By Marianus Hamze |
Kritik
sastra merupakan salah satu studi sastra.Kritik sastra adalah cabang ilmu
sastra yang memfokuskan perhatiannya pada pengkajian sastra secara langsung
untuk mengidentifikasi, menganalisis, mengklasifikasi serta memberikan
penilaian tentang berhasil tidaknya suatu cipta sastra. Kritik sastra merupakan
studi sastra yang langsung berhadapan dengan karya sastra. H.B Jassin (dalam
Rachmat Djoko Pradopo, 1995: 92) mengatakan kritik sastra adalah pertimbangan
baik buruk karya sastra, penerangan baik buruk karya sastra. Pertimbangan baik
buruk ini tidak berarti baik buruk yang berhubungan dengan moral, namun
berhubungan dengan indah atau jelek.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 761) menyebutkan bahwa kritik adalah kecaman,
kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil
karya, pendapat, dsb. Sedangkan kritikus adalah 1.orang yg ahli dl memberikan pertimbangan
(pembahasan) tentang baik buruknya sesuatu. 2. orang yg memberikan pertimbangan
(pembahasan) tentang baik buruknya sesuatu;
pengkritik.
Kritik
tidak hanya mencari kesalahan tetapi juga menyebutkan hal-hal yang baik maupun
yang buruk, mempertimbangkan baiknya juga buruknya, dan kemudian memberi
penilaian yang mantap. Ada juga pendapat lain mengenai kritik sastra seperti
yang dikemukakan oleh Guntur Tarigan, kritik sastra adalah pengamatan yang
teliti, perbandingan yang tepat serta pertimbangan yang adil terhadap baik
buruknya kualitas, nilai, kebenaran suatu karya sastra. Secara singkat kritik
sastra adalah pengamatan, serta pertimbangan baik buruknya nilai sastra
(Tarigan dalam Darmanto 2007: 18).
Kritik sastra mempunyai kedudukan yang penting
dalam kajian sastra. Kritik sastra sering dikaitkan dengan apresiasi sastra
karena kritik dan apresiasi langsung berkaitan dengan karya sastra. Kritik
sastra sebenarnya tidak jauh berbeda dengan telaah sastra, karena keduanya
secara hakiki mempunyai kesamaan kerja. Kritik sastra adalah semacam
pertimbangan untuk menunjukkan kekuatan atau kebagusan dan juga kekurangan yang
terdapat salam karya sastra (Zainuddin, 2002: 20). Walaupun kritik berkaitan
dengan penilaian, bukan berarti bahwa setiap orang mampu menilai karya sastra.
Penilaian
terhadap sebuah karya sastra haruslah bersifat objektif sesuai dengan kriteria
penilaian yang ada. Mario Pei der Frank (dalam Zainuddin, 2002: 20) mengatakan
penilaian dan penghakiman sesuai dengan standar yang telah diakui berdasarkan
pengkajian studi dan analisis. Adanya kriteria yang dijadijan patokan dalam
penilaian sastra, dimaksudkan agar hasil dari kritik sastra itu benar-benar
menrupakan penilaian yang dapat dipertanggungjawabkan, dan bukan hanya pendapat
pribadi. Bagaimanapun tujuan kritik sastra adalah menunjukkan dimana kebaikan
dan kekurangan suatu karya sastra berdasarkan kriteria yang berlaku. Hasil
kritik itu nantinya untuk menjadikan karya sastra itu lebih baik dan juga
sebagai koreksi terhadap penulis, sehingga penulis tidak merasa divonis namun
merasa ditantang untuk meningkatkan kualitas tulisan berikutnya (Zainuddin,
2002: 21).
Melakukan
kritik sastra bukan suatu pekerjaan yang gampang. Untuk dapat melakukan kritik
sastra yang baik tentu saja kritikus memerlukan pengetahuan yang banyak tentang
teori sastra, memiliki pengalaman dalam menganalisis, kemampuan apresiasi yang
baik. Sebuah kegiatan kritik sastra akan berhasil apabila seseorang kritikus
sastra mengerti, memahami, dan menguasai ilmu sastra yang mencakup teori
sastra, sejarah sastra dan kritik sastra sebagai dasar melakukan kritik sastra.
Untuk
mengenal permasalahan kritik sastra lebih lanjut perlu dikemukakan guna kritik
sastra. Adapun kegunaan kritik sastra adalah, pertama untuk perkembangan sastra itu sendiri, kedua untuk perkembangan kesustraan dan ketiga untuk penerangan masyarakat pada umunya yang menginginkan
penerangan tentang karya sastra. Rachmat Djoko Pradopo (1995: 93) mengemukakan
kegunaan karya sastra adalah untuk membantu perkembangaan kesusastraan suatu
bangsa dengan menjelaskan karya sastra mengenai baik buruknya karya sastra dan
menunjukkan daerah-daerah jangkauan persoalan karya sastra. Adapun manfaat bagi
sastrawan dari kritik sastra adalah mereka dapat mengembangkan penulisan karya
sastra mereka yang mengakibatkan perkembangan kesusastraan. Aspek-aspek pokok
kritik sastra adalah analisis, interpretasi (penafsiran) dan evaluasi atau
penilaian. Karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks, maka untuk
memahaminya perlu adanya analis, yaitu penguraian terhadap bagian-bagian atau
unsur-unsurnya (Hill dalam Pradop, 1995: 93). Oleh karena karya sastra adalah
struktur yang kompleks, maka karya sastra itu perlu ditafsirkan untuk
memperjelas artinya. Abrams (dalam Pradopo, 1995: 93) mengemukakan, penafsiran
adalah penafsiran karya sastra, dalam arti luasnya adalah penafsiran kepada
semua aspek karya sastra.
Kritik
sastra Indonesia modern lahir sejak tahun 1920 bersamaan lahirnya kesustraan
Indonesia modern. Sampai sekarang, berdasarkan bukti yang didapatkan, kritik
sastra Indonesia modern yang pertama ditulis oleh Mohammad Yamin berjudul
“Sejarah Melayu” dan “Syair Bidasari”. Sejak lahirnya itu, kritik sastra
Indonesia mengalami banyak masalah. Masalahnya meliputi, kurangnya tempat,
kurangnya kritikus sastra (yang profesional). Tidak cocoknya pandangan kritikus
dengan sastrawan, tidak cocoknya teori kritik sebagai landasan kritik dengan
corak dan wujud kesusastraan Indonesia modern yang bersifat nasional (dan
regional), pertentangan antara kritik sastra sastrawan dan kritik sastra
akademik.
- RUMUSAN MASALAH
Apakah yang dimaksud
dengan kritik sastra Indonesia modern?
Siapakah yang berperan
dalam kritik sastra Indonesia modern?
- TUJUAN
Tujuan
yang hendak dicapai makalah ini adalah sebagai berikut:
Menawarkan kepada
pembaca tentang pentingnya kritik sastra.
Untuk mengetahui kritik
sastra Indonesia modern dan permasalahannya.
Untuk mengetahui
siapakah yang berperan dalam kritik sastra Indonesia modern.
Kata
“kritik” berasal dari bahasa Yunani krites yang artinya seorang hakim, kritikos (dalam bahasa Indonesia kritikus) berarti
“hakim kesusastraan” (Wellek dalam Pradopo, 2002:31). Berdasarkan istilah di
atas, Wellek mengatakan bahwa kritik sastra itu berarti penghakiman karya
sastra. Hal serupa juga dikemukakan H.B Jassin (1959:44,45) bahwa kritik sastra
itu pertimbangan baik atau buruk karya sastra, penerangan, dan penghakiman
karya sastra. Hudson juga mengemukakan bahwa istilah kritik sastra dalam
artinya yang tajam adalah penghakiman yang dilakukan oleh seorang yang ahli
atau memiliki sesuatu kepandaian khusus untuk membedah karya sastra, memriksa
karya sastra mengenai kebaikan-kebaikan dan cacat-cacatnya, dan menyatakan
pendapatnya mengenai hal itu (Pradopo, 2002: 32).
Jadi,
berdasarkan pendapat-pendapat di atas, kritik sastra itu merupakan bidang studi
sastra untuk “menghakimi” karya sastra, untuk memberi penilaian dan keputusan
mengenai bermutu atau tidaknya suatu karya sastra. Dalam kritik sastra, suatu
karya sastra diuraikan (dianalisis) unsur-unsurnya atau norma-normanya,
diselidiki, diperiksa satu per satu, kemudian ditentukan berdasarkan
hukum-hukum penilaian karya sastra, bernilai ataukah kurang bernilaikah karya
sastra itu.
- GUNA KRITIK SASTRA
Pada
intinya kritik sastra mempunyai tiga kegunaan atau kepentingan, yaitu kegunaan
bagi ilmu sastra itu sendiri, bagi penerangan masyarakat, dan bagi perkembangan
kesusastraan. Guna kritik sastra bagi ilmu sastra adalah guna untuk penyusunan
teori sastra dan sejarah sastra. Karya sastra berguna bagi penerangan
masyarakat yang ingin mengerti kesusastraan pada umumnya dan karya-karya sastra
pada khususnya. Kritikus merupakan perantara antara pencipta dan orang banyak (Jassin
dalam Pradopo, 2002: 36). Dengan demikian, hal itu membuat karya sastra terang
bagi orang banyak (pembaca) sehingga karya sastra itu dihargai. Kritikus
memberikan kepada pembaca suatu pandangan yang sama sekali segar dan
mempermudah pembacaan dengan cara menerjemahkan ke dalam bentuk-bentuk
sederhana.
Kritik
sastra juga penting dalam pendidikan sastra, yaitu untuk meningkatkan apresiasi
para pelajar dan mahasiswa yang
merupakan bagian dari masyarakatnya. Kritik sastra berguna bagi perkembangan
kesusasatraan suatu bangsa. Dalam hal ini krhtik sastra dapat meningkatkan
kecakapan, ketajaman pandangan, dan keluasan garapan sastrawan. Dengan
demikian, hal ini akan menyebabkan karya-karya yang ditulis kemudian akan
bertambah mutu seni atau sastranya.
- TEORI KRITIK SASTRA
Kritik
sastra berfungsi untuk memberikan uraian dan penerangan tentang karya sastra
yang konkret, baik mengenai makna karya sastra, strukturnya, maupun nilainya.
Dengan demikian, kritikus sebagai penerap prinsip kritik sastra itu perlu memberikan
tafsiran-tafsirannya, analisis dan seni lainnya. Tanpa itu semua, karya sastra
tidak mungkin dipahami. Jadi, penafsiran, penguraian (analisis), dan penilaian
perlu diuraikan. Ketiganya merupakan aspek kritik sastra yang utama yang saling
erat berjalinan dalam aktivitas penerapan kritik pada karya sastra.
Penafsiran
dalam arti luasnya membuat jelas arti keseluruhan karya sastra yang bermedium
bahasa itu yang diantaranya memperjelas jenis sastra, unsur sastra, struktur,
tema dan efek-efek. Dengan adanya penjelasan secara keseluruhan itu, karya
sastra dapat dipahami. Karena sastra memiliki struktur yang kompleks, maka
karya sastra perlu dianalisis. Jadi, analisis adalah sarana untuk
menginterpretasi.
Penafsiran
Penafsiran
karya sastra berarti penjelasan makna karya sastra. Menginterpretasi karya
sastra berarti menangkap makna karya sastra. Karya sastra perlu ditafsirkan
sebab karya sastra adalah sebuah struktur yang kompleks yang bermedium bahasa
yang pada umumnya maknanya ambigu atau bermakna ganda. Menafsirkan karya sastra
tidak terbatas hanya pada bahasanya yang ambigu, tetapi juga pada komplekitas
karya sastra, seperti kompleksitas struktru penceritannya, penokohannya, bahkan
juga pusat pengisahannya. Tafsiran terhadap karya sastra harus disertai alasa-alasan
yang logis atau dapat diterima akal.
Analisis
Dengan
analisis, makna karya sastra dapat ditafsirkan dengan jelas. Dalam menganalisis
kritikus juga memberikan interpretasi, atau sebaliknya, dalam menginterpretasi
karya sastra kritikus menganalisis dan sekaligus memberi penilaian atas hasil
interpretasi dan analisisnya. Jadi, interpretasi, penilaian dan analisis tidak
dapat dipisahkan.
Penilaian
Karya
sastra adalah karya imajinatif bermedium bahasa yang fungsi estetikanya dominan
(Wellek dan Waren dalam Pradopo, 2002: 81). Dengan demikian, dalam mengeritik
karya sastra harus ditunjukkan nilai seninya. Kalau tidak demikian, kritik
sastra belum sempurna memenuhi fungsinya.
- KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN DAN PERMASALAHANNYA
Kesusastraan
Indonesia modern secara resmi lahir pada tahun 1920 dengan terbitnya roman Azab
dan Sebgsara (1921). Sejak lahirnya, kritik sastra Indonesia modern selalu
diiringi masalah. Masalahnya meliputi, kurangnya tempat, kurangnya kritikus
sastra (yang profesional). Tidak cocoknya pandangan kritikus dengan sastrawan,
tidak cocoknya teori kritik sebagai landasan kritik dengan corak dan wujud
kesusastraan Indonesia modern yang bersifat nasional (dan regional),
pertentangan antara kritik sastra sastrawan dan kritik sastra akademik. Sampai
sekarang, berdasarkan bukti yang didapatkan, kritik sastra Indonesia modern
yang pertama ditulis oleh Mohammad Yamin berjudul “Sejarah Melayu” dan “Syair
Bidasari”. Sedangakan teori kritik sastra Indonesia modern pertama kali
didapatkan dalam majalah Panji Pustaka
(1932:838-839). Diduga ditulis oleh Sutan Takdir Alisjahbana, sebab STAlah yang
menjadi redaktur sastra dengan ruang “Memajukan Kesusastraan”.
Sebelum
tulisan tentang kritik sastra tersebut, yang dapat dianggap sebagai kritik
sastra adalah aturan Balai Pustaka yang terkenal sebagai “Nota Rinkes” yang bersifat aturan untuk buku-buku yang hendak
diterbitkan oleh Balai Pustaka, aturan yang mengharuskan dipatuhinya
ketertiban: tidak boleh berpolitik, menyinggung agama (netral terhadap agama)
dan tidak menyinggung kesusilaan masyarakat (Teeuw dalam Pradopo,1995: 97).
Dengan demikian corak kritik sastra Balai Pustaka ini bertipe pragmatik. Jadi,
sudut pandang atau perspektif pragmatik itu tidak sesuai dengan sudut pandang
pengarang yang ekspresif, yang lebih mengutamakan nilai seni daripada mendidik
masyarakat pembaca.
Yang
perlu diingat bahwa dalam perkembangannya, kritik sastra Indonesia modern dari
waktu ke waktu mengalami perdebatan-perdebatan. Perdebatan ini terjadi sejak
awal perkembangan kritik sastra, tepatnya zaman Pujangga Baru sampai sekarang (Pradopo,
2002: 99). Pada akhir tahun 1960-an terjadi perdebatan dan polemik kritik
sastra antara golongan pengikut kritik sastra Ganzheit dengan pengikut kritik sastra akademik
(yang kemudian menamakan dirinya kritikus Kritik Sastra Aliran Rawamangun). Tokoh
kritik sastra Ganzheit adalah Arief Budiman dan Goenawan Mohamad, sedangkan
kritikus aliran Rawamangun adalah M.S. Hutagalung, J.U. Nasution, M. Saleh
Saad, dan Boen Sri Oemarjati.
Pada
tahun 1968 Pusat Bahasa Jakarta mempertemukan kelompok kritikus Ganzheit dengan
aliran Rawamangun dalam sebuah seminar. Kertas kerja mereka dan
ulasan-ulasannya dibukukan oleh Pusat Bahasa dengan editor Lukman Ali berjudul Tentang
Kritik Sastra: Sebuah Diskusi (1978).
Dengan
mengalirnya teori sastra dan kritik sastra Barat sejak pertengahan tahun
1970-an, lebih-lebih ke dalam lingkungan kritik sastra akademik, timbullah
reaksi baik berupa penolakan maupun keinginan membentuk teori sastra dan kritik
sastra yang khas Indonesia, lebih-lebih sesudah pertengahan tahun 1980-an. Oleh
karena itu Universtas Bung Hatta Padang, pada tahun 1988 mengadakan seminar
sastra “Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan”,
makalah-makalahnya diterbitkan dalam sebuah buku dengan editor Mursal Esten
yang berjudul Menjelang Teori dan Kritik
Susastra Indonesia yang Relevan.
- KRITIK SASTRA AKADEMIK DAN KRITIK SASTRA SASTRAWAN
Para
penulis kritik sastra Indonesia modern sampai pertengahan tahun 1950-an
sebagian besar adalah para sastrawan. Oleh karena itu, periode 1920-1955 itu
merupakan periode kritik sastrawan. Corak kritiknya adalah impresionistik, bertipe
ekspresif dan pragmatik, ditulis tidak menurut sistematika ilmiah, bersifat
esaistis.
Kritik
sastra Pujangga Baru dapat dikatakan menjadi pendasar kritik sastra Indonesia
modern. Meskipun sebelumnya sudah ada kritik sastra Balai Pustaka, tetapi
secara nyata kritik sastra Balai Pustaka tidak dikenal umum karena hanya
terbatas pada pertimbangan buku di kalangan Balai Pustaka saja. Berbeda dengan
Pujangga Baru yang disiarkan dalam majalah Pujangga
Baru sejak Juli 1933. Kritik sastra Pujangga Baru disebut pendasar kritik
sastra Indonesia Modern karena pada kenyatannya gagasan-gagasan,
praktik-praktik kritik sastra, dan corak kritik sastra Pujangga Baru diteruskan
oleh sastrawan dan kritikus sesudahnya. Hal ini tampak pengertian kritik sastra
yang merupakan pertimbangan baik buruk karya sastra, sebagai penerangan, untuk
perkembangan kesusastraan dalam “Kritik Kesusastraan” (1932:838-839) yang
kemudian diteruskan oleh H.B.Jassin seperti tampak dalam esainya “Kritik
Sastra” (1959:44-47).
Pada
zaman Pujangga Baru ada dua tipe kritik sastra yang diteruskan sampai sekarang,
yaitu tipe kritik sastra pragmatik Sutan Takdir Alisjahbana dan tipe kritik
sastra Sanusi Pane yang bersifat espresif. Tipe kritik sastra pragmatik Sutan
Takdir Alisjahbana dan tipe kritik sastra Sanusi Pane saling bertentangan. STA
menghendaki karya sastra itu berguna bagi pembangunan bangsa, sedangkan Sanusi
Pane menghendaki karya sastra itu mengutamakan nilai estetikanya, karya sastra
“seni untuk seni”.
Kurang
lebih pada pertengahan tahun 1950-an timbul jenis kritik sastra yang baru,
yaitu kemudian terkenal dengan kritik akademik atau kritik ilmiah. Corak kritik
akademik berbeda dengan kritik sastrawan sebelumnya. Kritik sastra akademik
berupa penelitian ilmiah dengan metode ilmiah. Ciri-cirinya adalah pembicaraan
sampai pada hal-hal yang kecil, analisisnya mendetail, disusun dalam susunan
yang sistematik, ada pertanggungjawaban ilmiah dengan penyebutan data yang
akurat, pernyataan disertai argumentasi, menggunakan metode ilmiah.
Munculnya
kritik ilmiah ini menimbulkan reaksi para sastrawan. Misalnya saja Rustandi
Kartakusuma dan Harijadi Hartowardjoyo yang menuduh kritik ilmiabh itu seagai
kritik induktif interpretatif, tidak ada penilaian, sebagian besar hanya
penafsiran saja. Meskipun ada reaksi dara bei sastrawan, kritik akademik terus
berjalan, terutama dalam penulisan skripsi, penelitian sastra ilmiah, makalah dan
disertasi. Semakin banyaknya kritik sastra yang diterbitkan dalam bnetuk buku,
timbulnya reaksi baru dari sastrawan. Diantaranya yang tampil adalah Arif
Budiman. Mereka memberi ciri kritik akademik sebagai kritik analitik. Dikatakan
demikian disebabkan kritik akademik terlalu mencincang-cincang karya sastra,
menganalisi karya sastra terlalu analitik, karya sastra dianggap mayat di atas
meja bedah.
Untuk
menandangi kritik sastra akademik itu mereka (Arif Budiman, dkk) mengemukakan
kritik sastra dengan metode Ganzheit, yaitu melihat karya sastra
sebagai keseluruhan (tidak dicincang-cincang). Atas reaksi para sastrawan terhadap
kritik akademik yang diberi ciri sebagai kritik analitik itu, terjadilah
perdebatan dan polemik. M.S. Hutagalung (tokoh kritik sastra akademik) yang
memproklamirkan kritiknya sebagai “Kritik Sastra Aliran Rawamangun”. Dalam
polemik itu, pihak Ganzheit diwakili oleh Arif Budiman. Polemik itu baru
berhenti pada pertengahan tahun 1970-an.
M.S.
Hutagalung mengemukakan pembelaannya terhadap kebaikan dan manfaat kritik
ilmiah berjudul “Peranan Penelitian Ilmiah untuk Pengembangan Kesusastraan
Indonesia” dalam bukunya Membina
Kesusastraan Indonesia Modern (1987). Dikemukakannya manfaat penelitian
sastra (kritik sastra) ilmiah, yaitu:
Penelitian ilmiah
membuat orang lebih tepat memandang dan mendekati kesusastraan itu sendiri.
Kritik sastra yang
bersifat ilmiah akan lebih dapat dipertanggungjawabkan, subyektivitasnya dapat
dihindari, pengertian akan nilai-nilai akan lebih jelas.
Penelitian ilmiah akan
membuat orang lebih bijaksana untuk meramalkan, mengharapkan serta membina
kesusastraan masa akan datang.
Fananie,
Zainuddin. 2002. Telaah Sastra.
Muhammadiyah University Press: Surakarta.
Darmanto.
2007. Kritik Sastra (Diktat). PRODI
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG.
Pradopo,
Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori
Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Pradopo,
Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra
Indonesia Modern. Gama Media: Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment