Maman S. Mahayana
Ada dua hal yang sangat
mungkin menjadi problem dalam sastra bandingan (comparative literature)
sebagai sebuah disiplin ilmu. Pertama, persoalan yang menyangkut konsep sastra
bandingan. Dalam banyak rumusan atau definisi sastra bandingan pada umumnya,
penekanan perbandingan pada dua karya atau lebih dari sedikitnya dua negara
yang berbeda menjadi pusat perhatian yang utama. Jadi, sebuah perbandingan dua
karya atau lebih yang berasal dari dua negara, termasuk ke dalam wilayah sastra
bandingan. Jika kita membandingkan dua karya yang berasal dari dua kultur etnik
yang berbeda –Sunda dan Jawa, misalnya—, padahal kedua karya itu berada dalam
wilayah negara yang sama, apakah termasuk ke dalam wilayah sastra bandingan.
Pertanyaan yang sama dapat diajukan ketika kita membandingkan sastra Singapura
dengan sastra Taiwan yang keduanya memakai bahasa Mandarin atau sastra Brunei
Darussalam dengan sastra Malaysia yang keduanya memakai bahasa Melayu.
Pertanyaan yang sama tentu saja dapat kita kemukakan lebih panjang lagi. Jadi,
jika kita mengamati karya-karya dari berbagai negara yang menggunakan bahasa
yang sama atau sastra dari berbagai daerah dalam satu negara, maka ternyata
bahwa rumusan sastra bandingan yang menekankan pada perbedaan negara, justru
akan mengundang masalah konseptual. Dalam konteks itulah, perlu kiranya kita
mempertanyakan kembali rumusan-rumusan sastra bandingan yang pernah ada.
Masalah kedua menyangkut praktik sastra bandingan sebagai sebuah kajian. Apakah praktik sastra bandingan hanya sebatas membandingkan dua teks sastra atau lebih jauh dari itu dengan mencantelkan analisis atau interpretasinya pada kebudayaan dan kehidupan kemasyarakatan yang melahirkannya. Jika perbandingannya itu hanya menyangkut dua atau lebih teks sastra yang berbeda, maka hasil perbandingan itu hanya akan sampai pada perbedaan dan persamaan tekstual. Dari sana mungkin kita akan sampai juga pada persoalan reputasi dan penetrasi, dan pengaruh-mempengaruhi. Jika demikian halnya, maka perbandingan itu akan tetap berkutat pada persoalan tekstual. Jadi, apakah tujuan sastra bandingan hanya sampai pada pengungkapan perbedaan dan persamaan dua teks atau lebih. Oleh karena itu, patutlah dipertimbangkan tujuan sastra bandingan yang tidak hanya sampai pada perbandingan dua teks sastra yang berbeda dan mengungkapkan persamaan dan perbedaan tekstual, tetapi juga coba menelusuri persamaan dan perbedaannya itu sebagai bagian dari dua produk budaya yang dilahirkan dari dua kehidupan sosio-budaya yang berbeda.
Sebelum memasuki pada pembicaraan beberapa karya sastra yang hendak dijadikan contoh kasus studi sastra bandingan, alangkah baik jika kita memperhatikan dahulu sejumlah rumusan mengenai sastra bandingan. Dari rumusan itu, serta dengan mengungkapkan beberapa kasus terjadinya problem konseptual, boleh jadi pula kita akan memperoleh rumusan yang lebih pas; atau paling sedikit, kita dapat meninjau sejauh mana rumusan sastra bandingan masih dapat dipertahankan dan alternatif apa yang perlu dikedepankan.
***
Dalam kamus Websters,[1]
dikemukakan bahwa sastra bandingan mempelajari hubungan timbal balik karya
sastra dari dua atau lebih kebudayaan nasional yang biasanya berlainan bahasa,
dan terutama pengaruh karya sastra yang satu terhadap karya sastra lain.
Sementara itu, menurut Rene Wellek dan Austin Warren[2] ada tiga
pengertian mengenai sastra bandingan. Pertama, penelitian sastra lisan,
terutama tema cerita rakyat dan penyebarannya. Kedua, penyelidikan mengenai
hubungan antara dua atau lebih karya sastra, yang menjadi bahan dan objek
penyelidikannya, di antaranya, soal reputasi dan penetrasi, pengaruh dan
kemasyhuran karya besar. Ketiga, penelitian sastra dalam keseluruhan sastra
dunia, sastra umum dan sastra universal.
Sejalan dengan pendapat Wellek dan Warren, Holman[3] mengungkapkan, bahwa sastra bandingan adalah studi sastra yang memiliki perbedaan bahasa dan asal negara dengan suatu tujuan untuk mengetahui dan menganalisis hubungan dan pengaruhnya antara karya yang satu terhadap karya yang lain, serta ciri-ciri yang dimilikinya.
Hal senada dikemukakan Remak[4] yang mengungkapkan sebagai berikut: “Sastra bandingan adalah studi sastra yang melewati batas-batas suatu negara serta hubungan antara sastra dan bidang pengetahuan dan kepercayaan lain.” Ringkasnya, sastra bandingan adalah perbandingan karya sastra yang satu dengan satu atau beberapa karya sastra lain, serta perbandingan karya sastra dengan ekspresi manusia dalam bidang lain. Lebih lanjut Remak menekankan, perbandingan antara karya sastra dan bidang di luar sastra hanya dapat diterima sebagai sastra bandingan, jika perbandingan keduanya dilakukan secara sistematis dan bidang di luar sastra itu dapat dipisahkan dan mempunyai pertalian logis.
Berdasarkan sejumlah definisi atau pengertian mengenai sastra bandingan, Robert J. Clements melihat sastra bandingan sebagai studi yang pendekatannya meliputi aspek: (1) tema/mitos, (2) jenis/bentuk, (3) aliran/zaman, (4) hubungan sastra dengan seni dan bidang lain, dan (5) sastra sebagai gambaran sejarah kritik dan teori sastra. [5]
Sejalan dengan pendapat Wellek dan Warren, Holman[3] mengungkapkan, bahwa sastra bandingan adalah studi sastra yang memiliki perbedaan bahasa dan asal negara dengan suatu tujuan untuk mengetahui dan menganalisis hubungan dan pengaruhnya antara karya yang satu terhadap karya yang lain, serta ciri-ciri yang dimilikinya.
Hal senada dikemukakan Remak[4] yang mengungkapkan sebagai berikut: “Sastra bandingan adalah studi sastra yang melewati batas-batas suatu negara serta hubungan antara sastra dan bidang pengetahuan dan kepercayaan lain.” Ringkasnya, sastra bandingan adalah perbandingan karya sastra yang satu dengan satu atau beberapa karya sastra lain, serta perbandingan karya sastra dengan ekspresi manusia dalam bidang lain. Lebih lanjut Remak menekankan, perbandingan antara karya sastra dan bidang di luar sastra hanya dapat diterima sebagai sastra bandingan, jika perbandingan keduanya dilakukan secara sistematis dan bidang di luar sastra itu dapat dipisahkan dan mempunyai pertalian logis.
Berdasarkan sejumlah definisi atau pengertian mengenai sastra bandingan, Robert J. Clements melihat sastra bandingan sebagai studi yang pendekatannya meliputi aspek: (1) tema/mitos, (2) jenis/bentuk, (3) aliran/zaman, (4) hubungan sastra dengan seni dan bidang lain, dan (5) sastra sebagai gambaran sejarah kritik dan teori sastra. [5]
***
Definisi yang tertulis
dalam kamus Websters, jelas hanya memberikan pengertian yang sangat
umum. Pertama, kamus itu bukan kamus khusus mengenai kesusastraan.
Kedua, kamus itu merupakan kamus yang memuat kosa kata yang umum digunakan
dalam bahasa Inggris. Dengan demikian, terlalu riskan jika kita melandasi
pengertian sastra bandingan hanya dari sebuah entri yang terdapat dalam kamus
umum seperti itu. Sesungguhpun begitu, ternyata rumusan yang umum itu
dikemukakan pula oleh Wellek dan Warren dan Remak. Dalam konteks ini, kita
masih dapat memperkuat rumusan itu dengan menyinggung sejumlah kasus dalam
kesusastraan beberapa negara. Masalah yang menyangkut dua atau lebih kebudayaan
nasional dan pengaruh karya sastra terhadap karya sastra lain, misalnya, dalam
kesusastraan Indonesia, bukanlah hal yang baru. Sebutlah kasus
Hamka--Manfaluthi[6] dan Chairil
Anwar--Archibald Macleish.[7] Sebenarnya, kita masih dapat menyebut
kasus serupa yang belum banyak diungkapkan. Novel Angin Musim (1986)
karya Mahbub Djunaedi, misalnya, ternyata mempunyai banyak persamaannya dengan
novel Natsume Soseki, I’m a Cat (1972).[8] Kedua novel ini menampilkan tokoh kucing
yang menceritakan berbagai pengalaman manusia. Lewat tokoh yang lain, sastrawan
Malaysia, Hassan Ibrahim dalam Tikus Rahmat (1963) menampilkan tokoh
tikus berikut dunia pertikusannya. Dalam hal ini, Tikus Rahmat ternyata
mempunyai kesamaan dengan Animal Farm (1945) karya George Orwell.
Untuk kasus-kasus yang disebut terakhir, boleh jadi kita masih dapat memasukkan persoalannya ke dalam wilayah sastra bandingan. Artinya, lewat studi sastra bandingan, kita masih dapat menerima bahwa sangat mungkin Mahbub Djunaedi terpengaruh oleh karya Natsume Soseki. Demikian pula dengan Hassan Ibrahim yang dari berbagai ulasan mengenai Tikus Rahmat, dianggap telah menyerap pengaruh Orwell.[9] Tetapi bagaimana dengan kasus Hamka dan Chairil Anwar yang telah disebutkan tadi, hanya sebatas pengaruh-mempengaruhi yang masih termasuk wilayah sastra bandingan, atau bentuk lain dari saduran? Atau, apa yang oleh Sapardi Djoko Damono disebut sebagai pengkhianatan kreatif?[10]
Kembali, jika perbandingan sejumlah karya yang disebutkan tadi hanya sebatas perbandingan antarteks, maka hasilnya hanya sampai pada pengungkapan persamaan dan perbedaan tekstual. Pertanyaan yang lebih substansial: mengapa terjadi persamaan dan perbedaan, tetap bersembunyi tanpa ada usaha untuk coba mengungkapkannya. Dan ketika kita coba menemukan jawabannya, maka tidak dapat lain, teks mesti diperlakukan merepresentasikan konteks sosio-kultural yang melahirkannya. Maka, perbandingan itu mestinya lebih jauh menyentuh latar belakang proses kelahiran teks yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan sosial budaya yang terjadi pada zamannya. Di sinilah tujuan sastra bandingan sesyogianya tidak berhenti hanya sebatas menemukan persamaan dan perbedaan tekstual, melainkan terus menukik pada berbagai persoalan kemasyarakat dan kebudayaan yang melahirkannya.
Sebagai contoh kasus, berikut akan dibincangkan tiga karya Inggris (Romeo dan Julia karya William Shakespeare), Jepang (Sonezaki Shinju karya Chikamatsu Monzaemon), dan cerpen Malaysia (“Uda dan Dara” karya Usman Awang).
Untuk kasus-kasus yang disebut terakhir, boleh jadi kita masih dapat memasukkan persoalannya ke dalam wilayah sastra bandingan. Artinya, lewat studi sastra bandingan, kita masih dapat menerima bahwa sangat mungkin Mahbub Djunaedi terpengaruh oleh karya Natsume Soseki. Demikian pula dengan Hassan Ibrahim yang dari berbagai ulasan mengenai Tikus Rahmat, dianggap telah menyerap pengaruh Orwell.[9] Tetapi bagaimana dengan kasus Hamka dan Chairil Anwar yang telah disebutkan tadi, hanya sebatas pengaruh-mempengaruhi yang masih termasuk wilayah sastra bandingan, atau bentuk lain dari saduran? Atau, apa yang oleh Sapardi Djoko Damono disebut sebagai pengkhianatan kreatif?[10]
Kembali, jika perbandingan sejumlah karya yang disebutkan tadi hanya sebatas perbandingan antarteks, maka hasilnya hanya sampai pada pengungkapan persamaan dan perbedaan tekstual. Pertanyaan yang lebih substansial: mengapa terjadi persamaan dan perbedaan, tetap bersembunyi tanpa ada usaha untuk coba mengungkapkannya. Dan ketika kita coba menemukan jawabannya, maka tidak dapat lain, teks mesti diperlakukan merepresentasikan konteks sosio-kultural yang melahirkannya. Maka, perbandingan itu mestinya lebih jauh menyentuh latar belakang proses kelahiran teks yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan sosial budaya yang terjadi pada zamannya. Di sinilah tujuan sastra bandingan sesyogianya tidak berhenti hanya sebatas menemukan persamaan dan perbedaan tekstual, melainkan terus menukik pada berbagai persoalan kemasyarakat dan kebudayaan yang melahirkannya.
Sebagai contoh kasus, berikut akan dibincangkan tiga karya Inggris (Romeo dan Julia karya William Shakespeare), Jepang (Sonezaki Shinju karya Chikamatsu Monzaemon), dan cerpen Malaysia (“Uda dan Dara” karya Usman Awang).
***
Romeo dan Julia[11] karya William
Shakespeare (1564—1616) menurut Trisno Sumardjo yang menerjemahkan karya itu,
pokok ceritanya bersumber dari cerita lisan orang lain. Berikut keterangan yang
disampaikan Sumardjo:
Menurut anggapan
penduduk Verona, riwayat ini (Romeo dan Julia, MSM)) terjadi tahun 1303,
dan pada kaum pelancong mereka tunjukkan rumah keluarga Capulet serta kubu
pemakaman asyik masyuk itu. Tahun 1535 diterbitkan sebuah cerita pendek bernama
La Giulietta oleh Luigi da Porto dari Vicenza, ditulis menurut kisah
yang dituturkan padanya oleh seorang prajurit tua. Pada tahun 1554 dikisahkan
oleh Bandello dalam cerita pendek Itali tentang hikayat Romeo dan Julia. Dari
situ Pierre Boisteaux membuat cerita Perancis, dan tahun 1567 cerita ini
dimasukkan oleh Painter dalam kumpulan ceritanya bernama Palace of Pleasures
yng sering dipakai oleh Shakespeare. Sebelumnya, dalam tahun 1562 ada
diterbitkan sebuah sajak epis dari tangan Arthur Brooke, namanya “The Tragicall
Historye of Romeus and Juliet, written first in Italian by Bandell, and now in
English by Ar. Br. (Arthur Brooke). Buah tangan Shakespeare lebih mendekati
sajak ini daripada cerita Painter.[12]
Mencermati kutipan di
atas, kita melihat bahwa cerita Romeo dan Julia merupakan cerita klasik yang
sudah dikenal luas masyarakat sebelum Shakespeare mengangkat cerita itu ke
dalam bentuk drama. Artinya adalah bahwa apa yang dilakukan Shakespeare atau
sastrawan lainnya di dunia ini, bukanlah hal yang tabu dilakukan. Dalam hal
ini, cerita-cerita lisan klasik atau karya-karya agung, tidak hanya berpotensi
melakukan penetrasi dan menyebarkan pengaruhnya, tetapi juga inspiring
(mengilhami), sehingga bermunculan cerita-cerita yang secara tematik mempunyai
persamaan.[13] Pertanyaannya kini:
apakah studi sastra bandingan cukup sampai pada kesimpulan adanya penetrasi dan
pengaruh-mempengaruhi serta usaha mengungkapkan persamaan dan perbedaan secara
tekstual atau juga mengungkapna faktor-faktor di luar teks?
Secara tematik, Romeo
dan Julia bercerita tentang kisah kasih tak sampai yang menimpa diri pemuda
Romeo dan gadis Julia. Permusuhan antara keluarga besar Montague –sebagai pihak
Romeo—dan keluarga Capulet –sebagai pihak Julia—pada awalnya tidak dapat
merintangi tumbuhnya perasaan cinta kedua sejoli itu. Romeo dan Julia pun
bersepakat mengikat ikrar dalam tali perkawinan yang disahkan oleh pendeta
Lorenzo. Tetapi, tewasnya kerabat dan sahabat Romeo, Mercutio oleh Tybalt,
kerabat keluarga Capulet membuka kembali permusuhan antarkeluarga itu. Romeo
terlibat dalam perkelahian berdarah. Pedangnya menewaskan Tybalt. Untuk
menyelamatkan Romeo dari hukuman mati, pendeta Lorenzo menyuruhnya pergi dari
Verona dan tinggal di Mantua.
Sementara itu duka cita
Julia atas perpisahan dengan Romeo, dilihat oleh Capulet dan istrinya sebagai
kesedihan atas kematian Tybalt. Maka, ketika datang Paris, pemuda bangsawan
melamar Julia, keluarga Capulet menyambutnya bahagia. Hari perkawinan pun
kemudian ditetapkan.
Julia tentu saja menolak
rencana kedua orang tuanya menjodohkan dengan Paris. Tetapi, kesepakatan telah
dibuat, hari perkawinan telah ditetapkan. Julia tak dapat berbuat apa-apa. Ia
pun mendatangi pendeta Lorenzo. Untuk menyelamatkan kesucian cinta Romeo—Julia,
pendeta Lorenzo merancang rencana. Disuruhlah Julia minum racun menjelang pesta
perkawinan dengan Paris dilaksanakan. Menurut Lorenzo, jika racun itu diminum,
Julia akan terbujur kaku seperti orang mati. Dua hari kemudian, ia akan siuman
kembali. Pada saat itulah, Romeo datang dan membawa Julia pergi meninggalkan
Verona.
Pesta perkawinan dengan Paris memang gagal. Julia dianggap mati bunuh diri karena minum racun. Jasadnya dimasukkan dalam peti mati dan kemudian disimpan di tempat pemakaman. Tetapi rencana tinggal rencana. Kabar yang diterima Romeo bukanlah skenario yang disusun pendeta Lorenzo, melainkan kabar tentang kematian Julia. Maka, Romeo segera datang ke pemakaman tempat Julia disemayamkan. Di sana, ia jumpa Paris. Perkelahian pun tak terhindarkan. Paris tewas. Romeo yang sudah putus pengharapannya, segera minum racun yang telah disiapkannya. Ia pun mati.
Beberapa saat setelah kematian Romeo, Julia siuman. Betapa kaget ketika dilihatnya Paris mati bersimbah darah dan Romeo terbujur kaku dengan tangan masih memegang botol racun. Menyadari segalanya telah berakhir, Julia mencabut belati Romeo dan ditusukkannya ke dadanya sendiri. Julia pun tewas seketika.
Tidak lama kemudian datanglah pendeta Lorenzo, Pangeran, keluarga Capulet dan keluarga Montague. Pendeta Lorenzo lalu menjelaskan duduk perkaranya. Tetapi, semua sudah terlambat. Penyesalan tak berguna lagi. Kedua keluarga –Capulet dan Montague—yang selama ini bermusuhan, menyadari kekeliruannya. Mereka pun bersepakat untuk mencipakan perdamaian.
Tragedi percintaan yang membawa kematian sepasang kekasih, dapat pula kita jumpai dalam karya Chikamatsu Monzaemon (1653—1724),[14] berjudul Sonezaki Shinju (1703).[15] Hubungan percintaan Tokubei dan Ohatsu tidak sampai ke pelaminan, karena Tokubei yang menolak dikawinkan dengan kemenakan pamannya, tidak dapat membayar biaya hidupnya selama tinggal bersama pamannya, yang juga majikannya.
Kisahnya dimulai dari perjumpaan Tokubei dan Ohatsu di sebuah kuil. Tokubei bekerja sebagai karyawan kedai kecap milik pamannya, sedangkan Ohatsu bekerja sebagai wanita penghibur di kedai Temaya. Kedua insan itu menjalin hubungan cinta secara sembunyi-sembunyi.
Kegigihan dan kejujuran Tokubei rupanya mengundang simpati pamannya. Muncullah rencana menjodohkan Tokubei dengan wanita kemenakan istri pamannya. Untuk melaksanakan rencana itu, pamannya sudah memberi uang sebanyak satu setengah juta yang diserahkan kepada ibu tiri Tokubei. Karena cinta Tokubei sudah jatuh pada Ohatsu, ia menolak rencana pamannya. Penolakan ini tentu saja membuat pamannya marah. Tokubei diusir dari Osaka. Ia juga harus mengganti uang yang sudah diterima ibu tirinya, ditambah dengan uang selama ia tinggal bersama pamannya.
Dengan berbagai cara, Tokubei berhasil mendapatkan uang sejumlah yang dituntut pamannya. Tetapi sebelum uang itu diserahkan kepada pamannya, Kuheiji, sahabat Tokubei, meminjamnya dan akan melunasinya sehari sebelum waktu yang ditetapkan pamannya. Pada hari yang dijanjikan Kuheiji, Tokubei jumpa dengan sahabatnya itu. Tetapi Kuheiji malah menuduh Tokubei hendak menipunya. Tokubei pun dianiaya Kuheiji dan teman-temannya.
Menyadari bahwa Tokubei mustahil dapat melunasi uang yang dituntut pamannya, ia menyampaikan masalahnya kepada Ohatsu, kekasihnya. Ohatsu juga menyadari, perkawinannya (di dunia) dengan Tokubei akan menghadapi kegagalan. Sepasang kekasih itu akhirnya bersepakat untuk mengakhiri hidup mereka di dunia, agar mereka bisa melaksanakan pernikahannya di akhirat.
Bersusah payah Tokubei dan Ohatsu pergi ke hutan Sonezaki. Di sanalah keduanya mengakhiri hidupnya. Di dunia, sepasang kekasih itu memang gagal melaksanakan perkawinannya, tetapi dengan cara melakukan shinju,[16] terbukan jalan lempang untuk melaksanakan perkawinan mereka di akhirat.
Kasih tak sampai, juga diangkat Usman Awang dalam cerpennya “Uda dan Dara”.[17] Percintaan Uda dan Dara akhirnya kandas lantaran perbedaan status sosial. Lamaran Uda yang miskin, ditolak Ibu Dara, karena keadaan keluarga Uda yang miskin tidak sebanding dengan keadaan keluarga Dara yang kaya.
Penolakan itu membuat Uda bertekad pergi ke kota untuk mengubah taraf hidupnya. Tetapi, karena terlalu payah bekerja keras, Uda jatuh sakit. Ia kembali ke desanya dalam keadaan sakit parah. Kematian pun segera menjemputnya, tanpa sempat berjumpa dengan Dara untuk yang terakhir kalinya.
Kematian Uda tentu saja membuat Dara, tidak hanya merasa sangat bersalah, tetapi juga membuatnya kehilangan gairah hidup. Ia mengabaikan pertunangannya dengan lelaki kaya, mengabaikan masa depannya. Dara pun sakit hingga maut menjemputnya. Pesan terakhirnya, ia dimakamkan di samping kuburan Uda. Dua makan berdampingan: “Uda dan Dara sebagai pelambang cinta kasih yang teguh dan murni” (hlm. 153).
Pesta perkawinan dengan Paris memang gagal. Julia dianggap mati bunuh diri karena minum racun. Jasadnya dimasukkan dalam peti mati dan kemudian disimpan di tempat pemakaman. Tetapi rencana tinggal rencana. Kabar yang diterima Romeo bukanlah skenario yang disusun pendeta Lorenzo, melainkan kabar tentang kematian Julia. Maka, Romeo segera datang ke pemakaman tempat Julia disemayamkan. Di sana, ia jumpa Paris. Perkelahian pun tak terhindarkan. Paris tewas. Romeo yang sudah putus pengharapannya, segera minum racun yang telah disiapkannya. Ia pun mati.
Beberapa saat setelah kematian Romeo, Julia siuman. Betapa kaget ketika dilihatnya Paris mati bersimbah darah dan Romeo terbujur kaku dengan tangan masih memegang botol racun. Menyadari segalanya telah berakhir, Julia mencabut belati Romeo dan ditusukkannya ke dadanya sendiri. Julia pun tewas seketika.
Tidak lama kemudian datanglah pendeta Lorenzo, Pangeran, keluarga Capulet dan keluarga Montague. Pendeta Lorenzo lalu menjelaskan duduk perkaranya. Tetapi, semua sudah terlambat. Penyesalan tak berguna lagi. Kedua keluarga –Capulet dan Montague—yang selama ini bermusuhan, menyadari kekeliruannya. Mereka pun bersepakat untuk mencipakan perdamaian.
Tragedi percintaan yang membawa kematian sepasang kekasih, dapat pula kita jumpai dalam karya Chikamatsu Monzaemon (1653—1724),[14] berjudul Sonezaki Shinju (1703).[15] Hubungan percintaan Tokubei dan Ohatsu tidak sampai ke pelaminan, karena Tokubei yang menolak dikawinkan dengan kemenakan pamannya, tidak dapat membayar biaya hidupnya selama tinggal bersama pamannya, yang juga majikannya.
Kisahnya dimulai dari perjumpaan Tokubei dan Ohatsu di sebuah kuil. Tokubei bekerja sebagai karyawan kedai kecap milik pamannya, sedangkan Ohatsu bekerja sebagai wanita penghibur di kedai Temaya. Kedua insan itu menjalin hubungan cinta secara sembunyi-sembunyi.
Kegigihan dan kejujuran Tokubei rupanya mengundang simpati pamannya. Muncullah rencana menjodohkan Tokubei dengan wanita kemenakan istri pamannya. Untuk melaksanakan rencana itu, pamannya sudah memberi uang sebanyak satu setengah juta yang diserahkan kepada ibu tiri Tokubei. Karena cinta Tokubei sudah jatuh pada Ohatsu, ia menolak rencana pamannya. Penolakan ini tentu saja membuat pamannya marah. Tokubei diusir dari Osaka. Ia juga harus mengganti uang yang sudah diterima ibu tirinya, ditambah dengan uang selama ia tinggal bersama pamannya.
Dengan berbagai cara, Tokubei berhasil mendapatkan uang sejumlah yang dituntut pamannya. Tetapi sebelum uang itu diserahkan kepada pamannya, Kuheiji, sahabat Tokubei, meminjamnya dan akan melunasinya sehari sebelum waktu yang ditetapkan pamannya. Pada hari yang dijanjikan Kuheiji, Tokubei jumpa dengan sahabatnya itu. Tetapi Kuheiji malah menuduh Tokubei hendak menipunya. Tokubei pun dianiaya Kuheiji dan teman-temannya.
Menyadari bahwa Tokubei mustahil dapat melunasi uang yang dituntut pamannya, ia menyampaikan masalahnya kepada Ohatsu, kekasihnya. Ohatsu juga menyadari, perkawinannya (di dunia) dengan Tokubei akan menghadapi kegagalan. Sepasang kekasih itu akhirnya bersepakat untuk mengakhiri hidup mereka di dunia, agar mereka bisa melaksanakan pernikahannya di akhirat.
Bersusah payah Tokubei dan Ohatsu pergi ke hutan Sonezaki. Di sanalah keduanya mengakhiri hidupnya. Di dunia, sepasang kekasih itu memang gagal melaksanakan perkawinannya, tetapi dengan cara melakukan shinju,[16] terbukan jalan lempang untuk melaksanakan perkawinan mereka di akhirat.
Kasih tak sampai, juga diangkat Usman Awang dalam cerpennya “Uda dan Dara”.[17] Percintaan Uda dan Dara akhirnya kandas lantaran perbedaan status sosial. Lamaran Uda yang miskin, ditolak Ibu Dara, karena keadaan keluarga Uda yang miskin tidak sebanding dengan keadaan keluarga Dara yang kaya.
Penolakan itu membuat Uda bertekad pergi ke kota untuk mengubah taraf hidupnya. Tetapi, karena terlalu payah bekerja keras, Uda jatuh sakit. Ia kembali ke desanya dalam keadaan sakit parah. Kematian pun segera menjemputnya, tanpa sempat berjumpa dengan Dara untuk yang terakhir kalinya.
Kematian Uda tentu saja membuat Dara, tidak hanya merasa sangat bersalah, tetapi juga membuatnya kehilangan gairah hidup. Ia mengabaikan pertunangannya dengan lelaki kaya, mengabaikan masa depannya. Dara pun sakit hingga maut menjemputnya. Pesan terakhirnya, ia dimakamkan di samping kuburan Uda. Dua makan berdampingan: “Uda dan Dara sebagai pelambang cinta kasih yang teguh dan murni” (hlm. 153).
***
Dua naskah drama Romeo
dan Julia dan Sonezaki Shinju serta sebuah cerpen “Uda dan Dara”
memperlihatkan sebuah tema yang sama: kasih tak sampai. Apakah praktik sastra
bandingan sebatas membandingkannya secara tekstual? Dalam praktik sastra
bandingan dikatakan, bahwa perbandingan itu dilakukan secara sistematik dan
punya pertalian yang logis. Dari sana memang kemudian akan tampak adanya
persamaan dan perbedaan. Kasus Romeo dan Julia, misalnya, dilatarbelakangi oleh
permusuhan keluarga, sedang dalam Sonezaki Shinju penyebabnya didasari
oleh “kepercayaan” sang paman atas kinerja dan pengabdian kemenakannya.
“Kepercayaan dan penghargaan” itu kemudian direpresentasikan melalui
keinginannya menjodohkan Tokubei dengan kemenanakan istrinya. Jika saja Tokubei
menuruti kehendak pamannya, maka selain ia memperoleh kepercayaan yang makin
besar dari pamannya itu, juga mendapatkan kedai sendiri untuk mengembangkan
usahanya. Jadi, usaha yang dilakukan paman Tokubei sesungguhnya merupakan
bentuk penghargaan dan sekaligus kepercayaan.
Dalam “Uda dan Dara” persoalan yang mendasarinya adalah perbedaan status sosial. Keluarga Uda yang miskin, tak layak bersanding dengan keluarga Dara yang kaya. Demikian juga, keyakinan Ibu Dara yang menafikan keteguhan cinta telah membutakan mata hatinya. Perkawinan, sebagaimana yang dijalaninya, cukup bermodalkan keikhlasan menerima, tanpa perlu harus didasari perasaan cinta. Itulah yang dijalani Ibu Dara yang ternyata juga berjalan baik-baik saja. Ia lupa, bahwa zaman telah berubah. Apa yang dijalaninya dulu, belum tentu cocok diterapkan sekarang.
Pertanyaannya kini: apakah praktik sastra bandingan cukup sampai menemukan persamaan dan perbedaan tekstual? Di sinilah sesungguhnya tujuan sastra bandingan menjadi penting jika persoalan persamaan dan perbedaan tekstual itu digunakan sebagai pintu masuk untuk mengungkapkan problem sosio-kultural. Maka, tujuan sastra bandingan akan bermuara pada pemahaman budaya berbagai bangsa yang justru menjadi ruh yang menjiwai karya sastra. Bukankah karya sastra pada hakikatnya merupakan representasi ruh kebudayaan yang melahirkannya?
Kasus Romeo dan Julia menunjukkan bahwa persaingan pengaruh antar-keluarga bangsawan kerap menciptakan korban para pengikutnya. Di sana juga tampak, bahwa posisi gereja begitu kokoh dan berpengaruh. Bagaimana mungkin Julia begitu percaya pada Pendeta Lorenzo hingga ia mempunyai keberanian untuk minum racun. Begitu juga adanya larangan jual-beli racun secara bebas, tidak hanya memperlihatkan maraknya penyalahgunaan racun pada masa itu, tetapi juga menunjukkan tingkat kemajuan dunia obat-obatan. Kematian Romeo oleh racun ganas dan “kematian sementara” Julia oleh racun yang prosesnya bekerja sampai pada waktu tertentu merupakan bukti mengenai kemajuan dunia obat-obatan di sana ketika itu.
Jika kasus yang dialami Julia terjadi dalam masyarakat Islam, tentu saja tidak rasional, karena kematian seseorang akan langsung dikuburkan ke dasar bumi, dan tidak ditempatkan dalam sebuah peti mati yang disimpan di pekuburan dengan posisi yang tertentu. Waktu itu, di sana juga sedang terjadi wabah penyakit lepra yang dianggap sebagai penyakit yang sangat berbahaya dan menakutkan. Wabah itu pula yang menyebabkan utusan pendeta Lorenzo gagal menjumpai Romeo dan memutuskan kembali ke Verona. Sejumlah hal itulah yang mestinya diungkapkan dalam praktik sastra bandingan sebagai bagian penting untuk memahami kondisi sosial-budaya masyarakat lain dari bangsa yang lain.
Mengenai kasus bunuh diri Romeo dan Julia menjadi tak penting secara ideologis, karena fokus masalahnya jatuh pada persoalan kesetiaan dan cinta suci. Keduanya –cinta dan kesetiaan—menjadi hal yang jauh penting dalam kehidupan ini. Jadi, kematian Romeo dan Julia adalah simbol ketika cinta suci dihalangi oleh dendam dan kemarahan. Romeo dan Julia adalah korban, betapa berharganya cinta bagi manusia.
Makna kematian Romeo dan Julia tentu saja berbeda dengan kasus kematian yang terjadi pada diri Tokubei dan Ohatsu. Bunuh diri bersama atas nama cinta (shinju) [18] sesungguhnya dilandasi oleh sikap budaya dan sistem kepercayaan yang berlaku dalam masyarakat Jepang pada waktu itu. Shinju ‘bunuh diri bersama’ bagi Tokubei dan Ohatsu adalah pilihan yang tidak hanya untuk mempertahankan martabat dan harga dirinya,[19] tetapi juga representasi kepercayaannya pada dunia yang lain. Shinju merupakan pilihan untuk mewujudkan perkawinan di dunia yang lain. Pandangan atas kehidupan duniawi yang sementara (carte diem), kesetiaan sebagai sikap yang akan mengantarkan seseorang mencapai nirwana, dan kematian sebagai pintu masuk alam keabadian, menunjukkan sikap budaya dan sistem kepercayaan masyarakat Jepang pada masa itu. Di sana ada pengaruh kuat doktrin Buddha Zen.[20]
Bukankah apa yang dilakukan Tokubei dan Ohatsu tidak dapat dibenarkan jika tindakan yang sama dilakukan Uda dan Dara. Kematian Uda dan Dara melalui proses sakit merupakan pilihan yang paling dapat diterima berdasarkan sistem kepercayaan dan norma masyarakat yang melahirkan dan berlaku dalam doktrin Islam dan dunia Melayu. Dengan begitu, citra Uda dan Dara, tetap dalam posisi yang terhormat sebagai simbol cinta suci dua anak manusia. Uda dan Dara adalah korban ketika cinta dipandang dari sudut materi dan status sosial.
Dalam “Uda dan Dara” persoalan yang mendasarinya adalah perbedaan status sosial. Keluarga Uda yang miskin, tak layak bersanding dengan keluarga Dara yang kaya. Demikian juga, keyakinan Ibu Dara yang menafikan keteguhan cinta telah membutakan mata hatinya. Perkawinan, sebagaimana yang dijalaninya, cukup bermodalkan keikhlasan menerima, tanpa perlu harus didasari perasaan cinta. Itulah yang dijalani Ibu Dara yang ternyata juga berjalan baik-baik saja. Ia lupa, bahwa zaman telah berubah. Apa yang dijalaninya dulu, belum tentu cocok diterapkan sekarang.
Pertanyaannya kini: apakah praktik sastra bandingan cukup sampai menemukan persamaan dan perbedaan tekstual? Di sinilah sesungguhnya tujuan sastra bandingan menjadi penting jika persoalan persamaan dan perbedaan tekstual itu digunakan sebagai pintu masuk untuk mengungkapkan problem sosio-kultural. Maka, tujuan sastra bandingan akan bermuara pada pemahaman budaya berbagai bangsa yang justru menjadi ruh yang menjiwai karya sastra. Bukankah karya sastra pada hakikatnya merupakan representasi ruh kebudayaan yang melahirkannya?
Kasus Romeo dan Julia menunjukkan bahwa persaingan pengaruh antar-keluarga bangsawan kerap menciptakan korban para pengikutnya. Di sana juga tampak, bahwa posisi gereja begitu kokoh dan berpengaruh. Bagaimana mungkin Julia begitu percaya pada Pendeta Lorenzo hingga ia mempunyai keberanian untuk minum racun. Begitu juga adanya larangan jual-beli racun secara bebas, tidak hanya memperlihatkan maraknya penyalahgunaan racun pada masa itu, tetapi juga menunjukkan tingkat kemajuan dunia obat-obatan. Kematian Romeo oleh racun ganas dan “kematian sementara” Julia oleh racun yang prosesnya bekerja sampai pada waktu tertentu merupakan bukti mengenai kemajuan dunia obat-obatan di sana ketika itu.
Jika kasus yang dialami Julia terjadi dalam masyarakat Islam, tentu saja tidak rasional, karena kematian seseorang akan langsung dikuburkan ke dasar bumi, dan tidak ditempatkan dalam sebuah peti mati yang disimpan di pekuburan dengan posisi yang tertentu. Waktu itu, di sana juga sedang terjadi wabah penyakit lepra yang dianggap sebagai penyakit yang sangat berbahaya dan menakutkan. Wabah itu pula yang menyebabkan utusan pendeta Lorenzo gagal menjumpai Romeo dan memutuskan kembali ke Verona. Sejumlah hal itulah yang mestinya diungkapkan dalam praktik sastra bandingan sebagai bagian penting untuk memahami kondisi sosial-budaya masyarakat lain dari bangsa yang lain.
Mengenai kasus bunuh diri Romeo dan Julia menjadi tak penting secara ideologis, karena fokus masalahnya jatuh pada persoalan kesetiaan dan cinta suci. Keduanya –cinta dan kesetiaan—menjadi hal yang jauh penting dalam kehidupan ini. Jadi, kematian Romeo dan Julia adalah simbol ketika cinta suci dihalangi oleh dendam dan kemarahan. Romeo dan Julia adalah korban, betapa berharganya cinta bagi manusia.
Makna kematian Romeo dan Julia tentu saja berbeda dengan kasus kematian yang terjadi pada diri Tokubei dan Ohatsu. Bunuh diri bersama atas nama cinta (shinju) [18] sesungguhnya dilandasi oleh sikap budaya dan sistem kepercayaan yang berlaku dalam masyarakat Jepang pada waktu itu. Shinju ‘bunuh diri bersama’ bagi Tokubei dan Ohatsu adalah pilihan yang tidak hanya untuk mempertahankan martabat dan harga dirinya,[19] tetapi juga representasi kepercayaannya pada dunia yang lain. Shinju merupakan pilihan untuk mewujudkan perkawinan di dunia yang lain. Pandangan atas kehidupan duniawi yang sementara (carte diem), kesetiaan sebagai sikap yang akan mengantarkan seseorang mencapai nirwana, dan kematian sebagai pintu masuk alam keabadian, menunjukkan sikap budaya dan sistem kepercayaan masyarakat Jepang pada masa itu. Di sana ada pengaruh kuat doktrin Buddha Zen.[20]
Bukankah apa yang dilakukan Tokubei dan Ohatsu tidak dapat dibenarkan jika tindakan yang sama dilakukan Uda dan Dara. Kematian Uda dan Dara melalui proses sakit merupakan pilihan yang paling dapat diterima berdasarkan sistem kepercayaan dan norma masyarakat yang melahirkan dan berlaku dalam doktrin Islam dan dunia Melayu. Dengan begitu, citra Uda dan Dara, tetap dalam posisi yang terhormat sebagai simbol cinta suci dua anak manusia. Uda dan Dara adalah korban ketika cinta dipandang dari sudut materi dan status sosial.
***
Demikianlah, praktik
sastra bandingan pada akhirnya akan sampai pada muara persamaan tentang sifat
dasar manusia. Di mana pun, kapan pun, dengan latar belakang kultur, ideologi
atau agama apa pun, manusia tidak akan terlepas dari sifat dasarnya sebagai
manusia. Masalah kemanusiaan pada dasarnya berlaku universal, dan itu telah
diperlihatkan dalam tiga karya yang dibincangkan tadi. Dalam hal ini, sastra
bandingan akan menghasilkan persamaan ketika yang diangkat adalah persoalan
kemanusiaan.
Bahwa di sana ada perbedaan, perbedaan itu tidak terlepas dari persoalan kebudayaan dan kepercayaan yang mendekam dan berada di belakangnya. Praktik sastra bandingan mestinya mengungkapkan tidak hanya sampai pada persamaan dan perbedaan tekstual, melainkan juga pada persamaan kemanusiaan universal dan perbedaan sosio-kultural, ideologi, dan sistem kepercayaan.
Agaknya, gagasan ini patut dipertimbangkan.
Bahwa di sana ada perbedaan, perbedaan itu tidak terlepas dari persoalan kebudayaan dan kepercayaan yang mendekam dan berada di belakangnya. Praktik sastra bandingan mestinya mengungkapkan tidak hanya sampai pada persamaan dan perbedaan tekstual, melainkan juga pada persamaan kemanusiaan universal dan perbedaan sosio-kultural, ideologi, dan sistem kepercayaan.
Agaknya, gagasan ini patut dipertimbangkan.
Artikel ini
adalah Kertas Kerja Seminar Kesusasteraan Bandingan
Antarbangsa 2007 diselenggarakan Persatuan Kesusasteraan Bandingan Malaysia,
Kuala Lumpur, 8—9 Juni 2007 di Menara Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur,
Malaysia.
Penulis adalah Staf Pengajar Program Studi Indonesia, anggota Departemen
Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
[1]Webster’s Third New International
of English Language Unabridged, (Massachusetts, 1966), hlm. 462.
[2] Rene Wellek dan
Austin Warren, Teori Kesusastraan, terj. Melani Budianta, (Jakarta,
1989), hlm. 46--49.
[3] C. Hugh Holman, “The Nonfiction-Novel,” American Fiction 1940-1980:
A Comprehensive History and Critical Evaluation, (New York, 1984), hlm. 94.
[4] Henry H. Remak.
“Comparative Literature,” Newton P. Stalltnech and Horst Prenz (Ed.), Contemporarry
Literature: Methode & Perspective, (Carbondale & Edwardsville,
1971), hlm. 1--7.
[5] Robert J. Clement, Comparative
Literature as Academic Discipline, (New York, 1978), hlm. 8.
[6] Bandingkan novel Tenggelamnya
Kapal van der Wijck (1939) dan Di Bawah Lindungan Kabah karya Hamka,
dengan novel Magdalena (1964) dan Al-Yatim karya Al-Manfaluthi.
[7] Bandingkan puisi Chairil Anwar, “Krawang Bekasi” dengan puisi Archibald
Macleish, “The Young Dead Soldier”. Periksa juga H.B. Jassin, Chairil Anwar
Pelopor Angkatan 45, (Djakarta, 1956).
[8] Novel karya Natsume Soseki ini aslinya berjudul Wagahai wa Neko de
Aru. Terbit pertama kali tahun 1905 di majalah Hototogisu (Cuckoo).
Aiko Ito dan Greeme Wilson kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris
tahun 1972.
[9] Mohd. Yusuf Hasan, Tikus Rahmat hampir menyerupai novel Animal
Farm? Berita Minggu, 12 Mei 1974. Lihat juga, Umar Junus, Ikhtisar
dan Analisa Novel-novel Melayu, (Kuala Lumpur, 1971), hlm. 60-68.
[10] Sapardi Djoko Damono menyebut “penerjemahan” karya sastra sebagai
“pengkhianatan kreatif”, sebab menurutnya, penerjemahan karya sastra memerlukan
kreativitas penerjemahnya, sehingga boleh jadi karya terjemahannya itu menjadi
lebih baik daripada karya aslinya, sebagaimana yang dilakukan Chairil Anwar.
Jika begitu, mestinya masalah saduran juga termasuk wilayah sastra bandingan.
[11]Trisno Sumardjo
menerjemahkan Romeo and Juliet (1595) karya William Shakespeare dengan Romeo
dan Julia (Jakarta: Pembangunan, 1955; cetakan kedua diterbitkan Pustaka
Jaya tahun 1976). Nama Julia digunakan tentu saja dimaksudkan agar nama
itu lebih akrab dengan pembaca Indonesia.
[12] William Shakespeare, Romeo dan Julia, terjemahan Trisno
Sumardjo, Jakarta: Pustaka Jaya, 1976, hlm. 151.
[13]Satu contoh lain dapat
dikemukakan di sini. Cerita Hayy Ibn Yaqzhan karya Ibn Thufail
(1106—1185), misalnya, menyebarkan pengaruhnya begitu luas. Ibn Thufail tidak
hanya berhasil mengintegrasikan deskripsi anatomi, astronomi, dan filsafat
Islam sebagai naluri, intuisi, dan akal murni tokoh Hayy, tetapi juga
menjadikan cerita itu secara tematbegitu menarik. Tidak sedikit pemikir yang
menempatkan karya itu dalam kerangka pemikiran filosofis Ibn Thufail. Tetapi,
banyak pula yang mengaguminya sebagai karya sastra yang bernilai tinggi.
Penerjemahan Hayy Ibn Yaqzhan ke dalam banyak bahasa dan pengaruhnya
yang luas merupakan bukti pentingnya karya itu. Dipercayai pula, Daniel Defoe
(1661-1731) dalam karyanya, Robinson Crusoe (1719), Jonathan Swift
(1667--1745) dalam Gullivers Travels, dan Rudyard Kipling (1856--1936)
dalam Jungle Books (1894), langsung atau tidak, terpengaruh karya Ibn
Thufail. Jika mencermati karya Ibn Thufail itu sendiri, beberapa bagiannya
mempunyai persamaan dengan kisah Nabi Musa. Oidipus Sang Raja karya
Sophokles atau cerita rakyat Pasundan, Sangkuriang dan Ciung Wanara,
juga mempunyai beberapa persamaan dengan kisah Nabi Musa.
[14]Dalam kesusastraan
Jepang, Chikamatsu Monzaemon dikenal sebagai Shakespeare-nya Jepang. Ia telah
menghasilkan 130 naskah drama.
[15]Sonezaki Shinju yang digunakan sebagai
contoh kasus tulisan ini berdasarkan terjemahan Darsimah Mandah (Belum
dipublikasikan). Sonezaki Shinju dalam kesusastraan Jepang termasuk
naskah drama bunraku, yaitu naskah yang dipentaskan dalam sebuah gedung
kesenian. Ada dua jenis bunraku, yaitu sewamono dan jidaimono.
Sewamono yaitu drama yang mengisahkan kehidupan sehari-hari masyarakat
perkotaan pada zaman Edo sedangkah drama jidaimono mengisahkan peristiwa
sejarah pada zaman Heian sampai zaman Muromachi, yaitu terjadi serangkaian
peperangan para samurai dengan kelompok bangsawan.
[16]Shinju: Mati bersama dua insan
yang tidak dapat mewujudkan cintanya di dunia. Dengan kematian itu, keduanya
akan melaksanakan perkawinannya di akhirat.
[17]Cerpen “Uda dan Dara”
dimuat dalam antologi cerpen Mekar dan Segar, diselenggarakan Asraf
(Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1959), hlm. 132—153.
[18]Shinju bagi masyarakat Jepang
adalah perbuatan ksatria, terhormat, dan menunjukkan bahwa ia berada di jalan
yang benar. Shinju juga sebagai representasi kebertanggungjawabannya
sebagai manusia. Maka, shinju dipandang sebagai perbuatan yang sangat
terhormat, sebagai bentuk tanggung jawab dalam menjalankan tugas, serta sebagai
usaha menunjukkan kesetiaannya yang paling tinggi. Bagi masyarakat Islam tentu
saja konsep itu tidak dapat diterima. Dengan demikian, penilaian atas satu
kebudayaan atau kepercayaan, tidak dapat lain, harus berdasarkan kebudayaan dan
kepercayaan yang bersangkutan, dan bukan berdasarkan kepercayaan atau kebudayaan
lainnya.
[19]Pembahasan lebih lanjut
tentang shinju, harakiri, jibaku, atau jisatsu,
akan sampai pada konsep giri dan ninjo yang berkaitan dengan
persoalan harga diri, tanggung jawab, kesetiaan, dan pengabdian. Jadi, bunuh
diri punya makna positif sebagai bentuk kebertanggungjawabannya atas
kepercayaan yang diemban, dan tidak sebaliknya. Sikap dan etika budaya itu
telah tertanam sejak zaman Tokugawa (1603—1867) yang jejaknya sampai sekarang
dapat dijumpai pada sikap para pejabat di Jepang yang mengundurkan diri sebagai
bentuk tanggung jawab menjalankan tugas.
[20]Keyakinan Tokubei dan
Ohatsu bahwa mereka akan melaksanakan perkawinannya di akhirat bersumber dari
ajaran Buddha tentang rinne, yaitu perjalanan transmigrasi dan kelahiran
kembali (reinkarnasi) sebagai hasil dari karya seseorang. Cinta suci kedua
kekasih itu di dunia memang mendapat halangan, tetapi di akhirat mereka akan
memperoleh buah dari kesetiaan berpegang pada cinta suci.
MAMAN S. MAHAYANA, lahir di Cirebon, 18
Agustus 1957. Lulus Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI) tahun 1986.
Sejak itu ia mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program
Pascasarjana Universitas Indonesia. Kini tercatat sebagai kandidat doktor di
Universitas Kebangsaan Malaysia.Selain mengajar, ia banyak melakukan
penelitian. Beberapa hasil penelitiannya yang belum dipublikasikan, antara
lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993),
“Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti,
LPUI, 1994) dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).
PENGHARGAAN:
1. Juara Harapan I Lomba Penelitian Ilmiah Bidang Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, 1990. Judul Penelitian: “Sitti Nurbaya dan Relevansinya dengan Kepribadian Bangsa”
2. Juara Harapan III Lomba Penelitian Ilmiah Bidang Ilmu Budaya Universitas Indonesia 1991. Judul Penelitian: “Antara Dajjal Mana Sikana dan Godlob Danarto”
3. Juara Harapan I Lomba Penelitian Ilmiah Bidang Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 1995. Judul Penelitian: "Kebijaksanaan Jepang dalam Bidang Sosial Budaya: Studi Kasus Harian Asia Raja (1942--1945).
4. Peneliti berprestasi di lingkungan Universitas Indonesia (2003) yang karyanya dimuat dalam jurnal internasional.
5. Peneliti berprestasi di lingkungan Universitas Indonesia (2006) yang karyanya dimuat dalam jurnal internasional.
6. Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Soesilo Bambang Yudhoyono (2005).
7. Penulis Makalah Terproduktif di lingkungan FIB-UI (2005)
8. Penulis Makalah Terproduktif di lingkungan FIB-UI (2006)
9. Anugerah Serantau Pilihan Sagang dari Yayasan Sagang di Pekanbaru, Riau sebagai sastrawan serantau atas kontribusinya yang penting bagi perkembangan dan kemajuan dunia Melayu, khususnya kebudayaan Melayu di kawasan Riau, 20 Desember 2006.
10. Anugerah Sastera Majelis Sastera Asia Tenggara (MASTERA) ke-5 untuk kategori Sastera Bukan Kreatif (Non-fiksi) atas buku Sembilan Jawaban Sastra Indonesia (Jakarta: Bening Publishing, 2005, ix + 502 halaman, Kuala Lumpur, 27 November 2007.
11. Penghargaan Penulis Buku Teks Tahun 2007 untuk buku Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia (Jakarta: Grafindo, 2007), ix + 436 halaman, dalam rangka Dies Natalis ke-58 Universitas Indonesia, Depok, 2 Februari 2008.
12. Penghargaan Penulis Buku Ajar Tahun 2008 untuk buku Bermain dengan Cerpen (Jakarta: Gramedia, 2006), xiii + 385 halaman.
PENGHARGAAN:
1. Juara Harapan I Lomba Penelitian Ilmiah Bidang Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, 1990. Judul Penelitian: “Sitti Nurbaya dan Relevansinya dengan Kepribadian Bangsa”
2. Juara Harapan III Lomba Penelitian Ilmiah Bidang Ilmu Budaya Universitas Indonesia 1991. Judul Penelitian: “Antara Dajjal Mana Sikana dan Godlob Danarto”
3. Juara Harapan I Lomba Penelitian Ilmiah Bidang Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 1995. Judul Penelitian: "Kebijaksanaan Jepang dalam Bidang Sosial Budaya: Studi Kasus Harian Asia Raja (1942--1945).
4. Peneliti berprestasi di lingkungan Universitas Indonesia (2003) yang karyanya dimuat dalam jurnal internasional.
5. Peneliti berprestasi di lingkungan Universitas Indonesia (2006) yang karyanya dimuat dalam jurnal internasional.
6. Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Soesilo Bambang Yudhoyono (2005).
7. Penulis Makalah Terproduktif di lingkungan FIB-UI (2005)
8. Penulis Makalah Terproduktif di lingkungan FIB-UI (2006)
9. Anugerah Serantau Pilihan Sagang dari Yayasan Sagang di Pekanbaru, Riau sebagai sastrawan serantau atas kontribusinya yang penting bagi perkembangan dan kemajuan dunia Melayu, khususnya kebudayaan Melayu di kawasan Riau, 20 Desember 2006.
10. Anugerah Sastera Majelis Sastera Asia Tenggara (MASTERA) ke-5 untuk kategori Sastera Bukan Kreatif (Non-fiksi) atas buku Sembilan Jawaban Sastra Indonesia (Jakarta: Bening Publishing, 2005, ix + 502 halaman, Kuala Lumpur, 27 November 2007.
11. Penghargaan Penulis Buku Teks Tahun 2007 untuk buku Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia (Jakarta: Grafindo, 2007), ix + 436 halaman, dalam rangka Dies Natalis ke-58 Universitas Indonesia, Depok, 2 Februari 2008.
12. Penghargaan Penulis Buku Ajar Tahun 2008 untuk buku Bermain dengan Cerpen (Jakarta: Gramedia, 2006), xiii + 385 halaman.
PUBLIKASI BUKU:
1. Ringkasan dan
Ulasan Novel Indonesia Modern (Jakarta: Grasindo, 1992), xii + 308 halaman,
Cetakan II, 2007. 2. Kesusastraan Malaysia Modern (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), xiy +
175 halaman
3. Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia (Jakarta: Grasindo, 1997), xviii + 346 halaman
4. Akar Melayu: Sistem Sastra & Konflik Ideologi di Indonesia & Malaysia, (Magelang: Indonesiatera, April 2001), xiii + 301 halaman
5. Ragam Budaya Betawi (Jilid 1 untuk Kelas 4 Sekolah Dasar), Tim penyusun bersama Ridwan Saidi, Yahya Andi Saputra, Rizal, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Pemda DKI, 2002), 100 halaman.
6. Ragam Budaya Betawi (Jilid 2 untuk Kelas 5 Sekolah Dasar), Tim penyusun bersama Ridwan Saidi, Yahya Andi Saputra, Rizal, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Pemda DKI, 2002), 100 halaman.
7. Ragam Budaya Betawi (Jilid 3 untuk Kelas 6 Sekolah Dasar), Tim penyusun bersama Ridwan Saidi, Yahya Andi Saputra, Rizal, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Pemda DKI, 2002), 103 halalam.
8. Ragam Budaya Betawi (Jilid 1 untuk Kelas 1 Sekolah Menengah Pertama), Tim penyusun bersama Ridwan Saidi, Yahya Andi Saputra, Rizal, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Pemda DKI, 2002), 104 halaman.
9. Ragam Budaya Betawi (Jilid 2 untuk Kelas 2 Sekolah Menengah Pertama), Tim penyusun bersama Ridwan Saidi, Yahya Andi Saputra, Rizal, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Pemda DKI, 2002), 104 halaman.
10. Ragam Budaya Betawi (Jilid 3 untuk Kelas 3 Sekolah Menengah Pertama), Tim penyusun bersama Ridwan Saidi, Yahya Andi Saputra, Rizal, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Pemda DKI, 2002), 104 halaman.
11. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia (Jakarta: Bening Publishing, 2005), ix + 502 halaman.
12. Bermain dengan Cerpen (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), xiii + 385 halaman.
13. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia (Jakarta: Grafindo, 2007), ix + 436 halaman. 14. Bahasa Indonesia Kreatif, Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2008. 15. Pantun Betawi: Refleksi Dinamika Sosial Budaya Masyarakat dalam Pantun Melayu—Betawi (Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2008).
3. Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia (Jakarta: Grasindo, 1997), xviii + 346 halaman
4. Akar Melayu: Sistem Sastra & Konflik Ideologi di Indonesia & Malaysia, (Magelang: Indonesiatera, April 2001), xiii + 301 halaman
5. Ragam Budaya Betawi (Jilid 1 untuk Kelas 4 Sekolah Dasar), Tim penyusun bersama Ridwan Saidi, Yahya Andi Saputra, Rizal, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Pemda DKI, 2002), 100 halaman.
6. Ragam Budaya Betawi (Jilid 2 untuk Kelas 5 Sekolah Dasar), Tim penyusun bersama Ridwan Saidi, Yahya Andi Saputra, Rizal, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Pemda DKI, 2002), 100 halaman.
7. Ragam Budaya Betawi (Jilid 3 untuk Kelas 6 Sekolah Dasar), Tim penyusun bersama Ridwan Saidi, Yahya Andi Saputra, Rizal, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Pemda DKI, 2002), 103 halalam.
8. Ragam Budaya Betawi (Jilid 1 untuk Kelas 1 Sekolah Menengah Pertama), Tim penyusun bersama Ridwan Saidi, Yahya Andi Saputra, Rizal, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Pemda DKI, 2002), 104 halaman.
9. Ragam Budaya Betawi (Jilid 2 untuk Kelas 2 Sekolah Menengah Pertama), Tim penyusun bersama Ridwan Saidi, Yahya Andi Saputra, Rizal, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Pemda DKI, 2002), 104 halaman.
10. Ragam Budaya Betawi (Jilid 3 untuk Kelas 3 Sekolah Menengah Pertama), Tim penyusun bersama Ridwan Saidi, Yahya Andi Saputra, Rizal, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Pemda DKI, 2002), 104 halaman.
11. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia (Jakarta: Bening Publishing, 2005), ix + 502 halaman.
12. Bermain dengan Cerpen (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), xiii + 385 halaman.
13. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia (Jakarta: Grafindo, 2007), ix + 436 halaman. 14. Bahasa Indonesia Kreatif, Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2008. 15. Pantun Betawi: Refleksi Dinamika Sosial Budaya Masyarakat dalam Pantun Melayu—Betawi (Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2008).
No comments:
Post a Comment