Mata Kuliah : Prosa Fiksi |
Pokok Bahasan : Sejarah Cerita Pendek |
Pertemuan Ke-1 |
Pembahasan |
Sejarah Cerita Pendek
Tujuan
pembelajaran
Siswa mengetahu sejarah perkembangan cerita pendek.
Mengetahui dan memahami isi cerita pendek setiap angkatan dan membandikan
isinya. Hubungan cerita pendek dengan genre sastra yang lainnya. Cerita pendek
sebagai karya sastra.
Selain puisi, roman, dan drama cerita
pendek (cerpen) pun termasuk bagian karya sastra. Tentunya cerpen yang memenuhi
criteria sastra sebagai barometernya – tetapi tidak mutlak – sebab seorang
apresiator beragam sudut penilaiannya. Jelasnya cerpen merupakan cerminan jiwa
pengarangnya; cerminan intelegensi, sikap, tanggung jawab pribadi, dan tanggung
jawab kepada masyarakat.
Selaras dengan penjelasan di atas,
bahwa bagian kesusastraan itu di antaranya cerita pendek, berarti cerita pendek
perlu diapresiasi. Kesusastraan pun merupakan hasil seni atau perwujudan
kebudayaan manusia, dengan jalan mengapresiasi karya seni tersebut dapat
dinikmati. Menurut Sumardjo (dalam Pikiran
Rakyat, 4 September 1992), bahwa kesusastraan merupakan salah satu bentuk
ungkapan batin masyarakat, tentunya di samping karya-karya budaya lainnya.
Untuk memperoleh hasil yang diharapkan dalam mengapresiasi sastra salah satunya
dengan jalan pendekatan bidang kemasyarakatan dan kebudayaan, sebab bidang
tersebut merupakan jawaban dalam bidang kesusastraan.
Cerpen hidup sejalan dengan
perkembangan masyarakat dan kebudayaannya, berarti cerpen pertama kali tumbuh
di lingkungan masyarakat. Sejak kapan cerpen hidup di masyarakat Indonesia?
Perkembangan sastra Indonesia pertama
kali ditandai oleh sastra Nusantara (daerah), misalnya dengan munculnya
mantera, pantun, dongeng, legenda, dan sebagainya. Setelah terjadinya Sumpah
Pemuda pada taanggal 28 Oktober 1928, pada waktu itu dicetuskan bahwa bahasa
persatuan adalah bahasa Indonesia. Pada periode itulah sastra Indonesia mulai
tumbuh di Indonesia, di antaranya dengan terbitnya roman-roman berbahasa
Indonesia. Tetapi kehadiran cerpen Indonesia baru terlihat sekitar tahun
1930-an. Sebetulnya cerpen Indonesia kalah berkembang oleh cerpen daerah –
misalnya pada kesusastraan Sunda – perkembangan cerpennya sudah dimulai sekitar
tahun 1928-an, sebagai contoh dengan terbitnya kumpun cerpen (carpon) berjudul Dogdog Pangrewong karya GS sekitar tahun 1928-an.
Cerita pendek sebenarnya berasal dari
Mesir purba, sekitar 3200 SM. terbit cerpen Dua
Bersaudara. Bahkan kisah Piramus dan
Tisbi yang dibuat Shekespeare ke dalam drama disadur dari cerita pendek
Yunani purba. Cerita pendek berkembang di Eropa dimulai sekitar tahun 1812
dengan munculnya penulis Jacob Grimm dan Wilhelm Grimm, mereka menerbitkan
cerpen berdasarkan cerita rakyat. Sementara perkembangan cerita pendek Amerika
sekitar tahun 1912, penulis Washington Irving yang memeloporinya. Jejak Irving
diikuti oleh Edgar Allan Poe dan Nathanael Hawthorne, mereka membuat cerpen
dengan masing-masing corak. Edgar Allan Poe menulis cerpen gothic yang seram,
sehingga Edgar Allan Poe dinobatkan sebagai bapak cerita detektif. Sedangkan
Nathanael Hawthorne cerpen-cerpennya bersifat filosofis.
Sekitar tahun 1936 cerpen-cerpen mulai
mewarnai kesusastraan Indonesia. Kebangkitan cerpen di Indonesia ditandai oleh
Balai Pustaka yang menerbitkan Teman
Duduk karya M. Kasim. Selanjutnya Suman Hs dengan Kawan Bergelut-nya diterbitkan pada tahun 1938. Sastrawan Indonesia
dalam membuat cerpennya pada waktu itu masih bercorak dan berorientasi pada
cerita-cerita rakyat yang lucu.
Sejak tahun 1946 cerpen mulai hidup di
Indonesia. Bersama waktu dan perkembangan kebudayaan masyarakat Indonesia nilai
cerpen pun mulai berubah. Dahulu bercorak cerita rakyat, tahun 1940-an mulai
bergeser pada kehidupan rakyat sehari-hari. Contohnya karya Hamka yang berjudul
Di Dalam Lembah Kehidupan diterbitkan
pada tahun 1940, warna kehidupan rakyat sehari-hari sudah terlihat, walaupun Hamka
mengerjakannya secara sentimental.
Cerita pendek terus berkembang,
penyebarannya dibantu oleh majalah, di antaranya Majalah Panji Pustaka, Panca
Raya, dan Pujangga Baru. Para pengarang dalam proses kreatifnya semakin
merekayasa, berusaha membuat cerpen-cerpen yang bermutu, salah satunya Idrus.
Menurut Sumardjo (1980 : 52) bahwa Idrus mampu memperbaki mutu cerpen.
Dibandingkan pengarang sebelumnya, karya Idrus lekat dengan kehidupan
sehari-hari. Selain kalimatnya ekonomis, tema pun dipilih sangat sederhana.
Cerpen-cerpen Idrus diterbitkan oleh Balai Pustaka berjudul Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma.
Cerpen Indonesia mengalami masa subur
sekitar tahun 1950-an setelah era perang kemerdekaan. Buku-buku kumpulan cerpen
menandainya, di antaranya kumpulan cerpen Subuh
karya Pramoedya Ananta Toer (BP:1951); Yang
Terempas dan Terkandas karya Rusman Sutiasumarga (BP:1951); Manusia dan Tanahnya karya Aoh
KArtahadimaja (BP:1952); Terang Bulan
Terang di Kali karya S.M. Ardan (Gunung Agung: 1955) dan lain-lain.
Pada tahun 1960-an muncul para penulis
baru, cerpen-cerpen pun banyak yang terbit. Era tahun 1960-an perkembangan
cerpen ditandai oleh kumpulan cerpen Rasa
Sayange karya Nugroho Notosusanto diterbitkan Pembangunan tahun 1961;
Trisno Sumarjo kumpulan cerpennya Daun
Kering diterbitkan Balai Pustaka tahun 1962; Djamil Suherman kumpulan
cerpennya Umi Kalsum diterbitkan
Nusantara tahun 1963; dan lain-lain.
Memasuki era orde baru, bidang sastra
pun terjadi pembaharuan. Para pengarang cerpen seolah bertualang, larut dalam
pencarian wajah cerpen, walaupun pengaruh Barat nampak dalam cerpen-cerpennya.
Bukan saja dalam bidang puisi muncul karya-karya eksperimental, bidang cerpen
pun nampaknya begitu. Cerpenis muda saat itu, seperti Putu Wijaya, Danarto,
Umar Kayam, Wildan Yatim, Budi Darma, dan lain-lainnya seolah mencoba
menyodorkan alternatif gaya kepenulisan baru. Unsur ekstrinsik lebih diutamakan
dalam cerpen-cerpennya, di antaranya ilmu filsafat.
Dewasa ini cerpen dijadikan barometer
perkembangan sastra, tentunya di samping puisi, novel, dan drama. Bahkan cerpen
lebih banyak disukai para penulis, sebab di samping penyaluran batin, cerpen
menjanjikan upah yang tinggi dibanding puisi. Bukan saja majalah Horison menyajikan cerpen-cerpen sastra,
media lain pun mulai menyediakannya, bahkan hampir di setiap daerah. Media ibu
kota yang menyajikan rubrik sastra cerpen berkadar sastra, di antaranya koran Kompas Minggu, Suara Pembaruan Minggu, Media
Indonesia Minggu, Republika Minggu, dan Koran
Tempo. Untuk media daerah pun mulai membuka rubrik sastra dan budaya, di
antaranya Bali dengan koran Bali Pos,
Jawa Timur dengan koran Jawa Pos,
Jawa Tengah dengan koran Suara Merdeka,
dan Jawa Barat dengan koran Pikiran
Rakyat.
Media massa memang besar jasanya
terhadap perkembangan cerita pendek, sebab cerpen-cerpen para penulis tersebut
sebelum dibukukan banyak yang dipublikasikan terlebih dahulu di media massal.
Jadi, koran dan majalah besar jasanya terhadap perkembangan cerpen, terutama
pencetakan penulis baru. Para pengarang yang dilahirkan oleh Horison, Kompas dan Suara Pembaruan dekade 1980-an, di antaranya : Leila S. Chudori
dengan kumpulan cerpennya Malam Terakhir
(Grafitti: 1989); Seno Gumira Adjidarma kumpulan cerpennya Manusia Kamar (Gramedia: 1989); dan Yanusa Nugroho dengan kumpulan
cerpennya Bulan Bugil Bulat
(Grafitti:1990).
Contoh Cerita Pendek
Irigasi Bojong Loa
Cerpen: Beni Setia
SETELAH tiga bulan menghilang, si "Robohnya Surau
Kami" akhirnya muncul di rumah. Mematung depan pintu terbuka, menunggu
salah seorang dari kami menandai dan menemuinya - menanyainya. "Saya
mencari Ahmad Bajuri, wartawan dan pengarang," katanya,
seperti tiga tahun lalu ia memulai kunjungan perkenalannya, dengan tas
kresek di tangan dan gitar di punggung.
Aku tertawa. Mengajaknya
masuk, menawarinya rokok, dan menyulut sebatang sambil menunggu dua gelas kopi
dibuat di dapur. Ia agak mabuk. Ia
anak belakang yang biasa bergerombol di pos Kamling dekat jembatan irigasi yang
ada di kiri gang yang memuara ke jalan utama. Ada pohon ketapang besar di sana, ada tepi jembatan beton yang teraling matahari sore di sana,
dan tak ada kelompok becak dan warung di situ sehingga anak-anak biasa
bergerombol sejak petang sampai tengah malam. Bergitar.
Bernyanyi. Minum. Mabuk.
Mungkin memeras recehan dari yang lewat meski tak pernah
dilakukan padaku. Mungkin
karena aku wartawan. Mungkin karena aku kadang memberi
mereka rokok. Dan berkali-kali mengajari tehnik yang benar dalam menekan
senar gitar dengan tekanan jari dan hempasan atau garukan jari dari tangan lain agar dicapai nada sesuai kunci yang tepat. Dan sekali
aku mengongkosi mereka ikut Lomba Musik Jalanan, dan dapat juara harapan 2 -
lantas sebagian dari mereka jadi pengamen di bis kota dan restoran kaki lima.
Si "Robohnya Surau Kami" salah satunya. Yang sekarang berkunjung sambil membawa
satu kresek kaset-kaset lagu rock, yang diletakkannya secara amat hati-hati,
dan gitar yang disandarkan di kursi samping seakan-akan itu orang. Mengeluarkan rokok dan menyulut sebatang. Menikmatinya,
seakan perang usai dan dunia mulai memasuki kedamaian baru. Ritualistik sekali. Khas.
* * *
NAMANYA Komarudin, dan anakku yang memberinya gelar si
"Robohnya Surau Kami" - cerpen AA Navis. Sebuah rekaan yang berbicara
tentang Tuhan yang marah pada orang Indonesia, yang ditakdirkan hidup di negara
subur, yang tak dimanfaatkan untuk mensejahterakan bangsa, sibuk
gontok-gontokan antar sesama, tak berdaya saat kekayaan alamnya dikeruk pihak
asing, dan melulu beribadat agar masuk Sorga. Tapi mereka tak dimasukkan ke
Sorga karena melakukan dosa sosial, alpa pada
kewajiban kekhalifahan manusia yang ditakdirkan ada di satu tempat untuk
memakmurkan tempat itu.
Dan Komar - entah dari mana, mungkin dari pelajaran bahasa
dan sastra Indonesia
sebagai lulusan SMA - menangkap seluruh adegan itu sebagai sebuah realitas hari
pengadilan. "Kalau kita mati, dan ditanya Tuhan,"
katanya, sambil berdiri dalam setengah mabuk, "kita diam saja. Biarkanlah Tuhan yang buat deskripsi dan kita cuma mengangguk saja.
Jangan sok suci, jangan PD macam para kiai dan orang masjid, yang bikin Tuhan
marah karena klaim-klaim yang berlebih - sehingga digusur ke neraka. Kita diam saja. Kita pasrah saja. Kita ini seniman. Tak pernah usil.
Tak ingin menyakiti orang lain. Selalu berdoa sebelum
berkarya. Dan kalau lelah susah tidur minum
sedikit agar tak usil dan jail pada orang lain."
"Dan kita tetap masuk neraka?"
"Tak lama. Pasrah saja - daripada sok benar dan protes pada Tuhan?"
Aku tertawa. Komar tersenyum. Menyeruput kopi yang
dituang pada pisin alas mangkuk kopi. Menyulut rokok.
Memusatkan perhatian. Dan meloncat pada pokok
persoalan lain. Fokus meski penuh loncatan. Dan minta tanggapan tentang anggapan Islam yang tidak membolehkan
gambar wajah dan patung sosok. Aku bilang, itu hanya alasan agar orang
tak terlalu mengistimewakannya, memuja mujanya sebagai kesempurnaan sehingga
melupakan Sang Maha Pencipta. Ia manggut-manggut, dan
menuntut tanggapan pribadi. Aku bilang, aku suka gambar wajah dan patung sosok.
"Habis indah sih."
Komar tertawa. Tawa yang lepas dari lubuk hati paling dalam.
* * *
EMPAT tahun lalu ia punya pacar dan
mereka tampaknya sepakat jadian sampai ada yang mengadukan kebiasaannya mabuk -
selain masih menganggur. Percintaan itu putus. Ia terpuruk. Tenggelam dalam minum, total bergitar dan
berteriak lantang menembangkan segala lagu populer sejak petang sampai dini
hari. Latihan vokal yang hebat, pikirku - karenanya aku mampir dan memberikan
advis tehnis sambil lalu. Tapi Komar sangat
bersungguh-sungguh. Over serius malah.
Ia ikut lomba, dan serius ngamen. Kemudian pamit, karena
diajak cukong yang mau bikin band baru - Getret, namanya - dan tertarik pada
lengkingan vokalnya. Aku mendorongnya. Aku bilang agar
ia makin serius melatih ketepatan grip dan seterusnya.
Aku minta agar tiap nada yang dipilihnya pasti sekaligus agar
bisa disalin dalam notasi angka - belum not balok - secara pasti. "Itu modal agar kamu bisa ngarang lagu. Bikin melodi yang akan gampang dibuatkan liriknya oleh siapa
saja," kataku. Komar menatap. Tidak percaya diri. Dan aku mendorongnya
untuk berani.
Dan sekarang ia muncul di rumah, dengan tas
kresek berisi koleksi kaset, dan gitar tersampir di punggung - aku ingat gaya Bon Jovi - dan bilang
ingin bertemu. Aku mengajaknya duduk, dan merokok sambil menunggu kopi dari
dapur. Ia tampak berkonsentrasi. Mengumpulkan
keberanian buat siap memulai sederetan kata yang akan
mengungkapkan tujuannya mampir. Aku menatap. "Ada
apa?" kataku, membuka kran keberanian berterus terang. Komar tersentak. Menata gitar dan
memainkan beberapa kunci yang tepat dengan berurutan.
"Aku mengarang lagu, Bang."
"Yang itu?"
"Ada
beberapa. Tolong
diberi kata-kata," katanya, tersipu. Aku
Mengacungkan jempol. Mengambil kertas dan pulpen.
Minta agar ia memainkan varian chord itu sekali lagi.
Mencoba membuat transkripsi tertulis tanpa lirik, lalu bersama-sama membuat
lirik. Sampai tengah hari kami bisa membuat tiga buah lagu - anakku ikut
nimbrung dan bernyanyi, diikuti oleh beberapa teman Komar yang biasa nongkrong
di jembatan. "Ini hari besar Blok Irigasi," kataku,
"siapa tahu lagu ini sukses." Mereka
berteriak. Orang-orang tua datang. Mendukung. Tertawa. Dan dengan tulus mendoakan Komar - mata Komar berkaca-kaca.
* * *
TUJUH bulan kemudian album Getret ke luar. Salah satu lagu ciptaan Komar, "Blok
Irigasi, Bojong Loa", meledak. Lagu itu bercerita tentang anak-anak
muda yang selalu nongkrong di jembatan, dekat pos Kamling bawah teduh pohon
ketapang, yang bernyanyi dan mabuk dari petang sampai dini hari, tapi tak
pernah berkelahi dan mengganggu orang lain. Yang videoklipnya
dibuat di jembatan itu dengan memanfaatkan anak-anak. Aku
tersenyum. Komar bangga.
Malamnya dan diam-diam ia bertanya
tentang apa yang harus dilakukannya.
Aku tersenyum. Meminta
agar ia selalu berlatih karena itu modalnya, dan modal
itu harus dipelihara dengan tubuh yang sehat. Aku minta agar ia
tak terlalu banyak minum, cukup istirahat, cukup makan, dan berolahraga. Masa
depan ma-sih panjang dan itu harus dikunci dengan tetap sehat dan kreatif. Komar tersipu. "Apa Wartini akan
kembali padaku? Orang tuanya akan
mengembalikannya?" katanya. Aku menelan ludah.
Mengajaknya duduk di pojok.
"Mungkin akan kembali. Tapi apa kembali karena cinta atau karena
kamu sudah jadi selebriti?" kataku. Komar
tersenyum. Tapi aku minta agar ia mencari tahu
isi hati Wartini, dengan menulis lagu tentang cintanya pada Wartini. Lagu yang
meledak - ada lima
versi lagu di lima
album - tapi tak pernah mengembalikan Wartini. Ya! Karenanya aku membujuk agar
bersabar, karena siapa tahu Tuhan akan mengganti
Wartini dengan perempuan yang memang jodohnya. Komar
tersenyum. Cuma tersenyum ketika aku menyuruh
menginvestasikan penghasilannya secara hati-hati, karena (siapa tahu) itu harta
yang disediakan Tuhan bagi anak-anaknya.
Dan sampai usia 33 tahun Komar masih
saja mabuk dari petang, lalu lantang bernyanyi sampai dini hari - di mana pun,
kapan pun. ***
|
Sunday, October 2, 2011
Prosa Fiksi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment