Berita : Opini
OLeh: Mansur Hidayat
Kenapa orang jawa itu jika tertawa tidak boleh lebar-lebar dan paling
cuma tersenyum aja. Tentu hal ini ada sebab-musababnya sehingga
diwasiatkan turun temurun, apalagi di kalangan kraton. Mungkin generasi
muda sekarang tidak pernah memikirkan hal ini, akan tetapi sudah
merupakan kebiasaan umum dalam tradisi Jawa bahwa tertawa itu boleh,
akan tetapi disarankan jangan terlalu lebar, apalagi terbahak-bahak. Hal
itu akan membuat "saru" atau malah menimbulkan suatu bencana.
Konon, pada jaman wayang kulit masih menguasai tanah jawa, para dedemit
merajai hutan-hutan belantara kita, para begal menguasai jalan2
Jawadwipa, ada seorang raja besar bernama Prabu Niwatakawaca dari negara
Manik Mantaka. Prabu Niwatakawaca ini begitu saktinya sehingga
para raja di Marcapada sangat takut kepadanya, demikian juga para Dewa
yang juga juga takut pada kesaktiannya, sehingga apa yang diminta harus
dikabulkan.
Prabu Niwatakawaca mempunyai wewenang tak terbatas dimana semua
kekuasaan ada ditangannya bersama para kroninya. Kita tahu tidak ada
seorangpun di Negara Manikmantaka yang berani protes, apalagi menentang
kebijakannya. Jangankan rakyat, KPK negara Manikmantaka aja tidak berani
untuk mengungkap apapun bobroknya sang raja. Dalam hal kekayaan
pribadi, Prabu Niwatakawaca begitu kaya raya, bisnisnya merambah
dimana-mana, mau ngomong proyek banyak, ngomong bisnis (banyak dikelola
keluarga dan teman-temannya), mau minta mercy ada, wah pokoknya lengkap.
Namun, yang namanya kekuasaan semakin besar semakin kurang saja
kebutuhannya. Setelah tidak menemukan lawan tanding yang sepadan di
Marcapada, Prabu Niwatakawaca kemudian menyerang Kahyangan untuk meminta
suatu yang mustahil dipenuhi, yaitu mempersunting Dewi Supraba,
bidadari putri Batara Indra. Batara indra sendiri takut jika permintaan
raja raksasa ini ditolak, akan berakibat hancurnya Kahyangan. Oleh
karena itu rapat para Dewa memutuskan untuk mengulur waktu, persis
seperti agustusan dalam lomba tarik tambang.
Alhasil Batara Guru sebagai rajanya para Dewa memerintahkan Betara Indra
untuk meminta pada Arjuna melawan Prabu Niwatakawaca. Arjuna yang waktu
itu sedang bertapa, langsung menyanggupi permintaan ini, apalagi jika
menang akan dinikahkan dengan bidadari Dewi Supraba. Hal ini menjadikan
semangat Arjuna semakin berkobar.
Mendengar para Dewa punya jago baru, Prabu Niwatakawaca langsung
menyerang Kahyangan. Semua pasukannya disiapkan, sampai-sampai jalanan
menuju Kahyangan penuh sesak oleh tentara Manikmantaka yang rata-rata
raksasa itu berjalan seenaknya. Mereka tidak mengenal rambu-rambu lalu
lintas, Ada yang tidak pakai baju, tidak pakai sepatu dan tidak ada
kedisiplinan dalam pasukannya. Namun mereka semua bersemangat karena
diming-imngi bidadari cantik di Kahyangan.
Dalam perang itu senjata seperti panah, tombak maupun pedang
berseliweran. Prajurit menghadapi prajurit, perwira menghadapi perwira,
demikian pula Arjuna harus menghadapi Prabu Niwatakawaca. Dalam perang
tanding tersebut, raja raksasa ini memang kebal terhadap segala macam
senjata. Arjuna sudah mengeluarkan segala macam kesaktian dan
senjatanya. Keris pusaka sudah ditusukkan, tombak sudah dilemparkan
bahkan panah sudah dihamburkan, namun tidak satupun senjata tersebut
melukainya.
Pada puncak peperangan Prabu Niwatakawaca kemudian mengeluarkan panah
saktinya sehingga menyebabkan Arjuna terkapar tak berkutik. Prabu
Niwatakawaca kemudian menghampri Arjuna untuk menusuknya dengan tombak,
namun Dewi Supraba kemudian menangis, menahan dan supaya melupakan
Arjuna yang sudah dianggap tak berdaya. Sang Dewi kemudian merayu Sang
Prabu dan kemudian memujinya setinggi langit, sampai-sampai sang Prabu
menceritakan bahwa tidak akan ada senjata yang sanggup melukainya
asalkan semua itu tidak mengenai kelemahannya yaitu diujung lidahnya.
Mendengar ini Dewi Supraba tambah merayu dan memuji sehingga Sang Prabu
tertawa terbahak-bahak.
Dibalik rayuannya Dewi Supraba juga memberi isyarat pada Arjuna tentang
kelemahan raja raksasa ini sehingga dalam waktu sekejab meluncurkan
panah sakti "sarotama" pemberian Betara guru dan tepat mengenai lidah
Prabu NiwataKawaca, sehingga raja raksasa ini roboh tak berdaya.
Nah, dari cerita ini dapat dipahami bahwa orag Jawa itu takut tertawa
lebar-lebar, paling2 cuma senyum-senyum karena menjaga supaya lidah
tidak diketahui orang lain yang merupakan kelemahan manusia. Akan tetapi
jika sudah menghadapi rayuan wanita cantik seperti Dewi Supraba, apakah
lidah orang Jawa itu masih bisa disimpan rapat-rapat atau malah tertawa
cekikikan?. Wah, kalau yang satu ini, lain lagi ceritanya.
No comments:
Post a Comment