Peranan Guru sebagai Lingkungan
Belajar Bahasa Kedua
Belajar Bahasa Kedua
Prof. DR. Sumarsono, M.ED.
STKIP Singaraja
STKIP Singaraja
PengantarTulisan ini tidak bayak menekankan aspek "ilmiah teoretis" tentang belajar dan pembelajaran bahasa kedua (B2). Dalam hal ini B2 itu adalah bahasa Indonesia (BI) yang sudah banyak dibahas orang, apalagi teori-teori itu pun kebanyakan berasal dari dunia barat yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan kita di Indonesia. Pengalaman penulis dalam belajar bahasa dan "memperoleh" bahasa Inggris, dan pengalamannya dalam mengajarkan BI kepada orang atau penutur non-BI, akan mewarnai tulisan ini.Belajar dan Lingkungan BelajarBanyak sekali batasan tentang belajar, tetapi penulis berpegang kepada batasan kaum kognisi, khususnya Jean Piaget, yang pada intinya mengemukakan bahwa belajar merupakan interaksi antara individu pebelajar (learner) dengan lingkungan. Dalam Language Two, oleh Heidy Dulay, dkk mengemukakan adanya empat lingkungan makro dan tiga lingkungan mikro yang bisa berpengaruh. Lingkungan makro ialah (1) kealamian bahasa yang didengar; (2) peranan pebelajar dalam komunikasi; (3) ketersediaan alat acuan untuk memperjelas makna; dan (4) siapa yang menjadi model bahasa sasaran. Lingkungan mikro terdiri dari (1) tonjolan (salience), (2) balikan (feedback), dan (3) frekuensi. Pertanyaannya, di mana posisi guru? Jawaban saya, guru merupakan salah satu tonggak lingkungan: pada lingkungan makro dia setidaknya bisa berposisi sebagai model, dan pada lingkungan mikro guru berposisi sebagai pemberi balikan.PendekatanDi dunia pembelajaran bahasa (language learning) sekarang, termasuk pembelajaran B2, tampak masih diberlakukan pendekatan komunikatif integratif, disamping Ausable yang mengingatkan ihwal pentingnya kebermaknaan dalam belajar (meaningful learning) bagi pebelajar. Berdasarkan pendekatan ini, metode dan teknik pembelajaran mengarah pada kegiatan berkomunikasi yang bermakna bagi pebelajar. Pendekatan integratif dilandasi oleh konsep bahwa bahasa itu mempunyai tali-temali secara internal (fonem, kata, frase, klausa, dan kalimat) dan eksternal. Hubungan antarunsur tadi diatur oleh gramatika yang merupakan komponen kebahasaan sebagai dasar untuk memahami dan menggunakan bahasa. Secara eksternal, bahasa mempunyai hubungan dengan budaya dan seluruh bidang kehidupan.Konsep Pemerolehan BahasaSejak tahun 1979 dunia pendidikan di Indonesia berkenalan dengan pembedaan antara hasil instruksional berupa kompetensi pebelajar atas pengetahuan dan keterampilan dalam ranah intelektual, emosional, dan fisik (psikomotor), dan hasil pengiring (nurturent effect), serta nilai (value). Pelajaran yang dapat dipetik dari konsep ini ialah ada sesuatu yang diperoleh siswa dari apa yang diajarkan guru atau dipelajari siswanya. Hal tersebut sejajar dengan munculnya pembedaan antara konsep pembelajaran (learning) dan pemerolehan (acquisition) bahasa. Istilah "pemerolehan" terpaut dengan kajian psikolinguistik ketika kita berbicara mengenai anak-anak dengan bahasa ibunya. Dengan beberapa pertimbangan, istilah pertama dipakai untuk belajar B2 dan istilah kedua dipakai untuk bahasa ibu (B1). Faktanya, belajar selalu dikaitkan dengan guru, kurikulum, alokasi waktu, dan sebagainya, sedangkan dalam pemerolehan B1 semua itu tidak ada. Ada fakta lain bahwa dalam memperoleh B1, anak mulai dari nol; dalam belajar B2, pebelajar sudah memiliki bahasa.Dengan "mesin" pemerolehan bahasa yang dibawa sejak lahir anak mengolah data bahasa lalu memproduksi ujaran-ujaran. Dengan watak aktif, kreatif, dan inofatif, anak-anak akhirnya mampu menguasai gramatika bahasa dan memproduksi tutur menuju bahasa yang diidealkan oleh penutur dewasa. Anak memiliki motivasi untuk segera masuk ke dalam lingkungan sosial, entah kelompok sebaya (peer group) atau guyup (community). Bahasa Indonesia sebagai B2Sudah dikemukakan bahwa teori tentang belajar B2 berasal dari dunia barat, dan B2 yang terlibat dalam teori ini adalah bahasa Inggris. Dalam menerapkan teori tersebut, kita perlu bersikap lebih arif bahkan kalau mungkin menciptakan teori berdasarkan pengalaman kita. Keragaman bahasa tidak boleh membuat kita lupa bahwa yang harus diajarkan kepada siswa asing ialah ragam baku (lihat Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan Pedoman EYD).Hal lain yang harus diingat ialah bahwa BI mempunyai karakteristik tersendiri termasuk aspek gramatika, konsep tentang ruang dan waktu. Kita punya sini, situ, sana; kita bisa mengucapkan Selamat malam, ketika bertemu orang pada pukul 19.00 atau 02.00; bahkan Selamat bekerja, Selamat belajar (yang padanannya dalam bahasa Inggris pasti tidak memakai Good& ). Pengalaman Penulis dan Peran GuruDalam pengertian belajar di atas, guru berperan sebagai salah satu tonggak lingkungan, nara sumber, pemberi masukan, model bahasa sasaran, dan pemberi balikan. Berikut adalah paparan penulis tentang pengalaman pribadinya dalam belajar dan mengajar B2. Penulis mengenal bahasa Inggris ketika menjadi murid SMP, 1951, dan selama tiga tahun diajar secara bergantian oleh empat guru dengan kemampuan dan gaya yang berbeda. Yang mereka ajarkan sebagian besar ialah kaidah gramatika, kosakata, dan terjemahannya; tidak ada model pembelajaran yang komunikatif atau dialog.Memasuki SMA/A penulis mempunyai guru yang pintar berbahasa Inggris dan mampu berperan sebagai pemberi motivasi. Beliau memberikan instruksi dalam bahasa Inggris dan ketika saya belum mampu bertutur dalam bahasa Inggris beliau menjelaskan dalam BI. Penulis juga mempunyai seorang teman yang pandai berbahasa Inggris. Di kelas 3 ada 3 teman baru yang bahasa Inggrisnya juga bagus. Mereka ini menambah lingkungan belajar yang makin kaya. Sementara itu, guru tidak mampu memperhatikan secara individual kebutuhan dan hambatan belajar siswa. Dalam bahasa pendidikan, guru saya belum berperan sebagai pelaku remedial bagi tiap-tiap siswa. Dengan modal pas-pasan saya masuk ke IKIP (waktu itu bernama PTPG), 1957, jurusan bahasa Indonesia. Mata kuliah Aplikasi Bahasa Inggris diajarkan di tingkat 1. Guru kami, Mr Tan, terkenal "maut" di jurusan bahasa Inggris sehingga kami merasa takut untuk berkomunikasi. Materi yang disajikan betul-betul sesuai dengan kebutuhan kami, yakni membaca bacaan berbahasa Inggris yang isinya berkaitan dengan ihwal kebahasaan. Dorongan belajar makin meningkat ketika di tahun ke-3 datang dosen baru, Drs. Umar Junus (terakhir profesor di Universitas Malaysia, Kuala Lumpur), yang dalam berkuliah banyak mengutip bahasa Inggris. Di tingkat 3 itu pula, saya mencoba menerjemahkan 3 bab buku Bloomfield Language. Tanpa disadarinya, dosen ini mampu menjadi lingkungan yang baik memberi saya motivasi belajar. Tahun 1960 saya menamatkan Sarjana Muda saya. Tahun 1961 ketika di tingkat doktoral saya bertemu lagi dengan dosen tadi. Saya mempunyai 4 teman belajar yang bahasa Inggrisnya lumayan baik. Umar Junus menuntut kami mempelajrai buku Noam Chomsky, Syntactic Structure. Komunitas yang menjadi lingkungan saya lebih baik lagi karena ada banyak mahasiswa jurusan bahasa Inggris. Tahun 1968 saya pindah ke Singaraja. Tahun 1971 saya diminta memberi pelajaran bahasa Indonesia kepada seorang warga Amerika, tanpa memiliki buku pegangan dan tentu saja tanpa pengalaman mengajar BIPA. Syukur, dia (si Amerika) punya buku pegangan terbitan Singapura yang di sana-sini tidak sesuai dengan kondisi BI. Metode yang saya gunakan ialah komunikatif praktis, tanpa saya ketahui apakah metode itu benar atau salah. Saya kadang-kadang menjelaskan sesuatu dalam bahasa Inggris; dan kalau bahasa Inggris saya keliru dia bertanya (dalam bahasa Inggris) tentang maksud penjelasan saya. Dalam berbagai kesempatan, saya ajak dia berdialog dalam bahasa campuran Indonesia-Inggris. Pengalaman mengajar tadi memberi hal-hal positif pada saya. Saya makin berani berbicara dalam bahasa Inggris dan "tidak takut salah". Saya juga memperoleh banyak ungkapan bahasa Inggris untuk mengoreksi kesalahan saya. Murid ini ternyata telah menjadi guru saya dalam belajar B2. Karena dia penutur asli (native speaker), maka saya yakin bahasa Inggris yang saya terima pasti benar. Saya telah memperoleh lingkungan alami dalam sosok seorang guru, meskipun alaminya belum sempurna. Tahun 1975 saya nekat masuk menjadi mahasiswa reguler jurusan bahasa Inggris di FKIP Singaraja. Akhir 1976, ketika saya naik tahun ke-3 saya mengikuti tes bahasa Inggris untuk belajar ke luar negeri. Awal 1977 saya berangkat ke Australia, tinggal di sana selama dua tahun. Australia adalah negeri "tuan rumah" bahasa Inggris bagi saya. Sifat alami lingkungan saya adalah nyata dan saya banyak memperoleh bahasa Inggris dari "guru-guru informal dan natural". Beberapa tahun kemudian saya berkesempatan mengajarkan BI kepada seorang penutur asli bahasa Perancis, yang sudah cukup baik kemampuannya ber-BI. Metode yang saya pakai mirip dengan pengalaman pertama. Mungkin karena kecerdasannya yang cukup baik, tampak dari pertanyaan-pertanyaannya yang kritis, maka dalam dua bulan pertama dia sudah mampu mengambil putusan untuk berhenti berlangganan koran lokal di Bali, dan menggantikannya dengan koran yang dinilainya sendiri bagus. Beberapa tahun terakhir ini saya diberi tugas untuk mengajar sejumlah mahasiswa Australia yang kemampuan bahasa Indonesianya amat rendah. Saya melakukan cara-cara berikut: menggunakan bahasa campuran (Inggris-BI), berbicara BI dalam kecepatan rendah (konvergensi); tidak menuntut pebelajar untuk segera berbicara BI; saya memakai banyak gambar dan bagan untuk menjelaskan; dalam beberapa hal saya menggunakan konstruksi-kalimat bandingan (BI-Inggris). Secara makro, mereka saya dorong untuk berinteraksi dengan lingkungan alami (kampus dan luar kampus), mulai dengan "masa diam" (silent period) untuk memahami ujaran dan melakukan komunikasi satu arah. PenutupDari paparan setakat ini saya dapat merangkum pandangan saya sbb: dalam pembelajaran BIPA saya memakai pandangan Piaget bahwa belajar adalah interaksi antara pebelajar dengan lingkugan (makro dan mikro), melalui akomodasi (reseptif, memahami, masa diam) dan asimilasi. Guru berperan sebagai pencipta kondisi lingkungan yang kondusif, pemotivasi, nara sumber, model, dan pemberi balikan. Dalam posisi semacam itu saya berharap guru BIPA menyadari pentingnya analisis kebutuhan pebelajar secara individual; pemahaman terhadap berbagai ragam BI khususnya ragam yang selama ini mungkin melekat pada dirinya; penciptaan teknik-teknik mengajar yang khas tetapi harus tetap pada alur pendekatan komunikatif dan integratif dan tetap memperhatikan konsep pemerolehan B2 melalui balikan-balikan terhadap tutur pebelajar sebagai bahan remedial bagi tutur yang memerlukan koreksi. Disajikan dalam Lokakarya BIPA Regional Bali III, IALF Bali, 11 Desember 1999.Daftar Bacaan:Goodman, Ken. What's Whole in Whole Language. Toronto, Scholastic TAB Publishing Ltd. Joni, T. Raka. Cara Belajar Siswa Aktif. Jakarta,P2LPTK, Ditjen Dikti.Laarsen-Freeman, Diana. 'Expanding Roles of Learners and Teachers in Learner-Centered Instruction', dalam Willy A. Renandya dan George Jacobs (eds.). Learners and Learning. Singapore, SEAMEO Regional Language Centre. Sumarsono: 1984 Seluk Beluk Pemerolehan Bahasa Pertama. BacaanPsikolinguistik. Diktat. Singaraja, FKIP UNUD. 1985 Seluk Beluk Belajar Bahasa Kedua. Adaptasi Heidy Dulay. Language Two. 1982. |