan metode ini diharapkan dapat ditemukan bentuk yang diperkirakan menyamai Archetype-nya, tulisan asli yang tidak ada. Menurut teori ini terdapat kesalahan-kesalahan dalam satu naskah ke naskah yang ditulis ulang yang mungkin akan sangat lain bahkan menyimpang dari naskah aslinya atau Archetype. Akan tetapi berdasarkan teori estetika resepsi mungkin “ kesalahan-kesalahan “ tersebut memang sengaja dibuat oleh para penyalin di setiap periode. Hal ini disebabkan oleh tiap periode mempunyai cakrawala harapan sendiri. Maka, menurut teori estetika resepsi para penyalin bukan hanya sekedar menyalin, melainkan menciptakan versi baru. Jadi menurut estetika resepsi tiap naskah itu dianggap asli__tidak perlu dicari Archetype-nya. Dalam penelitian berdasar metode estetika tanggapan, resepsi-resepsi pada tiap periode itulah yang harus diteliti.
Bila peneliti salah satu nasakah dari periode tertentu, maka resepsi pembaca pada periode itulah yang harus dikaji. Dikaji dari norma-norma, konkretisasinya berdasarkan norma-norma yang berlaku, dan juga pandangan-pandangan masyarakat pada periode itu. Susahnya dalam sastra lama ialah sudahnya mencari berita-berita mengenai semuanya , harus dicari di museum.
B. Penelitian Estetika Resepsi pada karya Sastra Modern Penelitian resepsi karya sastra modern lebih mudah dari pada penelitian resepsi karya sastra lama, dalam arti bahwa tanggapan-tanggapan atas karya sastra modern masih mudah didapatkan sebab jarak antara peneliti dengan waktu terbitnya belum jauh sehingga naskahnya masih tersimpan dan secara relatif lebih mudah didapatkan.
Untuk meneliti karya sastra modern ini prinsipnya sama dengan penelitian resepsi karya sastra lama yaitu dengan metode seperti yang diungkapkan Segers (1978: 49). Misalnya, bila orang orang akan meneliti sajak-sajak Cairil Anwar, maka harus merekonsruksikan bermacam-macam konkretisasinya dalam masa sejarahnya. HB Jassin menanggapi sajak Cahiril Anwar yang sebelumnya pernah ada tanggapan dari redaktur majalah atau surat kabar, di antaranya Panji Poestaka diresepsi secara pragmatic, dikatakan sajak-sajak tidak mungkin dimuat, dalam “susunan dunia baru” tidak ada harganya sebab sajak-sajaknya individudualitis dan kebarat-baratan.
Untuk meneliti karya sastra modern ini prinsipnya sama dengan penelitian resepsi karya sastra lama yaitu dengan metode seperti yang diungkapkan Segers (1978: 49). Misalnya, bila orang orang akan meneliti sajak-sajak Cairil Anwar, maka harus merekonsruksikan bermacam-macam konkretisasinya dalam masa sejarahnya. HB Jassin menanggapi sajak Cahiril Anwar yang sebelumnya pernah ada tanggapan dari redaktur majalah atau surat kabar, di antaranya Panji Poestaka diresepsi secara pragmatic, dikatakan sajak-sajak tidak mungkin dimuat, dalam “susunan dunia baru” tidak ada harganya sebab sajak-sajaknya individudualitis dan kebarat-baratan.
H.B Jassin menilai sajak-sajak Chairil anwar secara judicial expresif, yang memakai kriteria estetik dan ekstra estetik: dikatakan sajak-sajaknya revolusioner bentuk dan isi, meledak-ledak, melambung ketingggian mengamankan dan menerjunkan ke kedalaman yang mengerikan (1972:78). Chairil Anwar memberudara baru yang segar bagi sastra Indonesia. Jadi H.B Jassin memberi tanggapan secara posif kepada sajak-sakjak chairil Anwar, agar karyanya lebih bagus dari sebelumnya.
Bebeda dengan pendapat Sutan Takdir Alisahbana mengaggapi sajak Chairil Anwar. Tangggapannya dimuat dalam artikelnya “Penilaian Chairil Anwar Kembali” (alisjahbana, 1977: 139-180). Takdir menilai bahwa Chairil Anwar membawa suasana, gaya, ritme, tempo, nafas, kepekatan, dan kelincahan yang baru kepada sastra Indonesia. Karena penilaian yang pragmatis oleh Takdir Alisjahbana, yang menghendaki karya sastra berguna bagi pembangaunan bangsa, maka sajak-sajak yang pesimistis dan berisi pemberontakan itu diumpamakan sebagai rujak asam, pedas, asin yang bermanfaat untuk mengeluarkan keringat, namun tidak dapat dijadikan sari kehidupan manusia.
BAB III
SIMPULAN
Estetika resepsi sastra beorientasi pada pendekatan pragmatik yang memberikan perhatian utama terhadap peranan pembaca dalam karya sastra. Tanggapan pembaca terhadap sebuah karya sastra sejak dari dulu hingga sekarang akan berbeda-beda antara pembaca yang satu dengan yang lain. Begitu juga dengan tiap periode berbeda dengan periode lainnya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cakrawala harapannya. Dari tanggapan pembaca kritis dari tahun 70-an, 80-an, dan 90-an baik pro maupun kontra pada cerpen “Sri Sumarah” karya Umar Kayam, Umar Kayam mampu melukiskan warna lokal yang sangat kental dalam kehidupan orang Jawa. Walaupun beberapa pembaca kritis menganggap cerpen ini terlalu banyak istilah Jawa yang akan menyulitkan pembaca non-Jawa.
DAFTAR PUSTAKA
No comments:
Post a Comment