Petruk |
Berita menghebohkan itu menggetarkan seantero kampung. Maklum, Petruk adalah sosok popular di kampung. Dihampir seluruh kegiatan kampung sepertinya selalu hadir sosok Petruk. Di persawahan, dia selalu membantu ayahnya nggarap sawah, bahkan di pasarpun Petruk kadang dijumpai bersama ibunya berbelanja kebutuhan sehari-hari. Apa lagi dilingkungan pergaulan kawula muda dimana dia meleburkan dirinya dalam jiwa-jiwa muda yang penuh gejolak. Namun yang mengherankan, di kalangan anak-anak Petruk-pun menjadi sosok yang begitu dikenal karena memang sangat akrab dengan mereka. Tidak ada rasa canggung saat bergabung dalam dunia ceria anak-anak.
Itulah kehebatan Petruk. Mampu berada dimana saja, tidak sekedar ada namun juga memberi warna.
Dan keceriaan Petruk, biasanya akan menghadirkan cerah suasana. Kicauannya tiada henti memenuhi tempat dan waktu. Dari A sampai Z dia tahu. Dari masalah serius sampai gosip-gosip ringan maupun yang “asyik-asyik” dia paham. Bahasa yang dipergunakan menyesuaikan. Artinya saat berkumpul dengan anak-anak, yang diperbincangkan adalah dunia mereka yaitu, bermain, belajar dan bermain. Bila kongkow-kongkow bersama teman-teman remajanya, maka bahasan tentang dunia mereka begitu lancar dan mengasyikan. Namun, saat duduk ngobrol bersama ayah ibunya ataupun orang tua para tetangga, Petruk dengan cepat mampu menyesuaikan diri. Dengan takzim kata-kata santun dan bijak selalu terucap dari mulutnya, walaupun sekali-sekali keluar ungkapan-ungkapan nakal namun masih dalam koridor kesopanan, malah justru lebih menyegarkan suasana.
Itulah Petruk. Sosok populis di kampung yang hari itu tidak diketahui keberadaannya. Sekelompok temannya yang menyangka Petruk sedang tidak sehat, ketika berkunjung ke rumah Ki Lurah Semar dibuat semakin menyimpan tanda tanya besar tentang lenyapnya Petruk. Ki Lurah Semar-pun dibuat cemas juga karena sama sekali tidak mengetahui dimana saat itu anaknya berada.
Setelah kelompok remaja itu pergi maka kemudian Ki Lurah Semar memanggil Gareng dan Bagong untuk menanyai hal ini.
“Le, anakku Gareng wong bagus, kamu tahu nggak adikmu Petruk sekarang ada dimana” Semar menginterogasi Gareng terlebih dahulu.
“Kulo mboten ngertos Romo. Saya masih bersama Petruk sehabis jamaah sholat Isya di Langgar semalam. Dan setelah itu dia keluar rumah katanya mau main sebentar ke rumah Parto, anaknya Pak Ngadimin. Dan setelah itu saya tidak bertemu lagi karena saya langsung tidur Mo” jelas Gareng.
“Oooo ngono to Le. Lha kalau kowe Bagong anakku wong bagus, tahu nggak kakakmu pergi kemana”
Yang ditanya terlihat sedang serius, seolah berfikir keras hingga hidungnya kembang kempis seraya matanya sedikit mlerok. Begitu kebiasaan Bagong kalau sedang berfikir sesuatu yang membutuhkan effort untuk menggali ingatan.
“Gong … Bagong, Romo takon lho karo kowe !” Gareng njawil hidungnya Bagong dengan usil.
“Iya Kang Gareng, aku yo krungu. Ra usah dijawil irungku. Ngerti ra, irungku iki pusaka yang aku jaga setiap kali. Yang menyentuhnya smoga menemui kacilakan tujuh kali berturut-turut” ketus Bagong yang tengah serius merasa diganggu kakaknya.
Gareng cengar-cengir saja. Untuk menghindari percekcokan Semar menengahi.
“Jane kowe lagi opo to anakku bocah ngguanteng Bagong. Kok di tanya Romo malah diam saja, terlihat serius gitu. Memangnya yang lagi kau pikirkan tuh apa ?
“Gini Romo … saya lagi berfikir keras menyingkap misteri hilangnya Kang Petruk ini. Saya sedang merangkai kejadian-kejadian yang saya alami bersama Kang Petruk beberapa hari ini. Saya sedang berupaya mengingat kata-kata kang Petruk yang mungkin mengandung maksud tertentu yang berhubungan dengan kepergian kang Petruk tanpa pamit. Lha saya mau menemukan jawabannya, tiba-tiba Kang Gareng njawil irung kulo. Dadi ilang kabeh to Romo,” Bagong menjelaskan runtut bak pengacara di pengadilan memaparkan alibi client-nya.
“Oalah gayamu Gong. Pakai di analisa segala. Nek ora weruh yo ngomong ra ngerti. Kalau tahu keberadaan Petruk ya tinggal bilang sekarang dia dimana !” mangkel Gareng melihat gaya omongan Bagong yang sok intelek.
“Bukan begitu Kang Gareng. Bukannya saya sok intelek, ataupun sok menguasai permasalahan kemudian ngomong sesuatu yang menyimpang dari konten seperti itu tuh wakil-wakil kita di Dewan. Atau saya sok jadi pemikir ulung yang mampu memberikan solusi terhadap permasalahan seputar ruwetnya pengaturan negara, layaknya komentator-komentator yang cuman mampu mencerca. Saya hanya seorang Bagong yang ingin membantu Romo dan warga kampung ini dalam menemukan keberadaan Kang Petruk dengan membuat analisa sederhana terhadap yang saya ketahui,” jelas Bagong percaya diri.
Ki Lurah Semar tersenyum melihat kelakuan Bagong dengan kalimat-kalimat terpola dan canggih yang dilontarkannya.
“Wah … wah … wah … anakku Bagong ternyata pinter berdiplomasi ya. Lha kok saiki jadi pinter tenan kowe Bagong anggonmu ngomong. Ana kata-kata intelek, komentator, solusi. Kuwi kata-kata sing ora lumrah ning kampunge Romo Gong. Sepengetahuan Romo, ketoke kuwi kata-kata saka Basa Ngalengko yo Gong. Lha nek intelek ki saka tembung in karo telek. In artine dalam, telek ki opo Gong ?” Semar-pun jadi terlihat agak serius (atau mungkin pura-pura agak serius mengikuti permainan anak-anaknya).
“Mboten kados mekaten Romo memaknainya. Intelek nggih satu kata menyatu yang mempunyai arti tertentu. Atinya bisa daya atau proses pemikiran yang lebih tinggi berkenaan dengan pengetahuan, atau daya akal budi atau kecerdasan berpikir. Gitu Romo, ojo di potong-potong gitu no”
“Lha nek solusi ki apa Gong, sepengetahuanku solusi itu yang sering dipakai tukang listrik untuk menghindari konslet kae” Gareng ikut nimbrung. Iseng lagi.
“Yo pokoke yo kaya ngono. Masalah arti kata kan iso dicerna saka kalimat sing ngikuti to. Solusi ki ya solusi. Masak ra ngerti sih. Jadul banget ki Kang Gareng” Bagong sedikit terpancing.
“Wis wis wis … nggak usah diperpanjang lagi mengenai intelek dan solusi tadi. Sing tak karepake saiki jelaskan kepada Romo dan Kakangmu Gareng, menurut hasil analisamu ki kakangmu Petruk saiki ning ngendi” cepat Ki Lurah Semar menimpali agar tidak berlarut-larut permainan kata-kata dan kalimat ala Srimulat.
“Gini Romo, saya sedang merangkaikan kata-kata kunci atau nek basa Ngalengkone keyword, yang mungkin nanti dapat mengungkapkan tentang keberadaan Kang Petruk. Kemarin dia menyebut-nyebut nama seorang cewek di kampung sebelah bernama Ambarwati. Katanya kalau ngobrol sama dia, kang Petruk jadi kena penyakit gagap mirip Azis Gagap OVJ. Nggak tahu kenapa katanya setiap kali mau ngobrol sama dia, tiba-tiba kemaluannya muncul. Eh eh eh … kemaluannya tuh maksud saya rasa malu. Itu kata benda lho Romo. Mungkin ada kata-kata yang sama tapi berbeda maknanya kan Romo he he he” nyengir Bagong
“Dadi sudah mbok temoke … apa tadi Gong … kibrot” Semar serius bertanya
“Keyword Mo. Key ki kunci, word ki kata. Dadi kunci kata, katane di kunci. Eh bukan gitu ding. Yen basa Ngalengko ki di walik, jadi kata kunci Mo. Saya sudah menemukan kata kuncinya yaitu Ambarwati dan Gagap atau Malu. Romo kan tahu gimana Kang Petruk begitu popular disini dalam bergaul kepada siapa saja. Lha kok ini sama yang namanya Ambarwati, kedigdayaannya lenyap. Pasti ada sesuatu ya Mo” Bagong mencoba menjelaskan hasil analisanya.
“Terus kiwrot liyane apa Gong” Gareng mulai tertarik
“Keyword Kang, dudu kiwrot. Kang Gareng pada karo Romo sih … ndesit banget. Tak lanjutkan ya. Nah kemudian waktu ngobrol sama saya kemarin, secara tidak sadar dia mengungkapkan bahwa dia mau mencari pencerahan kepada ahlinya tentang masalah ini. Nah … ning kene ada keyword lain yaitu, pencerahan dan ahli. Menurutku, pencerahan tuh bisa curhat dan atau meminta pendapat serta solusi menghadapinya. Lha nek ahlinya ya berarti orang yang mengerti tentang permasalahan itu,” papar Bagong lancar dan berwibawa
“Terus kesimpulanmu apa Gong,” Gareng jadi ingin tahu lebih lanjut
“Ngene Kang Gareng dan juga Romo. Dengarkan baik-baik dan tolong juga ikut memikirkan hasil analisa saya ini agar kita dapat memprediksi keberadaan Kang Petruk,” Bagong menarik nafas panjang-panjang dan berdiam sesaat.
Hening.
Pandangan Ki Lurah Semar dan Gareng tertuju kepada mulut Bagong (atau mungkin juga pada hidungnya). Sementara yang menjadi pusat perhatian, mulutnya malah mengo. Irunge kembali kembang kempis alias mekrok. Matanya plirak-plirik seakan tahu tengah diperhatikan.
Sekian saat masih diam.
“Cepetan Gong, lha kok malah meneng wae. Ditunggu je !” mangkel Gareng melihat polah kelakuan adiknya itu.
“Sabar Kang Gareng. Butuh konsentrasi dalam menuangkan hasil analisa menjadi sebuah konklusi agar kesimpulan yang dibuat tidak asal-asalan dan akurat. Ngerti ra Kang”
“Guayamu Gong” tambah mangkel juga Gareng atas polah Bagong.
“Jadi berdasarkan kata kunci yang telah kita … atau tepatnya saya analisa … ehm ehm … yaitu Ambarwati, Gagap, Malu, Pencerahan, Ahlinya, maka akan saya deskripsikan sebagai berikut,”
Diam kembali. Dan kali ini Gareng tidak berkomentar sepatah katapun meskipun hatinya tambah mangkel menyaksikan gaya Bagong adiknya itu. Biar Bagong sendiri yang memulai lagi. Begitupun Semar, dengan sabar menanti “sabda” anaknya.
“Deskripsinya begini. Kang Petruk tentu ada hati sama Ambarwati, terbukti dia merasa malu dan grogi saat ngobrol dengannya sehingga sampai gagap saat bicara, yang ini adalah bukan karakter Kang Petruk sebenarnya. Untuk mensolusikan hal tersebut maka dia berkehendak untuk berkonsultasi kepada ahlinya. Dan yang perlu kita cari tahu sekarang adalah siapakah dia, siapakah yang dituju Kang Petruk untuk curhat terhadap permasalahannya itu. Begitu Romo dan Kang Gareng kesimpulan dari analisa saya” Bagong menutup bicaranya dengan menekankan kalimat terakhir.
Ki Lurah Semar manggut-manggut tanda mengerti apa yang diperkirakan anaknya Bagong. Sementara Gareng-pun dengan berat membenarkan dalam hati bahwa kali ini adiknya benar-benar pinter dan canggih.
>>
Dan memang benar dugaan Bagong, di malam itu setelah keluar dari rumahnya ternyata Petruk bukannya menuju rumah Pak Ngadimin untuk menemui temannya Parto, melainkan dia berjalan ke luar kampung. Disusuri jalan pintas yang gelap karena kepergiannya tidak ingin diketahui siapapun. Dengan mengendap-endap dan berhati-hati, Petruk berjingkat perlahan menyusuri jalan gelap itu hingga akhirnya sampai di perbatasan kampung untuk kemudian dengan bergegas dia melanjutkan perjalanannya menuju kota.
Cukup jauh jarak antara kampungnya dengan kota. Namun sepertinya jarak jauh bukan halangan baginya. Tekad ingin memperoleh “senjata pamungkas” bagi permasalahannya ini mengalahkan rasa kantuk dan letihnya. Dan saat pagi menjelang tampaklah dari jauh lampu-lampu jalan perkotaan berkelip menandakan bahwa perjalanannya akan segera sampai.
Sumber Posting FACEBOOK PAGUYUBAN PECINTA WAYANG
No comments:
Post a Comment