Tuesday, March 27, 2012

Kritik Sastra Indonesia Modern


By Marianus Hamze
Kritik sastra merupakan salah satu studi sastra.Kritik sastra adalah cabang ilmu sastra yang memfokuskan perhatiannya pada pengkajian sastra secara langsung untuk mengidentifikasi, menganalisis, mengklasifikasi serta memberikan penilaian tentang berhasil tidaknya suatu cipta sastra. Kritik sastra merupakan studi sastra yang langsung berhadapan dengan karya sastra. H.B Jassin (dalam Rachmat Djoko Pradopo, 1995: 92) mengatakan kritik sastra adalah pertimbangan baik buruk karya sastra, penerangan baik buruk karya sastra. Pertimbangan baik buruk ini tidak berarti baik buruk yang berhubungan dengan moral, namun berhubungan  dengan indah atau jelek. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 761) menyebutkan bahwa kritik adalah kecaman, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dsb. Sedangkan kritikus adalah 1.orang yg ahli dl memberikan pertimbangan (pembahasan) tentang baik buruknya sesuatu. 2. orang yg memberikan pertimbangan (pembahasan)  tentang baik buruknya sesuatu; pengkritik.
Kritik tidak hanya mencari kesalahan tetapi juga menyebutkan hal-hal yang baik maupun yang buruk, mempertimbangkan baiknya juga buruknya, dan kemudian memberi penilaian yang mantap. Ada juga pendapat lain mengenai kritik sastra seperti yang dikemukakan oleh Guntur Tarigan, kritik sastra adalah pengamatan yang teliti, perbandingan yang tepat serta pertimbangan yang adil terhadap baik buruknya kualitas, nilai, kebenaran suatu karya sastra. Secara singkat kritik sastra adalah pengamatan, serta pertimbangan baik buruknya nilai sastra (Tarigan dalam Darmanto 2007: 18).
 Kritik sastra mempunyai kedudukan yang penting dalam kajian sastra. Kritik sastra sering dikaitkan dengan apresiasi sastra karena kritik dan apresiasi langsung berkaitan dengan karya sastra. Kritik sastra sebenarnya tidak jauh berbeda dengan telaah sastra, karena keduanya secara hakiki mempunyai kesamaan kerja. Kritik sastra adalah semacam pertimbangan untuk menunjukkan kekuatan atau kebagusan dan juga kekurangan yang terdapat salam karya sastra (Zainuddin, 2002: 20). Walaupun kritik berkaitan dengan penilaian, bukan berarti bahwa setiap orang mampu menilai karya sastra.
Penilaian terhadap sebuah karya sastra haruslah bersifat objektif sesuai dengan kriteria penilaian yang ada. Mario Pei der Frank (dalam Zainuddin, 2002: 20) mengatakan penilaian dan penghakiman sesuai dengan standar yang telah diakui berdasarkan pengkajian studi dan analisis. Adanya kriteria yang dijadijan patokan dalam penilaian sastra, dimaksudkan agar hasil dari kritik sastra itu benar-benar menrupakan penilaian yang dapat dipertanggungjawabkan, dan bukan hanya pendapat pribadi. Bagaimanapun tujuan kritik sastra adalah menunjukkan dimana kebaikan dan kekurangan suatu karya sastra berdasarkan kriteria yang berlaku. Hasil kritik itu nantinya untuk menjadikan karya sastra itu lebih baik dan juga sebagai koreksi terhadap penulis, sehingga penulis tidak merasa divonis namun merasa ditantang untuk meningkatkan kualitas tulisan berikutnya (Zainuddin, 2002: 21).
Melakukan kritik sastra bukan suatu pekerjaan yang gampang. Untuk dapat melakukan kritik sastra yang baik tentu saja kritikus memerlukan pengetahuan yang banyak tentang teori sastra, memiliki pengalaman dalam menganalisis, kemampuan apresiasi yang baik. Sebuah kegiatan kritik sastra akan berhasil apabila seseorang kritikus sastra mengerti, memahami, dan menguasai ilmu sastra yang mencakup teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra sebagai dasar melakukan kritik sastra.
Untuk mengenal permasalahan kritik sastra lebih lanjut perlu dikemukakan guna kritik sastra. Adapun kegunaan kritik sastra adalah, pertama untuk perkembangan sastra itu sendiri, kedua untuk perkembangan kesustraan dan ketiga untuk penerangan masyarakat pada umunya yang menginginkan penerangan tentang karya sastra. Rachmat Djoko Pradopo (1995: 93) mengemukakan kegunaan karya sastra adalah untuk membantu perkembangaan kesusastraan suatu bangsa dengan menjelaskan karya sastra mengenai baik buruknya karya sastra dan menunjukkan daerah-daerah jangkauan persoalan karya sastra. Adapun manfaat bagi sastrawan dari kritik sastra adalah mereka dapat mengembangkan penulisan karya sastra mereka yang mengakibatkan perkembangan kesusastraan. Aspek-aspek pokok kritik sastra adalah analisis, interpretasi (penafsiran) dan evaluasi atau penilaian. Karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks, maka untuk memahaminya perlu adanya analis, yaitu penguraian terhadap bagian-bagian atau unsur-unsurnya (Hill dalam Pradop, 1995: 93). Oleh karena karya sastra adalah struktur yang kompleks, maka karya sastra itu perlu ditafsirkan untuk memperjelas artinya. Abrams (dalam Pradopo, 1995: 93) mengemukakan, penafsiran adalah penafsiran karya sastra, dalam arti luasnya adalah penafsiran kepada semua aspek karya sastra.
Kritik sastra Indonesia modern lahir sejak tahun 1920 bersamaan lahirnya kesustraan Indonesia modern. Sampai sekarang, berdasarkan bukti yang didapatkan, kritik sastra Indonesia modern yang pertama ditulis oleh Mohammad Yamin berjudul “Sejarah Melayu” dan “Syair Bidasari”. Sejak lahirnya itu, kritik sastra Indonesia mengalami banyak masalah. Masalahnya meliputi, kurangnya tempat, kurangnya kritikus sastra (yang profesional). Tidak cocoknya pandangan kritikus dengan sastrawan, tidak cocoknya teori kritik sebagai landasan kritik dengan corak dan wujud kesusastraan Indonesia modern yang bersifat nasional (dan regional), pertentangan antara kritik sastra sastrawan dan kritik sastra akademik.
  1. RUMUSAN MASALAH
*      Apakah yang dimaksud dengan kritik sastra Indonesia modern?
*      Siapakah yang berperan dalam kritik sastra Indonesia modern?
  1. TUJUAN
Tujuan yang hendak dicapai makalah ini adalah sebagai berikut:
*      Menawarkan kepada pembaca tentang pentingnya kritik sastra.
*      Untuk mengetahui kritik sastra Indonesia modern dan permasalahannya.
*      Untuk mengetahui siapakah yang berperan dalam kritik sastra Indonesia modern.



Kata “kritik” berasal dari bahasa Yunani krites yang artinya seorang hakim, kritikos (dalam bahasa Indonesia kritikus) berarti “hakim kesusastraan” (Wellek dalam Pradopo, 2002:31). Berdasarkan istilah di atas, Wellek mengatakan bahwa kritik sastra itu berarti penghakiman karya sastra. Hal serupa juga dikemukakan H.B Jassin (1959:44,45) bahwa kritik sastra itu pertimbangan baik atau buruk karya sastra, penerangan, dan penghakiman karya sastra. Hudson juga mengemukakan bahwa istilah kritik sastra dalam artinya yang tajam adalah penghakiman yang dilakukan oleh seorang yang ahli atau memiliki sesuatu kepandaian khusus untuk membedah karya sastra, memriksa karya sastra mengenai kebaikan-kebaikan dan cacat-cacatnya, dan menyatakan pendapatnya mengenai hal itu (Pradopo, 2002: 32).
Jadi, berdasarkan pendapat-pendapat di atas, kritik sastra itu merupakan bidang studi sastra untuk “menghakimi” karya sastra, untuk memberi penilaian dan keputusan mengenai bermutu atau tidaknya suatu karya sastra. Dalam kritik sastra, suatu karya sastra diuraikan (dianalisis) unsur-unsurnya atau norma-normanya, diselidiki, diperiksa satu per satu, kemudian ditentukan berdasarkan hukum-hukum penilaian karya sastra, bernilai ataukah kurang bernilaikah karya sastra itu.
  1. GUNA KRITIK SASTRA
Pada intinya kritik sastra mempunyai tiga kegunaan atau kepentingan, yaitu kegunaan bagi ilmu sastra itu sendiri, bagi penerangan masyarakat, dan bagi perkembangan kesusastraan. Guna kritik sastra bagi ilmu sastra adalah guna untuk penyusunan teori sastra dan sejarah sastra. Karya sastra berguna bagi penerangan masyarakat yang ingin mengerti kesusastraan pada umumnya dan karya-karya sastra pada khususnya. Kritikus merupakan perantara antara pencipta dan orang banyak (Jassin dalam Pradopo, 2002: 36). Dengan demikian, hal itu membuat karya sastra terang bagi orang banyak (pembaca) sehingga karya sastra itu dihargai. Kritikus memberikan kepada pembaca suatu pandangan yang sama sekali segar dan mempermudah pembacaan dengan cara menerjemahkan ke dalam bentuk-bentuk sederhana.
Kritik sastra juga penting dalam pendidikan sastra, yaitu untuk meningkatkan apresiasi para pelajar dan mahasiswa  yang merupakan bagian dari masyarakatnya. Kritik sastra berguna bagi perkembangan kesusasatraan suatu bangsa. Dalam hal ini krhtik sastra dapat meningkatkan kecakapan, ketajaman pandangan, dan keluasan garapan sastrawan. Dengan demikian, hal ini akan menyebabkan karya-karya yang ditulis kemudian akan bertambah mutu seni atau sastranya.
  1. TEORI KRITIK SASTRA
Kritik sastra berfungsi untuk memberikan uraian dan penerangan tentang karya sastra yang konkret, baik mengenai makna karya sastra, strukturnya, maupun nilainya. Dengan demikian, kritikus sebagai penerap prinsip kritik sastra itu perlu memberikan tafsiran-tafsirannya, analisis dan seni lainnya. Tanpa itu semua, karya sastra tidak mungkin dipahami. Jadi, penafsiran, penguraian (analisis), dan penilaian perlu diuraikan. Ketiganya merupakan aspek kritik sastra yang utama yang saling erat berjalinan dalam aktivitas penerapan kritik pada karya sastra.
Penafsiran dalam arti luasnya membuat jelas arti keseluruhan karya sastra yang bermedium bahasa itu yang diantaranya memperjelas jenis sastra, unsur sastra, struktur, tema dan efek-efek. Dengan adanya penjelasan secara keseluruhan itu, karya sastra dapat dipahami. Karena sastra memiliki struktur yang kompleks, maka karya sastra perlu dianalisis. Jadi, analisis adalah sarana untuk menginterpretasi.
*      Penafsiran
Penafsiran karya sastra berarti penjelasan makna karya sastra. Menginterpretasi karya sastra berarti menangkap makna karya sastra. Karya sastra perlu ditafsirkan sebab karya sastra adalah sebuah struktur yang kompleks yang bermedium bahasa yang pada umumnya maknanya ambigu atau bermakna ganda. Menafsirkan karya sastra tidak terbatas hanya pada bahasanya yang ambigu, tetapi juga pada komplekitas karya sastra, seperti kompleksitas struktru penceritannya, penokohannya, bahkan juga pusat pengisahannya. Tafsiran terhadap karya sastra harus disertai alasa-alasan yang logis atau dapat diterima akal.
*      Analisis
Dengan analisis, makna karya sastra dapat ditafsirkan dengan jelas. Dalam menganalisis kritikus juga memberikan interpretasi, atau sebaliknya, dalam menginterpretasi karya sastra kritikus menganalisis dan sekaligus memberi penilaian atas hasil interpretasi dan analisisnya. Jadi, interpretasi, penilaian dan analisis tidak dapat dipisahkan.
*      Penilaian
Karya sastra adalah karya imajinatif bermedium bahasa yang fungsi estetikanya dominan (Wellek dan Waren dalam Pradopo, 2002: 81). Dengan demikian, dalam mengeritik karya sastra harus ditunjukkan nilai seninya. Kalau tidak demikian, kritik sastra belum sempurna memenuhi fungsinya.
  1. KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN DAN PERMASALAHANNYA
Kesusastraan Indonesia modern secara resmi lahir pada tahun 1920 dengan terbitnya roman Azab dan Sebgsara (1921). Sejak lahirnya, kritik sastra Indonesia modern selalu diiringi masalah. Masalahnya meliputi, kurangnya tempat, kurangnya kritikus sastra (yang profesional). Tidak cocoknya pandangan kritikus dengan sastrawan, tidak cocoknya teori kritik sebagai landasan kritik dengan corak dan wujud kesusastraan Indonesia modern yang bersifat nasional (dan regional), pertentangan antara kritik sastra sastrawan dan kritik sastra akademik. Sampai sekarang, berdasarkan bukti yang didapatkan, kritik sastra Indonesia modern yang pertama ditulis oleh Mohammad Yamin berjudul “Sejarah Melayu” dan “Syair Bidasari”. Sedangakan teori kritik sastra Indonesia modern pertama kali didapatkan dalam majalah Panji Pustaka (1932:838-839). Diduga ditulis oleh Sutan Takdir Alisjahbana, sebab STAlah yang menjadi redaktur sastra dengan ruang “Memajukan Kesusastraan”.
Sebelum tulisan tentang kritik sastra tersebut, yang dapat dianggap sebagai kritik sastra adalah aturan Balai Pustaka yang terkenal sebagai “Nota Rinkes” yang bersifat aturan untuk buku-buku yang hendak diterbitkan oleh Balai Pustaka, aturan yang mengharuskan dipatuhinya ketertiban: tidak boleh berpolitik, menyinggung agama (netral terhadap agama) dan tidak menyinggung kesusilaan masyarakat (Teeuw dalam Pradopo,1995: 97). Dengan demikian corak kritik sastra Balai Pustaka ini bertipe pragmatik. Jadi, sudut pandang atau perspektif pragmatik itu tidak sesuai dengan sudut pandang pengarang yang ekspresif, yang lebih mengutamakan nilai seni daripada mendidik masyarakat pembaca.
Yang perlu diingat bahwa dalam perkembangannya, kritik sastra Indonesia modern dari waktu ke waktu mengalami perdebatan-perdebatan. Perdebatan ini terjadi sejak awal perkembangan kritik sastra, tepatnya zaman Pujangga Baru sampai sekarang (Pradopo, 2002: 99). Pada akhir tahun 1960-an terjadi perdebatan dan polemik kritik sastra antara golongan pengikut kritik sastra Ganzheit dengan pengikut kritik sastra akademik (yang kemudian menamakan dirinya kritikus Kritik Sastra Aliran Rawamangun). Tokoh kritik sastra Ganzheit adalah Arief Budiman dan Goenawan Mohamad, sedangkan kritikus aliran Rawamangun adalah M.S. Hutagalung, J.U. Nasution, M. Saleh Saad, dan Boen Sri Oemarjati.
Pada tahun 1968 Pusat Bahasa Jakarta mempertemukan kelompok kritikus Ganzheit dengan aliran Rawamangun dalam sebuah seminar. Kertas kerja mereka dan ulasan-ulasannya dibukukan oleh Pusat Bahasa dengan editor Lukman Ali berjudul Tentang Kritik Sastra: Sebuah Diskusi (1978).
Dengan mengalirnya teori sastra dan kritik sastra Barat sejak pertengahan tahun 1970-an, lebih-lebih ke dalam lingkungan kritik sastra akademik, timbullah reaksi baik berupa penolakan maupun keinginan membentuk teori sastra dan kritik sastra yang khas Indonesia, lebih-lebih sesudah pertengahan tahun 1980-an. Oleh karena itu Universtas Bung Hatta Padang, pada tahun 1988 mengadakan seminar sastra “Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan”, makalah-makalahnya diterbitkan dalam sebuah buku dengan editor Mursal Esten yang berjudul Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan.
  1. KRITIK SASTRA AKADEMIK DAN KRITIK SASTRA SASTRAWAN
Para penulis kritik sastra Indonesia modern sampai pertengahan tahun 1950-an sebagian besar adalah para sastrawan. Oleh karena itu, periode 1920-1955 itu merupakan periode kritik sastrawan. Corak kritiknya adalah impresionistik, bertipe ekspresif dan pragmatik, ditulis tidak menurut sistematika ilmiah, bersifat esaistis.
Kritik sastra Pujangga Baru dapat dikatakan menjadi pendasar kritik sastra Indonesia modern. Meskipun sebelumnya sudah ada kritik sastra Balai Pustaka, tetapi secara nyata kritik sastra Balai Pustaka tidak dikenal umum karena hanya terbatas pada pertimbangan buku di kalangan Balai Pustaka saja. Berbeda dengan Pujangga Baru yang disiarkan dalam majalah Pujangga Baru sejak Juli 1933. Kritik sastra Pujangga Baru disebut pendasar kritik sastra Indonesia Modern karena pada kenyatannya gagasan-gagasan, praktik-praktik kritik sastra, dan corak kritik sastra Pujangga Baru diteruskan oleh sastrawan dan kritikus sesudahnya. Hal ini tampak pengertian kritik sastra yang merupakan pertimbangan baik buruk karya sastra, sebagai penerangan, untuk perkembangan kesusastraan dalam “Kritik Kesusastraan” (1932:838-839) yang kemudian diteruskan oleh H.B.Jassin seperti tampak dalam esainya “Kritik Sastra” (1959:44-47).
Pada zaman Pujangga Baru ada dua tipe kritik sastra yang diteruskan sampai sekarang, yaitu tipe kritik sastra pragmatik Sutan Takdir Alisjahbana dan tipe kritik sastra Sanusi Pane yang bersifat espresif. Tipe kritik sastra pragmatik Sutan Takdir Alisjahbana dan tipe kritik sastra Sanusi Pane saling bertentangan. STA menghendaki karya sastra itu berguna bagi pembangunan bangsa, sedangkan Sanusi Pane menghendaki karya sastra itu mengutamakan nilai estetikanya, karya sastra “seni untuk seni”.
Kurang lebih pada pertengahan tahun 1950-an timbul jenis kritik sastra yang baru, yaitu kemudian terkenal dengan kritik akademik atau kritik ilmiah. Corak kritik akademik berbeda dengan kritik sastrawan sebelumnya. Kritik sastra akademik berupa penelitian ilmiah dengan metode ilmiah. Ciri-cirinya adalah pembicaraan sampai pada hal-hal yang kecil, analisisnya mendetail, disusun dalam susunan yang sistematik, ada pertanggungjawaban ilmiah dengan penyebutan data yang akurat, pernyataan disertai argumentasi, menggunakan metode ilmiah.
Munculnya kritik ilmiah ini menimbulkan reaksi para sastrawan. Misalnya saja Rustandi Kartakusuma dan Harijadi Hartowardjoyo yang menuduh kritik ilmiabh itu seagai kritik induktif interpretatif, tidak ada penilaian, sebagian besar hanya penafsiran saja. Meskipun ada reaksi dara bei sastrawan, kritik akademik terus berjalan, terutama dalam penulisan skripsi, penelitian sastra ilmiah, makalah dan disertasi. Semakin banyaknya kritik sastra yang diterbitkan dalam bnetuk buku, timbulnya reaksi baru dari sastrawan. Diantaranya yang tampil adalah Arif Budiman. Mereka memberi ciri kritik akademik sebagai kritik analitik. Dikatakan demikian disebabkan kritik akademik terlalu mencincang-cincang karya sastra, menganalisi karya sastra terlalu analitik, karya sastra dianggap mayat di atas meja bedah.
Untuk menandangi kritik sastra akademik itu mereka (Arif Budiman, dkk) mengemukakan kritik sastra dengan metode Ganzheit, yaitu melihat karya sastra sebagai keseluruhan (tidak dicincang-cincang). Atas reaksi para sastrawan terhadap kritik akademik yang diberi ciri sebagai kritik analitik itu, terjadilah perdebatan dan polemik. M.S. Hutagalung (tokoh kritik sastra akademik) yang memproklamirkan kritiknya sebagai “Kritik Sastra Aliran Rawamangun”. Dalam polemik itu, pihak Ganzheit diwakili oleh Arif Budiman. Polemik itu baru berhenti pada pertengahan tahun 1970-an.
M.S. Hutagalung mengemukakan pembelaannya terhadap kebaikan dan manfaat kritik ilmiah berjudul “Peranan Penelitian Ilmiah untuk Pengembangan Kesusastraan Indonesia” dalam bukunya Membina Kesusastraan Indonesia Modern (1987). Dikemukakannya manfaat penelitian sastra (kritik sastra) ilmiah, yaitu:
*      Penelitian ilmiah membuat orang lebih tepat memandang dan mendekati kesusastraan itu sendiri.
*      Kritik sastra yang bersifat ilmiah akan lebih dapat dipertanggungjawabkan, subyektivitasnya dapat dihindari, pengertian akan nilai-nilai akan lebih jelas.
*      Penelitian ilmiah akan membuat orang lebih bijaksana untuk meramalkan, mengharapkan serta membina kesusastraan masa akan datang.
Fananie, Zainuddin. 2002. Telaah Sastra. Muhammadiyah University Press: Surakarta.
Darmanto. 2007. Kritik Sastra (Diktat). PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Gama Media: Yogyakarta.




No comments: