(HAJI ABDUL KAMRIM MALIK AMRULLAH)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra merupakan pencerminan masyarakat. Melalui karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat status sosial tertentu dan tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkan sekaligus membentuknya.
Menurut Ratna (2003: 2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain.
1. Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangan aspek kemasyarakatannya.
2. Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya.
3. Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakangi.
4. Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) anatara sastra dengan masyarakat, dan
5. Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdependensi antara sastra dengan masyarakat.
Karya sastra HAMKA sudah merentas seluruh pelosok negeri, terutama di kawasan Nusantara dan Semenanjung Melayu. Karya beliau mempunyai warna tersendiri, yang dapat membedakannya dari warna karya sastra pengarang lainnya. Karya-karya beliau penuh dengan nilai-nilai adat istiadat Minangkabau yang berasaskan “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”. Oleh sebab itu, tidak mengherankan kalau karya-karya beliau dapat memberikan gambaran kehidupan etnik Minangkabau yang penuh dengan kesantunan dan keagamaan.
1.2 Masalah
· Bagaimana gambaran kebudayaan masyarakat masa lalu pada novel “DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH”?
· Bagaimana gambaran adat yang terdapat dalam novel “DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH”?
· Bagaimana unsur Relegius yang ada pada roman “DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH” ?
1.3 Tujuan
· Untuk mengetahui gambaran kebudayaan masyarakat masa lalu pada novel “DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH”.
· Untuk mengetahui gambaran adat yang terdapat dalam novel “DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH”
· Untuk mengetahui sejauh mana unsur Relegius yang ada pada roman “DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH”.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Minangkabau merupakan salah satu etnik daripada bangsa Melayu, kebudayaan Minangkabau tidaklah sama dengan kebudayaan Melayu. Pernyataan ini sesuai dengan gagasan Khaidir (1995: 98) yang menyebutkan bahwa : Budaya Minangkabau merupakan bahagian penting daripada budaya Melayu. Orang Minang adalah orang Melayu. Walaupun budaya Minang adalah bagian dari budaya Melayu, dan orang Minang menganggap dirinya orang Melayu, namun budaya Minang tentu tidak persis sama dengan budaya Melayu.
Sebagaimana halnya bangsa Melayu yang terkenal dengan bangsa yang sangat menghargai budaya, etnik Minangkabau mempunyai nilai-nilai falsafah yang tinggi dan bersifat universal. Mereka sangat menjunjung tinggi adat. Adat diciptakan oleh nenek moyang orang Minang sebagai hukum atau aturan hidup yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alamnya berdasarkan falsafah “Alam takambang jadi guru”.
Pernyataan di atas sejalan dengan pandangan Aswar (2006: 1) yang memaparkan bahwa adat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai, norma, hukum, dan aturan yang saling berkaitan menjadi suatu sistem. Menurut Aswar (2006), adat adalah perilaku agama yang terserap dalam pola pikir dan falsafah hidup orang Miangkabau, sistem sosial masyarakat yang menyeluruh, yang membentuk seluruh sistem penilaian, yang menjadi dasar dari sikap dan perilaku semua penilaian etika dan hukum. Oleh karena itu, adat menjadi pusat kehidupan etnik Minangkabau yang menentukan cara bertindak dan memberikan aturan hidup bagi etnik Minangkabau. Artinya, adat itu mengatur tatakehidupan masyarakat, baik individual maupun kolektif, dalam setiap perilaku pergaulan yang berdasarkan kepada ajaran berbudi pekerti yang baik dan bermoral mulia.
Sejalan dengan uraian di atas, etnik Minangkabau dikenal sebagai etnik yang berpegang teguh kepada nilai-nilai agama, adat, dan budaya. Ungkapan tak lapuk dek hujan, tak lakang dek paneh (Tidak lapuk kerana hujan, tidak lekang kerana panas) menunjukkan bahwa betapa orang Minang kokoh berpegang kepada nilai-nilai luhur yang mereka percayai, meskipun dalam kenyataan empirik tidak ada yang kekal di bawah langit, kecuali perubahan. Justru itu, budaya Minangkabau berfalsafahkan Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (Adat bersendikan syarak, syarak bersendikan Kitabullah). Dalam falsafah ini, secara eksplisit dinyatakan bahwa norma-norma budaya Minangkabau tidak hanya berdasarkan nilai adat semata, melainkan juga disempurnakan oleh nilai-nilai agama (Hakimy 1997: 27-30).
Pandangan Hakimy (1997) di atas sesuai dengan pandangan Rasyid (2006: 2) yang menyebutkan bahwa adat merupakan aturan atau norma untuk melakukan hubungan interaktif antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam sekitarannya sesuai dengan keyakinan kepada Khaliknya, sedangkan budaya merupakan kebiasaan naluriah untuk menganut dan menjalankan nilai-nilai adat dalam setiap aspek kehidupan. Agama, adat, dan budaya merupakan subsistem yang menghasilkan daya dorong (spirit) untuk berperilaku. Ketiga-tiga subsistem ini di dalam adat dikenal dengan Tungku tigo sajarangan (Tungku tiga sejerangan) yang melandasi sistem adat Minangkabau, yaitu “Adat basandi syarak dan syarak basandi Kitabullah”.
Rasyid (2006: 1) menegaskan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam adat memberi bentuk dan pola kepada budaya Minangkabau. Adat dibangun dengan memahami kaidah alam melalui olah rasa (emosi) yang disebut raso dan olah fikir (rasio) yang disebut pareso. Oleh karena itu, tegas Rasyid (2006:1), sikap atau pun perilaku etnik Minangkabau harus lahir melalui proses olah raso dan pareso secara interaktif. Adat yang demikianlah yang telah menyusun, merangkai, dan melatari Hamka dalam meluapkan ide dan perasaannya dalam novel Di Bawah Lindungan Ka’bah.
Di dalam cerita novel Di Bawah Lingdungan Ka’bah, Hamka menggambarkan sosok Hamid yang sangat religius dalam menghadapi segala musibah di dalam kehidupannya dari kecil hingga dewasa. Di waktu kecil Hamid selalu ingin membantu ibunya dalam hal ekonomi dengan cara berjualan kue dan itu merupakan sebagian dari kereligiusan karena menghormati dan berbakti kepada orang tua, terutama terhadap orang tua. Artinya surga itu terletak di telapak kaki ibu, maksudnya adalah sebagai seorang anak sudah seharusnya taat, dan barbakti kepada ibu, mau selamat dunia akhirat, harus hormat dan taat orang tua kepada ayah dan kepada ibu.
Pada saat hamid patah hati pada saat dia disuruh oleh ibu Zainab untuk membujuk Zainab untuk segera menikah, di menjalankan amanah ibu Zainab dengan baik walau hatinya sangat sakit. Dalam agama islam amanah harus disampaikan walaupun sangat mengyakitkan bagi diri sendiri.
Hamid meninggalkan Indonesia dan pergi ke Mekkah untuk tinggal di sana dan mendekatkan diri kepada tuhannya pada saat dia patah hati karena dia menyangka Zainab akan menikah dengan lelaki pilihan ibunya. Kita sebaiknya harus selalu mendekatkan diri kepada tuhan dalam hal apapun dan kapanpun, tidak hanya dalam keadaan susah tetapi juga pada saat berbahagia.
Hikmatul Izzah |
No comments:
Post a Comment