Putu Wijaya |
Putu Wijaya adalah bungsu dari lima bersaudara seayah maupun dari
tiga bersaudara seibu. Ia tinggal di kompleks perumahan besar, yang
dihuni sekitar 200 orang, yang semua anggota keluarganya dekat dan jauh,
dan punya kebiasaan membaca. Ayahnya, I Gusti Ngurah Raka, seorang
pensiunan punggawa yang keras dalam mendidik anak dan ibunya bernama
Mekel Ermawati. Semula, ayahnya mengharapkan Putu jadi dokter. Namun, Putu lemah dalam ilmu pasti. Ia akrab dengan sejarah, bahasa, dan ilmu bumi.
Putu menulis sejak SMP. Tulisan pertamanya sebuah cerita pendek
berjudul "Etsa" dimuat di harian Suluh Indonesia, Bali. Pertama kali
main drama ketika di SMA, memainkan drama sendiri dan menyutradarai
dengan kelompok yang didirikannya sendiri di Yogyakarta. Ikut Bengkel
Teater 1967-1969. Kemudian bergabung dengan Teater Kecil di Jakarta.
Sempat main satu kali dalam pementasan Teater Populer. Selanjutnya dengan Teater Mandiri yang didirikan pada tahun 1971, dengan konsep "Bertolak dari Yang Ada. [2]
Putu Wijaya sudah menulis kurang lebih 30 novel, 40 naskah drama, sekitar seribu cerpen,
ratusan esei, artikel lepas, dan kritik drama. Ia juga telah menulis
skenario film dan sinetron. Sebagai seorang dramawan, ia memimpin Teater
Mandiri sejak 1971,
dan telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar negeri,
beberapa diantaranya yaitu mementaskan naskah Gerr (Geez), dan Aum
(Roar) di Madison, Connecticut dan di LaMaMa, New York City, dan pada tahun 1991 membawa Teater Mandiri dengan pertunjukkan Yel keliling Amerika. [3]. Puluhan penghargaan ia raih atas karya sastra dan skenario sinetron.
Cerita pendek karangannya kerap mengisi kolom pada Harian Kompas dan Sinar Harapan. Novel-novel karyanya sering muncul di majalah Kartini, Femina, dan Horison. Sebagai penulis skenario, ia telah dua kali meraih piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI), untuk Perawan Desa (1980), dan Kembang Kertas (1985). Sebagai seorang penulis fiksi sudah banyak buku yang dihasilkannya. Di antaranya, yang banyak diperbincangkan adalah Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Keok, Tiba-Tiba Malam, Sobat, Nyali. Sejumlah karyanya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, Inggris, Rusia, Perancis, Jepang, Arab dan Thaii
Bersiap Kecewa Bersedih Tanpa Kata-kata
Cerpen Putu Wijaya (Kompas, 17 Juli 2011)
(Buat GM)
AKU menunggu setengah jam sampai toko
bunga itu buka. Tapi satu jam kemudian aku belum berhasil memilih. Tak
ada yang mantap. Penjaga toko itu sampai bosan menyapa dan memujikan
dagangannya.
Ketika hampir aku putuskan untuk mencari ke tempat lain, suara seorang perempuan menyapa.
“Mencari bunga untuk apa Pak?”
Aku menoleh dan menemukan seorang gadis cantik usianya di bawah 25 tahun. Atau mungkin kurang dari itu.
“Bunga untuk ulang tahun.”
“Yang harganya sekitar berapa Pak?”
“Harga tak jadi soal.”
“Bagaimana kalau ini?”
Ia memberi isyarat supaya aku mengikuti.
“Itu?”
Ia menunjuk ke sebuah rangkain bunga tulip dan mawar
berwarna pastel. Bunga yang sudah beberapa kali aku lewati dan sama
sekali tak menarik perhatianku.
“Itu saya sendiri yang merangkainya.”
Mendadak bunga yang semula tak aku lihat sebelah mata itu berubah. Tolol kalau aku tidak menyambarnya. Langsung aku mengangguk.
“Ya, ini yang aku cari.’
Dia mengangguk senang.
“Mau diantar atau dibawa sendiri?”
“Bawa sendiri saja. Tapi berapa duit?”
Ia kelihatan bimbang.
“Berapa duit.”
“Maaf sebenarnya ini tak dijual. Tapi kalau Bapak mau nanti saya bikinkan lagi.”
“Tidak, aku mau ini.”
“Bagaimana kalau itu?”
Ia menunjuk ke bunga lain.
“Tidak. Ini!”
“Tapi itu tak dijual.”
“Kenapa?”
“Karena dibuat bukan untuk dijual.”
Aku ketawa.
“Sudah, katakan saja berapa duit? Satu juta?” kataku bercanda.
“Dua.”
“Dua apa?”
“Dua juta.”
Aku melongo. Mana mungkin ada bunga berharga dua juta. Dan bunga itu jadi semakin indah. Aku mulai penasaran.
“Jadi, benar-benar tidak dijual?”
“Tidak.”
Aku padangi dia. Dan dia tersenyum seperti menang. Lalu menunjuk lagi bunga yang lain.
“Bagaimana kalau itu?”
Aku sama sekali tak menoleh. Aku keluarkan dompetku,
lalu memeriksa isinya. Kukeluarkan semua. Hanya 900 ratus ribu. Jauh
dari harga. Tapi aku taruh di atas meja berikut uang receh logam.
Dia tercengang.
“Bapak mau beli?”
“Ya. Tapi aku hanya punya 900 ribu. Itu juga berarti aku
harus jalan kaki pulang. Aku tidak mengerti bunga. Tapi aku menghargai
perasaanmu yang merangkainya. Aku merasakan kelembutannya, tapi juga
ketegasan dan kegairahan dalam karyamu itu. Aku mau beli bunga kamu yang
tak dijual ini.”
Dia berpikir. Setelah itu menyerah.
“Ya, sudah, Bapak ambil saja. Bapak perlu duit berapa untuk pulang?”
Aku terpesona tak percaya.
“Bapak perlu berapa duit untuk ongkos pulang?”
“Duapuluh ribu cukup.”
“Rumah Bapak di mana?”
“Cirendeu.”
“Cirendeu kan jauh?”
“Memang, tapi dilewati angkot.”
“Bapak mau naik angkot bawa bunga yang aku rangkai?”
“Habis, naik apa lagi?”
“Tapi angkot?”
“Apa salahnya. Bunga yang sebagus itu tidak akan berubah meskipun naik gerobak.”
“Bukan begitu.”
“O, kamu tersinggung bunga kamu dibawa angkot? Kalau begitu aku jalan kaki saja.”
“Bapak mau jalan kaki bawa bunga?”
“Ya, hitung-hitung olahraga.”
Dia menatap tajam.
“Bapak bisa ditabrak motor. Bapak ambil saja uang Bapak 150 untuk ongkos taksi.”
Aku tercengang.
“Kurang?”
“Tidak. Itu bukan hanya cukup untuk naik Blue Bird, tapi juga cukup untuk makan double BB di BK PIM.”
Dia tersenyum. Cantik sekali.
“Silakan. Bapak perlu kartu ucapan selamat di bunga?”
“Tidak.”
Dia berpikir.
“Jadi, bukan untuk diberikan kepada seseorang? Bunga ini saya rangkai untuk diberikan pada seseorang.”
“Memang. Untuk diberikan pada seseorang.”
“Yang dicintai mestinya.”
“Ya. Jelas!”
“Sebaiknya, Bapak tambahkan ucapannya. Bunga ini saya
rangkai untuk diantar dengan ucapan. Diambil dari puisi siapa begitu
yang terkenal. Misalnya Kahlil Gibran.”
Aku terpesona lalu mengangguk.
“Setuju. Tapi tolong dicarikan puisinya dan sekaligus dituliskan.”
Ia cepat ke belakang mejanya mengambil kartu.
“Sebaiknya Bapak saja yang menulis.”
“Tidak. Kamu.”
Ia tersenyum lagi mungkin merasa lucu. Lalu menyodorkan sebuah buku kumpulan sajak. Aku menolak.
“Kamu saja yang memilih.”
“Tapi, saya tidak tahu yang mana untuk siapa dulu.”
“Pokoknya yang bagus. Yang positip.”
“Cinta, persahabatan, atau sayang?”
“Semuanya.”
Ia tertawa. Lalu menulis. Tampaknya ia sudah hapal di
luar kepala isi buku itu. Ketika ia menunjukkan tulisannya, aku
terhenyak. Itu bukan sajak Gibran, tapi kalimat yang ditarik dari sajak Di Beranda Itu Angin Tak Berembus Lagi karya Goenawan Mohamad:
“Bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata.”
Aku terharu. Pantas Nelson Mandela mengaku mendapat inspirasi untuk bertahan selama 26 tahun di penjara Robben karena puisi.
“Bagus?”
Aku tiba-tiba tak sanggup menahan haru. Air mataku menetes dengan sangat memalukan. Cepat-cepat kuhapus.
“Saya juga sering menangis membacanya, Pak.”
“Ya?”
“Ya. Tapi sebaiknya Bapak tandatangani sekarang, nanti lupa.”
Aku menggeleng. Aku kembalikan kartu itu kepadanya.
“Kamu saja yang tanda tangan.”
“Kenapa saya?”
“Kan kamu yang tadi menulis.”
“Tapi itu untuk Bapak.”
“Ya memang.”
Ia bingung.
“Kamu tidak mau menandatangani apa yang sudah kamu tulis?”
“Tapi, saya menulis itu untuk Bapak.”
“Makanya!”
Ia kembali bingung.
“Kamu tak mau mengucapkan selamat ulang tahun buat aku?”
Dia bengong.
“Aku memang tak pantas diberi ucapan selamat.”
“Jadi, bunga ini untuk Bapak?”
“Ya.”
“Bapak membelinya untuk Bapak sendiri?”
“Ya. Apa salahnya?”
“Bapak yang ulang tahun?”
“Ya.”
Dia menatapku tak percaya.
“Kenapa?”
“Mestinya mereka yang mengirimkan bunga untuk Bapak.”
“Mereka siapa?”
“Ya, keluarga Bapak. Teman-teman Bapak. Anak Bapak, istri Bapak, atau pacar Bapak…”
“Mereka terlalu sibuk.”
“Mengucapkan selamat tidak pernah mengganggu kesibukan.”
“Tapi itu kenyataannya. Jadi aku beli bunga untuk diriku
sendiri dan ucapkan selamat untuk diriku sendiri karena kau juga tidak
mau!”
Aku ambil uangku dan letakkan lebih dekat ke jangkauannya. Lalu aku ambil bunga itu.
“Terima kasih. Baru sekali ini aku ketemu bunga yang harganya 900 ribu.”
Aku tersenyum untuk meyakinkan dia bahwa aku tak marah.
Percakapan kami tadi terlalu indah. Bunga itu hanya bonusnya. Aku sudah
mendapat hadiah ulang tahun yang lain dari yang lain.
Tapi sebelum aku keluar pintu toko, dia menyusul.
“Ini uang Bapak,” katanya memasukkan uang ke kantung bajuku sambil meraih bunga dari tanganku, ”Bapak simpan saja.”
“Kenapa? Kan sudah aku beli?”
Aku raih bunga itu lagi, tapi dia mengelak.
“Tidak perlu dibeli. Ini hadiah dariku untuk Bapak. Dan aku mau ngantar Bapak pulang. Tunjukkan saja jalannya. Itu mobilku.”
Dia menunjuk ke sebuah Ferrari merah yang seperti nyengir di depan toko.
“Aku pemilik toko ini.”
Aku terkejut. Sejak itulah hidupku berubah. (*)
.
.
Jakarta, 30 Juni 2011
Keadilan
Cerpen Putu Wijaya (Jawa Pos, 7 Oktober 2012)
ADA suatu masa, ada saat banyak pedagang es pudeng dari Jawa
berkeliaran di Bali. Mereka memakai kostum yang menarik dengan topi-topi
kerucut, gendongan es puter mereka desainnya cantik. Gelas-gelas kaca
atau plastik ala koktail bergantungan dengan pudeng berwarna-warni.
Kalau mereka lewat anak-anak selalu memburunya. Kadang-kadang tidak
untuk membeli, tetapi untuk mengerumuninya. Pak Amat termasuk salah satu
di antara anak-anak itu. Tanpa merasa malu, ia ikut berebutan untuk
membeli es pudeng puter dan merasakan suasana cerianya. Bu Amat sampai
malu melihat kelakuan suaminya seperti itu.
Pada suatu hari yang terik, sementara anak-anak di alun-alun
menaikkan layangannya, tukang es pudeng itu lewat. Pak Sersan yang
rumahnya di sudut alun-alun berteriak memanggil, anaknya merengek-rengek
minta es pudeng. Waktu tukang es pudeng itu menuju ke sana, hampir
semua anak-anak yang sedang main layangan menolehkan kepalanya. Yang
punya duit langsung lari sambil menggulung tali layangannya. Tak
terkecuali Pak Amat. Waktu itu ia sedang memper hatikan seorang juragan
ayam sedang memandikan ayam-ayamnya. Amat meraba kantongnya, lalu
merasakan ada uang di dalamnya. Ia langsung ikut berlari ke rumah Pak
Sersan.
“Jangan ribut!” teriak Pak Sersan membentak anak-anak yang berdatangan itu, “Ada orang sakit di dalam!”
“Sabar…sabar…,” kata tukang es pudeng, “Satu per satu semuanya nanti dapat.”
“Aku dulu, aku dulu,” kata anak-anak sambil mengacungkan uangnya.
“Aku dulu,” teriak Pak Sersan marah, “pudengnya yang merah.”
Tukang pudeng agak panik, ia mengambil pudeng berwarna oren.
“Merah,” teriak Pak Sersan.
Tukang pudeng itu tambah gugup dan menyerahkan pudeng oren. Pak
Sersan naik pitam, ia menolak koktail berisi pudeng oren hingga jatuh.
Anak-anak ketawa.
“Diam! Merah, kamu tahu nggak merah itu apa. Ini merah. Merah seperti matamu itu.” Anak-anak tertawa lagi.
Tukang es meraih satu gelas koktail lagi, tetapi sekali lagi ia
salah. Ternyata ia meraih pudeng yang warna hijau. Pak Sersan berteriak
sekali lagi, “Merah….” Lalu ia mengambil koktail warna merah. Tukang es
puter nampak ketakutan, ingin cepat-cepat menuangkan es puter ke atas
koktail itu. Pak Sersan langsung menyambarnya dan masuk ke dalam rumah.
Anak-anak kemudian menyerbu tukang es pudeng sambil mengacungkan uang
minta diladeni terlebih dahulu. Pak Amat pun tidak mau ketinggalan. Ia
meraih salah satu koktail dan mendorongkannya ke tukang es puter.
“Aku esnya dobel dong,” kata Pak Amat.
“Aku dulu, aku dulu,” teriak anak-anak menghalang-halangi Pak Amat.
Tukang es puter kewalahan, ia meraih belnya lalu membunyikannya
keras-keras. Tapi, akibatnya jelek sekali. Pintu rumah terkuak lebar.
Pak Sersan muncul sambil mengacungkan pistolnya.
“Diam kalian. Aku sudah bilang ada orang sakit di dalam.”
“Bukan saya, Pak, anak ini…,” kata tukang es pudeng.
“Tapi kamu gara-garanya!” teriak Pak Sersan tidak mau dibantah.
“Bukan saya, Pak!”
Tiba-tiba Pak Sersan meletuskan pistolnya. Semua mendadak terdiam.
Anak-anak ketakutan, tukang es pudeng pucat pasi. Pak Amat mencoba
menetralisir keadaan sebelum menjadi runyam. Lalu ia memberanikan diri
berbicara.
“Pak Sersan, maaf itu salah saya. Anak-anak itu protes karena saya minta didahulukan. Saya minta maaf, saya yang salah….”
Pak Sersan menggeleng dan menodongkan senjatanya ke tukang es itu.
“Tidak! Bangsat ini yang salah. Kalau dia tidak bawa es pudengnya
keluar masuk kampung kita, anak-anak tidak akan punya kebiasaan beli es
sampai sakit-sakit seperti anakku, yang walaupun sudah sakit masih
teriak-teriak minta es, kalau terdengar kelenengannya lewat. Dan, dia
tahu sekali itu. Minggat! Sebelum aku tembak kamu. Aku sudah banyak
bunuh Portugis di Timtim, nambah satu tidak apa! Minggat!”
Pak Sersan lalu menutup pintu dan menguncinya tanpa membayar es yang
dibelinya. Tukang es itu pucat pasi, mukanya tak berdarah. Pak Amat
menunggu beberapa lama, kemudian berbisik: “Baiknya Bapak pergi sebelum
Pak Sersan keluar lagi.”
Tukang es itu terkejut seperti mendadak siuman. Ia memandangi Pak Amat lalu berkata: “Bapak yang beli es kemarin yang deket lapangan?”
“Ya.”
“Mana gelasnya, Bapak belum kembalikan. Itu harganya 50 ribu satu gelas, itu gelas kristal.”
Pak Amat terkejut, bengong. Tukang es mendekat dan menadahkan tangannya.
“Ayo bayar.”
Pak Amat merasa itu tidak lucu lagi. Ia merasa telah menyelamatkan
nyawa orang itu, tapi orang itu malah menuntut. Pak Amat lalu melangkah,
tapi orang itu tiba-tiba mengeluarkan celuritnya dan menyerang. Pak
Amat masih sempat mengelak tapi tangannya terluka.
“Bayar!”
Pak Amat merasa sanggup menghajar orang itu meskipun usianya lebih
tua. Semangat mati dalam pertempuran melawan penjajah tiba-tiba bangkit
lagi. Tapi rasanya itu tidak sepadan dan tidak gaya untuk berhadapan
dengan tuntutan keadilan hanya gara-gara tukang es yang kacau itu. Tanpa
merasa takut sedikit pun, Pak Amat menaruh uang sepuluh ribu di atas
salah satu gelas tukang es itu. Lalu, dengan perasaan hancur lebur, ia
berbalik dan pergi. Siap menghajar kalau tukang es itu mencoba
menyerangnya, tetapi tidak.
Sambil menahan air mata, Pak Amat berjalan pulang. Belum sampai satu
abad merdeka citra anak bangsa terhadap keadilan sudah sangat
berbeda-beda.
“Apa yang sedang terjadi dengan bangsaku ini,” bisik Pak Amat. (*)
Catatan:
Cerpen ini diciptakan Putu Wijaya di tengah perawatan intensif di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kencana, Jakarta. Cerita
dituturkan Putu secara lisan, kemudian diketik salah seorang kerabatnya.
Dia mengalami pendarahan otak yang mengakibatkan tangan dan kaki
kirinya tak bisa digerakkan.
Boikot
Cerpen Putu Wijaya (Suara Merdeka, 6 Maret 2011)
SEORANG warga memelihara hantu di rumahnya. Berita
itu mula-mula menjadi bahan tertawaan. Tetapi ketika beberapa warga
mulai datang untuk menengok hantu itu dan diam-diam minta pertolongan,
masalahnya jadi berbeda.
Ada yang datang untuk minta kesembuhan. Ada yang ingin kaya. Ada yang
minta naik pangkat. Minta jodoh. Anak-anak sekolah juga datang mau
lulus ujian tanpa harus belajar. Ada juga koruptor-koruptor teri yang
minta jangan sampai ulahnya ketahuan, tapi bukan untuk kapok, malahan
mau meneruskan kariernya.
Tengah malam ada wakil rakyat, mau berdialog dengan hantu dan meminta
supaya diberikan petunjuk bagaimana mengurus masyarakat agar jangan
bergolak. Ia membaca berita dan desas-desus bahwa gerakan menumbangkan
Mubarak di Mesir telah mengalir ke seluruh Timur Tengah. Gaddafi yang
angker itu juga sudah dikepret. Ia takut teori domino akan menjalar ke
arahnya.
Pemilik hantu menikmati kedatangan orang-orang itu. Ia mulai buka
warung kecil. Kemudian juga menyediakan kamar bagi yang ingin menginap.
Akhirnya ia mengenakan tiket masuk, bagi yang ingin berjumpa dengan
peliharaannya. Kabar terakhir, ia memasang plakat di depan rumahnya,
bahwa hantunya sudah beranak. Sekarang ia punya sembilan hantu.
Masing-masing hantu punya keahlian sendiri-sendiri dan tarif ketemu juga
sendiri-sendiri. Ketemu juga sendiri-sendiri.
“Ini kebodohan yang harus dibasmi!” kata Ami memanasi Amat supaya bertindak.
“Masak di negeri yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa ini, masih ada
orang yang memelihara hantu. Bapak harus bertindak. Ini penipuan!”
Bu Amat setuju.
“Ya, betul! Sebagai orang yang disegani karena dianggap orang tua di
lingkungan kita ini Bapak jangan biarkan tetangga itu memelihara hantu.
Kan ada Puskesmas, kalau sakit ya berobatnya ke situ. Jangan minta sama
hantu. Lihat, sejak tetangga memelihara hantu, anak-anak tidak mau
belajar lagi, padahal ujian sudah dekat! Mereka percaya hantu itu akan
membantu mereka lulus!”
Amat hanya ketawa.
“Biarin saja. Kalau dilarang, nanti dikira kita iri. Dia kan banjir
uang sejak memelihara hantu. Lihat rumahnya sekarang dibangun. Tiga
lantai lagi!”
Memang betul, hantu itu membawa perbaikan ekonomi. Yang datang, tak
hanya beli tiket, tapi juga membawa oleh-oleh. Kalau pulang meninggalkan
amplop yang tentu saja akhirnya jatuh ke tangan pemilik rumah. Apalagi
yang pernah meninggalkan amplop tebal, mengaku seluruh permintaannya
terkabul.
“Jangan dikira hantu tidak mengerti duit,” kata tamu yang sudah
berkali-kali datang, “kalau duit yang kita masukkan ke amplop itu kotor
apalagi palsu, tahu sendiri akibatnya. Mesti duit baru dari bank. Kalau
pakai dollar, serinya harus jelas!”
Pemilik hantu itu sendiri tidak punya komentar apa-apa. “Tiket ini
gunanya untuk membatasi dan mengatur aliran pengunjung supaya tertib,”
katanya memberikan argumentasi, “kami sama sekali tidak mengomersialkan
hantu. Uang tiket itu kan untuk kebersihan. Adapun amplop-amplop yang
ditinggal pengunjung itu, ya itu urusan pengunjung itu sendiri dengan
hantu. Kami hanya menyiapkan tempat pertemuan. Silakan berdialog
sendiri. Amplopnya karena ditinggal, ya kami tampung saja sebagai tanda
persahabatan. Tidak seberapa kok!”
Dia bohong. Orang segera tahu berapa besar isi amplop-amplop itu,
sejak di depan rumahnya mulai nangkring mobil Kijang Inova. Istrinya
tidak pernah lagi jalan kaki keluar rumah. Ke tetangga pun ia diantar
Inova.
“Supaya cepat. Habis kalau lama ditinggal nanti hantu-hantunya tidak
ada yang ngurus. Sekarang sudah beranak lagi. Jumlahnya sudah 21.”
Sukses membuat tetangga juragan hantu itu, masuk ke dalam koran.
Dengan nada sinis beberapa wartawan serentak mencerca ulah memelihara
hantu itu sebagai tanda kebodohan masyarakat. Mereka mengundang petugas
agar bertindak. Jangan sampai terlambat karena itu jelas-jelas
menenggelamkan masyarakat ke dalam alam mimpi….
Tetapi serangan oleh koran itu malah membuat hantu-hantu yang
dipelihara itu semakin terkenal. Orang-orang dari kota lain mulai
berdatangan. Bahkan dari Bandung dan Jakarta. Juga tamu dari Kalimantan
dan Sulawesi membanjir.
Masyarakat ikut menikmati kedatangan orang-orang itu. Tukang-tukang
ojek, angkot dan warung-warung jadi panen. Beberapa penduduk ambil
kesempatan menyediakan fasilitas parkir dan menginap bagi tamu-tamu.
Tapi para mahasiswa mulai bertindak. Dimotori oleh Ami dan
kawan-kawannya, mereka menyelenggarakan gerakan antihantu. Beramai-ramai
mereka mencoba menghalang-halangi pengunjung dengan memberikan
keterangan bahwa semua itu isapan jempol. Tapi usaha itu gagal, yang
datang tidak peduli.
“Bukan soal percaya-atau tidak pada hantu,” kata mereka, “kami hanya
mencoba mencari jalan alternatif untuk membereskan persoalan-persoalan
kami yang sudah tidak sanggup kami hadapi sendiri. Siapa tahu ini akan
berhasil. Saudara-saudara mahasiswa tidak berhak melarang kami! Jangan
pikir karena kalian mahasiswa, kalian yang paling benar! Kami juga warga
negara!”
Para mahasiswa keki. Mereka tak bisa lagi menahan beberapa anggotanya
menyerbu rumah hantu itu dengan lemparan batu. Tapi itu sama sekali
tidak membuat rumah hantu itu ditutup. Malah tetangga itu menyediakan
beberapa tukang pukul, menjamin kenyamanan para pengunjungnya.
“Ini negara merdeka dan tidak ada larangan untuk memelihara hantu!”
protes pemilik hantu itu pada Amat. “Saya sudah difitnah! Suara-suara
negatif dari mahasiswa dan koran-koran itu semuanya dimotivasi
kebencian, kedengkian karena iri hati. Mereka cemburu. Apa salahnya
kalau hantu-hantu itu mendatangkan rezeki buat kami? Apa bedanya usaha
saya ini dengan usaha jasa yang lain. Coba lihat, ada yang sudah 10 kali
datang ke mari. Itu kan jelas membuktikan, usaha saya ini membantu
masyarakat!”
“Apa mereka pikir enak memelihara hantu? Sekarang kehidupan pribadi
saya sudah terganggu karena setiap detik rumah penuh dengan tamu. Saya
sudah hampir tidak bisa bernapas lagi karena ngurus tamu. Sementara
hantu-hantu itu terus berkembangbiak cepat. Sekarang jumlahnya sudah
100. Saya sekeluarga sudah capek. Saya sudah mau berhenti. Tapi karena
dicaci, dicerca, dipojokkan, saya jadi berbalik. Itu semua bukan kritik,
itu fitnah! Kritik itu berisi pikiran sehat. Tapi mereka hanya
mencaci-maki, menjelek-jelekkan , menghasut masyarakat, menggiring opini
publik untuk membenci saya! Saya akan lawan fitnah itu! Rumah hantu ini
akan saya lestarikan, biar hantunya terus berkembang sampai jutaan!”
Para mahasiswa yang memprotes tetangga yang memelihara hantu itu
semakin garang. Setiap kali ada saja usaha mereka mengganggu yang mereka
sebut “bisnis terkutuk” itu. Kadang-kadang sampai terjadi perkelahian
antara mereka dan para tukang pukul yang berusaha melindungi para
pengunjung yang ingin berdialog dengan hantu.
Penduduk menjadi resah karena kenyamanannya terganggu. Akhirnya
mereka lapor pada Pak RW yang rumahnya bersebelahan tembok dengan
tetangga pemilik hantu. Pak RW langsung bertindak. Rupanya ia juga sudah
lama kesal.
“Memelihara hantu itu perbuatan yang terkutuk. Apalagi mencari
nafkah, memperkaya diri, membeli mobil, membangun rumah loteng sehingga
menutup pemandangan rumah tetangga, dari hasil menjual jasa bertemu
dengan hantu, itu perbuatan kriminal. Kita harus memboikot perilaku
asosial itu. Boikot!”
Pernyataan Pak RW terdengar oleh wartawan . Langsung dikibarkan di
koran lokal. Masyarakat jadi ramai. Mereka ingin tahu apa yang
dimaksudkan dengan boikot. Apakah itu berarti tetangga itu akan
dikucilkan dari lingkungan. Atau diusir? Atau hanya sekadar digertak.
Dilalah seruan boikot itu membuat rumah yang memelihara
hantu itu semakin ramai dikunjungi. Yang semula menganggap itu dagelan,
karena penasaran akhirnya datang. Mereka beli tiket. Membawa oleh-oleh
seperti yang lain. Dan setelah jumpa dengan hantu, meninggalkan amplop.
Ada juga yang datang kembali, seperti ketagihan ketemu hantu.
Para mahasiswa pun meningkatkan kegiatannya. Mereka mendirikan posko
dan gencar memberi informasi kepada para tamu. “Sudah waktunya dunia
mistik, klenik dan semacamnya disikat habis. Manusia Indonesia harus
hidup rasional, realistis dan bekerja kalau mau maju. Jangan meminta
pertolongan hantu.”
Omzet rumah hantu itu melonjak. Tetangga pemilik hantu kebanjiran
duit. Tukang pukulnya bertambah. Mereka sudah diperlengkapi dengan walkie-talkie dan pakai motor dalam menyambut dan mengamankan tamu-tamu yang mau diskusi dengan hantu.
“Sudahlah hentikan protes dan demo,” kata Bu Amat menasihati Ami.
“Lihat hasilnya, malah hantunya semakin laris dan pemiliknya tambah
kaya. Jangan-jangan nanti kalian dituduh kerja sama, menolong
mengiklankan dagangan hantunya!”
Ami terkejut.
“Amit-amit, kami mau memberantas irasionalitas dari negeri ini, mana mungkin kami membantu orang yang memperdagangkan hantu?”
“Ibu mengerti. Tapi protes-protes kalian sudah membuat pengunjungnya
tambah banyak. Nanti kalau ada wartawan dari Jakarta, kalian bisa
dituduh sudah kongkalikong. Perjuangan kalian yang suci akan ternoda,
Ami!”
Ami marah. Bersama kawan-kawannya dia mendesak Pak RW untuk mengambil
tindakan. Pak RW lalu mengumpulkan warga dan sekali lagi menyerukan:
boikot. Tak cukup hanya di lingkungan sendiri, para mahasiswa mengajak
Pak RW menghadap yang berwenang.
Lalu tetangga yang memelihara hantu itu datang lagi ke Pak Amat, curhat.
“Pak Amat,” katanya panik, “maaf beribu maaf, saya tidak paham,
mengapa saya dicaci-maki dan difitnah seperti ini? Boikot itu kan
hukuman keras yang berat sekali. Itu lebih kejam dari pembunuhan. Dan
yang lebih mengherankan saya, kenapa Pak RW yang mengatakannya? Kalau
Ami dan adik-adik mahasiswa itu, saya mengerti, karena itu merupakan
aspirasi kaum muda yang kelebihan energi. Tapi seorang RW yang bertugas
mengayomi warganya, kok sudah mengucapkan sanksi sosial yang sangat keji
seperti itu. Boikot itu kan bukan main-main, Pak. Padahal hasil dari
usaha memelihara hantu kan sudah saya sumbangkan, untuk memelihara
jalan, kebersihan dan juga pendirian sekolah? Kenapa saya dihujat, Pak
Amat?” Amat tak sanggup menjawab. Dia lama terdiam. Akhirnya hanya bisa
menatap. Tetangga itu merasa tetapan itu memberinya angin.
“Betul, Pak Amat, saya punya catatan. Kalau dijumlahkan, sejak
memelihara hantu, saya sudah menyumbang hampir Rp 50 juta kepada Pak RW
untuk dimanfaatkan buat lingkungan kita. Itu semuanya saya dapat dari
mereka yang berkunjung mau ngobrol dengan hantu. Tetapi kenapa saya
dikutuk terus oleh pejabat yang saya hormati seperti Pak RW? Lho, Pak
Amat tidak keberatan kan saya memelihara hantu? Ini kan wiraswasta yang
tidak memberikan dampak polisi. Ya kan, Pak Amat? Setuju Pak Amat?”
Amat manggut-manggut. Sebenarnya tidak berarti membenarkan, hanya
bermaksud menunjukkan ia paham jalan pikiran tetangganya itu. Tapi
tetangga itu seperti dapat angin.
“Orang seperti Pak Amat ini, yang saya hargai objektivitas,
kenetralannya yang tanpa pamrih, punya partisipasi besar pada
perjuangan. Pak Amat saja tidak protes, kok Pak RW yang saya harapkan
akan melindungi saya sebagai salah seorang warganya, kok ngomong boikot.
Lho saya bukan orang yang supersensitif yang tidak bisa menerima
kritik. Sama sekali tidak. Saya orangnya terbuka kok. Pak Amat lihat
sendiri kan, itu bukan kritik, saya sudah jadi korban, itu cercaan,
fitnah, saya dijelek-jelekkan. Kenapa? Karena saya dapat keuntungan?
Tapi saya sudah menyumbang Rp 50 juta kan? Bagaimana pendapat Pak Amat?
Apa saya harus menghentikan memelihara hantu? Ini kan sumber penghidupan
saya sekarang? Sumber pemasukan buat lingklungan juga! Bagaimana Pak
Amat?”
Amat menggeleng-geleng tak tahu harus menjawab bagaimana. Tapi
tetangga yang punya usaha hantu itu menganggap gelengan itu sebagai
dukungan.
“Ya hanya Pak Amat yang bisa saya ajak bicara. Hanya Pak Amat yang
mendukung saya… Perkara tidak suka, boleh saja. Tapi kita kan sudah
merdeka dan hidup di alam demokrasi. Boleh dong saya juga punya pendapat
dan kebebasan berusaha. Kok diboikot? Tindakan saya bener kan Pak
Amat.”
Amat mengangguk, tapi bukan membenarkan. Dia sudah mulai tahu
bagaimana harus menanggapi. Dia menatap tetangga yang memelihara hantu
itu dengan pandangan bahwa dia sudah mendengar semua keluhannya, tapi
bukan berarti dia setuju. Mereka berpandang-pandangan. Ketika Amat mau
membuka mulut, tiba-tiba tetangga itu meraih tangan Amat dan menjabatnya
sangat erat.
“Terimakasih, Pak Amat. Pak Amatlah satu-satunya yang orang yang
sudah memberikan kritik pada saya. Yang lainnya itu hanya fitnah orang
yang iri karena tidak kebagian. Terima kasih!”
Tetangga itu cepat-cepat pergi. Tapi esoknya dia langsung
menghentikan bisnis memelihara hantunya, sehingga lingkungan aman
kembali. (*)
Jakarta, 26 Pebruari 2011
2011
Cerpen Putu Wijaya (Jawa Pos, 16 Januari 2011)
“AKHIR tahun membawa banyak hal yang sama. Misalnya
harapan bahwa tahun mendatang akan lebih baik. Tapi biasanya, setelah
datang, ternyata juga sama. Tak ada perubahan. Kemajuan hanya harapan.
Hanya perasaan-perasaan kita yang berubah. Barangkali memang di situ
peluangnya.”
Aku terkejut. Aku menoleh kanan daan kiri. Siapa yang sudah
mengatakan itu. Ternyata tidak ada orang. Itu pikiran-pikiranku sendiri
setelah merenungi berbagai kejadian yang sudah lewat. Setelah puluhan
tahun bergulir, tapi nasibku tidak bergerak. Aku merasa seperti dipaku
ke atas dinding beton.
Dengan muka kuyu kutatap isi rumah. Dinding yang itu-itu saja. Meja
yang kemarin. Foto-foto semuanya sama. Tak ada yang berubah. Barangkali
hanya cicak dan tokek yang silih berganti karena mati. Lainnya seperti
abadi. Sehingga timbul pertanyaan. Apakah tahun benar-benar berganti
atau hanya berulang kembali.
Wajahku melusuh di meja makan. Istriku jadi khawatir.
“Pusing, Pak?”
Aku mengangguk.
“Mau dipijit?”
“Ini bukan masuk angin tapi pikiran kacau.”
Istriku manggut-manggut.
“Kalau begitu jalan-jalanlah keluar rumah, tenangkan pikiran.”
Aku setuju. Setelah ganti pakaian, aku keluar rumah. Tapi setelah
sampai di jalan, aku bingung, tak tahu mau ke mana. Waktu itu muncul Pak
Manuel yang hendak pergi ke gereja.
“Mau ke gereja, Pak Manuel?”
“Betul, Pak. Bapak sendiri mau ke mana?”
Aku menjawab malu.
“Tidak ke mana-mana, mau makan angin saja, menghilangkan perasaan sumpek.”
“Kalau sumpek jangan makan angin, nanti tambah pusing.”
Aku ketawa.
“Saya cuma tak habis pikir, Pak Manuel, kok tidak ada yang berubah.
Tiap tahun kita ingin ada perbaikan, tapi akhirnya selalu kecewa.
Ternyata tidak ada masa depan. Kita seperti naik mobil yang bannya kejeblos. Tambah digas, roda muter makin kencang tapi tetap di situ-situ juga. Sama sekali tak bergerak. Hidup ini seperti macet. Ya kan, Pak Manuel?”
Manuel manggut-manggut.
“Begini, Pak, kalau Bapak sedang naik mobil yang kejeblos,
sebenarnya Bapak tidak berjalan di tempat, tapi Bapak sedang masuk ke
dalam tanah lebih dalam, sampai dapat pijakan yang cukup kuat untuk
mendorong mobil keluar dari lumpur. Bapak mungkin terlambat, tapi bukan
tidak ada gunanya. Sebab kalau tidak kejeblos lumpur, siapa
tahu, mungkin, mobil Bapak yang ditabrak truk yang nyelonong hambruk
karena keberatan muatannya itu. Bersyukurlah! Bapak sebenarnya sedang
diselamatkan!”
Aku tersenyum, tapi jadi berpikir.
“Pak Manuel!”
Tapi Manuel tidak menunggu. Lelaki yang aktif di gerejanya itu sudah
sampai ke tikungan dan berbelok tanpa menoleh. Aku jadi merinding.
“Apa itu benar-benar Pak Manuel atau hanya pikiranku yang kacau?”
Cepat aku berbalik pulang, batal cari angin. Aku langsung menghampiri istriku yang sedang menata makan malam.
“Sudah makan angin, Pak?”
“Nggak jadi….”
“Kenapa?”
Lantas kuceritakan pertemuanku dengan Pak Manuel.
“Pak Manuel?”
“Ya.”
“Bukannya Pak Manuel sudah kembali ke Flores tahun lalu?”
Aku terperanjat.
“Masak?”
“Ya, sudah kembali ke Flores. Kecuali kalau dia sudah datang lagi!”
Aku jadi penasaran. Cepat aku keluar rumah lagi, ngecek ke rumah Pak Manuel. Di depan rumahnya aku disapa.
“Bapak ke gereja, Pak.”
Aku menoleh. Itu Yozef anak bungsu Manuel.
“He, kamu sudah kembali? Katanya sudah pindah ke Flores.”
“Sudah kembali lagi, Pak.”
“Kapan?”
“Baru tadi.”
Aku bengong. Kutatap anak itu.
“Kamu sudah besar sekarang.”
“Ya, Pak. Saya mau cepat-cepat mau masuk tentara.”
“Ya? Kenapa?”
“Mau memperbaiki dunia!”
Aku bengong. Kembali kuplototi anak itu tajam. Sekarang aku yakin
bahwa semua itu tidak nyata. Itu bagian dari pikiranku yang kacau.
“Setuju kan, Pak?!”
Aku menggeleng.
“Tidak!”
“Kenapa?”
“Karena bukan senjata yang bisa mengubah dunia ini.”
“Terus apa?”
“Perasaan. Perasaan kita. Semua boleh tidak berubah. Semua boleh
sama. Tapi kalau perasaan kita berubah, semua yang sama itu dengan
sendirinya akan ikut berubah. Hanya perasaan kita yang mampu mengubah
semuanya ini. Perasaan kita. Dan hanya kita sendiri. Bukan senjata!”
Yozef tak menjawab, aku cepat berbalik pulang. Sampai di rumah, baru
aku merasa perasaanku menjadi terang. Tak perlu ada lampu. Kalau
perasaan terang, segalanya akan terang.
Aku masuk ke dalam rumah dengan pikiran yang sama sekali berubah.
Sampai di dalam rumah, aku menoleh ke sekeliling. Dinding, meja,
potret-potret di atas tembok tidak ada yang sama. Semuanya terasa baru.
Lalu aku cium bau gorengan tempe yang masih mengebulkan asap di atas
meja. Itu bukan tempe yang bertahun-tahun lalu aku kunyah, itu tempe
baru. Dan ketika kemudian aku mengunyahnya satu, kurasakan kenikmatan
yang belum pernah kukecap sebelumnya.
“Tak ada yang benar-benar sama. Semuanya berubah, kalau pikiran kita sehat. Tempe ini bukan tempe yang kemaren,
tapi tempe baru yang belum pernah aku rasakan. Karena perasaanku
mengubahnya. Nikmat sekali!” kataku sambil mencomot lagi dua potong
tempe sekaligus.
Istriku memandang takjub.
“Dari tadi pagi Bapak diam-diam saja kalau diajak ngomong. Tiba-tiba saja sekarang ngoceh ngomong yang aneh-aneh. Salah! Itu bukan tempe. Itu kan krupuk udang, tahu!”
Aku terkejut. Kutatap baik-baik apa yang sedang aku makan. Memang itu
bukan tempe, tapi kerupuk udang. Tapi itu tidak mengurangi
kenikmatannya. Ya. Ternyata apa yang kupikirkan seharian di akhir tahun
ini, terjawab. Yang terpenting dari segalanya adalah perasaan.
Lalu aku mengangguk.
“Betul! Tapi selama kita masih punya perasaan, hidup ini akan berubah!”
Istriku tak menjawab. Ia menganggap tidak mendengar apa-apa.
Malam hari setelah semua orang tidur, kulihat seakan tahun 2010
sedang menanggalkan pakaian kerjanya untuk diserahkan pada 2011. Aku
cepat bersimpuh dalam pikiranku lalu berdoa.
“Ya, Tuhan, apa yang sedang terjadi dengan negeri ini? Apa yang harus
kami lakukan untuk membuat negeri, bangsa dan rakyat yang usianya jalan
66 tahun ini dewasa. Percaya pada diri, mampu mempergunakan seluruh
kekayaannya untuk kebahagiaan seluruh warga, serta dihormati oleh bangsa
dan negara-negara lain, bukan karena takut, tapi karena cinta?”
“Aku tidak minta apa-apa kepada-Mu ya Tuhan, aku hanya mencari titik
pandang, tempat aku mendengar kembali suaraku ini. Karena perhatian-Mu
sudah lebih dari cukup. Adalah kami yang menjadi pangkal, sebab dan
seluruh nasib kami ini. Adalah kami yang harus tidak hanya berpikir,
merasa dan berharap tok, tetapi harus segera berbuat untuk memilkul dan mengubah segala yang kurang pantas ini, sampai terjadi apa yang kami mimpikan.”
“Tetapi apa sebenarnya yang kami mimpikan? Apakah mimpiku, harapanku
sama dengan yang ditumbuhkan 220 juta batok kepala orang lain di
sekitarku?”
Esoknya aku merencanakan akan bertanya pada siapa saja yang kutemui.
Apa sebenarnya yang menjadi impian mereka. Jangan-jangan mimpi itu tidak
sama, tapi berbeda, bahkan bertentangan. Dan itulah yang menjadi
pangkal semua keruwetan ini.
“Kalau Bapak tanya Ibu,” jawab istriku yang pertama kali kujadikan
sasaran, “aku hanya ingin supaya kita semua selamat. Kurang lebih itu
biasa, namanya juga hidup. Asal kita jangan hanya saling menyalahkan dan
merasa lebih tahu padahal yang paling tahu itu adalah orang lain yang
selalu kita tentang karena partainya lain.”
Aku tertawa. Aku heran sejak kapan istriku itu jadi suka politik.
Kemudian kucecer anakku. Sebagaimana biasa anak muda, dia menjawab acuh,
gagah, dan pongah.
“Sebenarnya semua ini adalah proses panjang dalam menyadarkan kita
bahwa kita tidak lagi dijajah. Kita sudah merdeka. Tetapi di dalam
kemerdekaan, kita belum siap untuk tidak mendapatkan apa yang kita
inginkan. Bahkan kita kaget, karena apa yang kita miliki sebelum
merdeka, ternyata kini sudah tidak ada. Misalnya tidak ada yang
benar-benar mengurus kita. Semua orang berlomba mengurus dirinya
sendiri. Kita sedang dalam belajar merdeka. Seperti kata professor Ben
Anderson, bayak orang menganggap merdeka itu adalah saat untuk membagi
kue warisan. Akibatnya yang terjadi sekarang setelah lepas dari
penjajahan adalah bentrokan antara kita dengan kita, karena semua ingin
mendapat kue warisan yang lebih banyak. Harusnya bukan nafsu membagi
warisan, tapi nafsu memberi yang dihidupkan. Seperti kata Kennedy,
pertanyaannya bukan apa yang bisa diberikan negara kepadamu, tetapi apa
yang bisa kamu berikan kepada negara!”
Jawaban itu mempesonaku. Aku lebih bersemangat lagi untuk mendengar
pendapat orang lain. Tapi ketika mau melangkah ke tetangga, anakku
mencegah.
“Jangan cuma mendengar pendapat orang. Pendapat Bapak sendiri bagaimana?”
Aku senyum.
“Pendapatku tidak penting.”
“Penting! Jangan nanti baru berendapat setelah mendengar pendapat orang lain. Itu namanya nyontek. Atau Bapak tidak punya pendapat? Mau seperti bunglon?”
“Lho jangan sembarangan. Bapak punya pendapat.”
“Ya apa?!”
Aku jadi mikir.
“Tapi pendapat pribadi Bapak yang sejujur-jujurnya!”
“Lho memang itu tujuannya bapak bertanya-tanya.”
“Jangan cuma bilang ingin ada persatuan, kesadaran kebangsaan,
keadilan, kebenaran, keselarasan, kepemimpinan yang transparan, hukum
yang hidup dan berjalan, peradilan yang berwibawa, demokrasi dan
sebagainya dan sebagainya. Itu sudah klise. Sudah banyak dikatakan
orang. Bahkan juga sudah diulang-ulang oleh para ahli-ahli. Saya mau
tahu apa keinginan Bapak sejujurnya sebagai warga negara. Jangan takut.
Tidak ada yang mendengar dan tidak akan dihukum kalau hanya mengatakan
kejujuran. Tapi katakan atas nama sumpah!”
Aku terkejut.
“Kenapa pakai sumpah?”
“Harus! Sebab ini soal kejujuran. Sumpah! Bapak mau apa?”
Aku bengong.
“Jangan berpikir. Sebab kalau Bapak berpikir, artinya Bapak mau cari selamat saja. Katakan saja sejujurnya. Nggak ada orang lain di sini!”
Kemudian istriku muncul.
“Hanya ada Ibu. Tapi Ibu kan bukan orang lain. Katakan saja terus terang. Bapak inginnya apa? Bagaimana?”
Aku menoleh pada istriku.
“Anakmu ini sudah gila. Masak aku disuruh bersumpah untuk mengatakan aku ingin apa?”
Ternyata istriku mendukung anaknya.
“Lho, Bapak kan sudah nanyain kami, kenapa mengelak kalau ditanyain? Ibu juga mau dengar apa jawaban Bapak.”
Aku terpaksa ketawa.
“Boleh ketawa. Tapi ini sumpah! Harus sejujurnya!”
“Apa, Pak?”
Aku menarik napas panjang.
“Aku ingin kita….”
“Ingat sumpah, Pak!”
Aku tertegun. Lalu bicara dengan hati-hati.
“Aku berharap negeri kita ini….”
“Awas, ini sumpah!”
Aku hampir saja marah, merasa dipermainkan. Aku ini kepala keluarga, kok
didikte oleh anggota keluarga? Tapi tak ada senyum sinis yang biasa
ngintip di sudut bibir anakku. Ia serius. Istriku juga sama. Aku jadi
terdakwa.
Waktu itu muncul perasaan aneh. Seakan untuk pertama kalinya setelah
setengah abad aku memandangi wajah anak dan istriku. Kulihat apa yang
tak pernah kulihat. Entah bagaimana kudapatkan kacamata yang sama sekali
lain. Lalu kutemukan apa yang tak pernah dan tak ingin kulihat. Apa
yang selalu kulewati dan lupakan. Apa yang selalu kuhindari dan aku
tunda.
Tiba-tiba saja aku menemukan uban terserak di kepala istriku. Kerutan
di leher dan di sudut matanya. Wajahnya yang polos tapi tertikam. Di
balik kepolosan itu tertekan berbagai keinginan yang tak terkabul.
Alangkah rentan kulit pipi yang dulu merah itu. Kini ia kusut dan tak
mampu lagi menutupi apa yang menjadi kekecewaan dan hasratnya yang tak
terpenuhi.
Sementara anakku yang belum mandi, karena sedang membersihkan
kamar-kamar, terasa kampungan. Jauh sekali dari wajah-wajah cantik di
layar sinetron Indonesia. Berbeda dengan gadis-gadis generasi baru
Indonesia yang sempurna gizi. Walau tubuhnya berisi dan semampai, tetapi
tidak ada kebebasan dan keceriaan di matanya. Belum menikah, ia seperti
sudah mendapat beban memikul dunia. Itu bukan generasi baru yang bebas,
tetapi anak muda cacat yang digondeli berbagai kesulitan yang
sebenarnya bukan tanggungannya.
Mendadak aku menjadi sedih dan kejeblos. Aku ingin menghapus
semua itu. Membebaskan keluargaku dari ketaklukan pada nasib buruk.
Menyulap rumahku yang berdebu, kumuh, yang bagaikan gudang kotor yang
tak selayaknya bagi seorang warga negara di negara yang sudah merdeka
dan kaya lagi.
Mendadak aku ingin memiliki rumah yang tak hanya tempat pulang, tapi
sebuah istana bagi orang yang menang. Kenapa aku tidak ikut mengenyam
keuntungan jalan raya dengan memacu mobil mewah di atasnya? Aku ingin
tak hanya memandang hotel dan gemerlapan gaya hidup di real estate mewah, tapi juga ikut mengecap dan memilikinya. Aku tak mau hanya mengibarkan bendera tanda merdeka, tetapi ikut berkibar.
Sambil mengeruk isi dada, lalu aku merasa perutku mual. Karena tak berhasil menahannya lagi, lalu begitu saja aku muntah.
“Aku ingin menjadi konglomerat. Orang yang berkuasa dan ditakuti. Aku
ingin menjadi wakil rakyat, semua dapat semua prioritasnya. Jangan
hanya bintang film, artis, dan pelawak-pelawak itu saja yang menikmati
gaji 40 jutaan sebulan. Aku ingin menjadi pejabat, bupati, walikota,
gubernur, menteri, duta besar dan juga presiden. Aku ingin punya bukit,
tambang, dan mega proyek. Aku ingin membahagiakan anak cucuku sampai
tujuh turunan. Aku ingin sukses, unggul, berkuasa, dan lebih dalam
segala hal dari orang lain yang kalah. Aku ingin lebih merdeka, lebih
bebas, lebih nyaman, dan lebih berkuasa dari orang lain. Aku ingin bebas
dari segala kesulitan dan beban batin karena aku sudah merdeka. Aku
ingin, ingin apa saja yang belum kumiliki. Aku ingin segala yang tak
ada….”
Tiba-tiba istriku menghapus air matanya. Tapi tetes yang berjatuhan
di pipinya tidak terbendung. Ia pun mengisak. Anakku memalingkan mukanya
seperti tak tega melihat itu. Lalu ia menjauh.
Sementara aku tak berhasil berhenti. Mulutku terus bicara.
“Aku ingin anak dan istriku tidak pernah lagi menangis dan selalu
bangga kepadaku. Karena aku kepala rumah tangga yang sejati. Aku ingin
menjadi pahlawan dalam hidup meraka yang tidak tergantikan. Dan karena
aku tak mampu mendapatkan semua itu, maka aku ingin, memimpikan semua
itu siang malam. Padahal apa yang kurang? Aku sudah berusaha sekuat
tenagaku. Aku sudah berjuang, tidak pernah berhenti sedetik pun. Tapi
ternyata yang kudapat tidak satu persen pun dari harapanku. Aku hanya
lelaki manula yang penuh dengan harapan, keinginan, impian, yang lebat
setiap detik, sehingga pohon kehidupanku semakin ringkih dan hampir
hambruk, tak sanggup memikul. Aku tak mampu berbuat apa-apa. Aku hanya
seekor cacing….”
“Sudah, Pak!”
“Maafkan aku, Bu.”
Kudekati istriku.
“Harusnya kamu kawin dengan laki-laki lain yang pasti akan memberikan
semua itu, bukan dengan aku. Tapi kalau kamu tidak menikah dengan aku,
aku akan brengsek. Nasibku akan konyol. Kalau tidak ada kamu yang
menemaniku selama ini, mengingatkan akau agar tetap di jalan yang benar
ini saja, barangkali sudah lama aku ada di penjara.”
“Sudahlah, Pak!”
Diam-diam aku ikut menghapus air mata sebelum sempat keluar. Waktu itu anakku menghampiri lagi.
“Bukan hanya Bapak, itu keinginan semua orang sekarang. Saya kira
keinginan semua orang Indonesia. Entah kenapa kita bersama-sama menjadi
orang yang tidak tahu diri. Semua kita. Tidak terkecuali siapa pun.
Hanya ada yang mampu menutupi, ada yang tidak. Ada yang kelihatan gagah
dan bijak, tapi sebenarnya dalam hatinya sama saja. Jadi Bapak tidak
perlu lagi menanyakan kepada siapa pun apa harapan mereka. Kalau mau
berdoa, berdoa saja, mudah-mudahan kita bisa melewati masa yang sulit
ini.”
Aku menggeleng.
“Bapak tidak akan berdoa lagi. Sudah cukup. Yang perlu sekarang berbuat.”
Istriku menoleh dan berhenti menghapus air matanya.
“Ya, betul itu. Berbuat. Tapi tidak usah yang neko-neko
seperti yang Bapak bilang tadi. Kalau mau, kalau masih kuat, ambil saja
sapu bersihkan halaman di belakang. Cukup! Tidak perlu jadi pejabat atau
konglomerat, memangnya gampang. Kalau toh ketiban rezeki nomplok, sebesar itu, belum tentu Bapak kuat, kalau mentalnya tidak siap.”
Sembari membuang seluruh kesedihannya istriku kembali ke dapur. Waktu itu anakku tersenyum lantas mengangguk ke arahku.
“Terima kasih, Pak.”
“Terima kasih?”
“Ya. Terima kasih telah mengembalikan Bapak saya sebagai suami Ibu saya dan Bapak saya.”
“Memangnya selama ini bukan?”
Ami mengangguk.
“Bukan! Sebagaimana umumnya semua orang lain. Kemaren-kemaren Bapak bukan diri Bapak yang sebenarnya.”
“O ya? Lalu kamu sendiri?”
“Saya juga begitu. Semua kita sama!”
Aku berpikir.
“Kalau itu betul, tapi berapa lama kita bisa teatap jadi diri kita?”
Anakku mengangkat pundaknya.
“Ya beberapa detik saja cukup. Karena sebagian besar sejarah kita adalah sejarah orang yang lupa.”
Aku tertegun. Mungkin hanya beberapa detik dalam hidup kita yang
panjang ini, kita benar-benar mampu jadi diri kita. Tapi lumayan. Yang
penting kebenaran itu masih mau datang. Walaupun barangkali tak pernah
bisa kita miliki selamanya, karena hidup bergerak. Karena kita
ditakdirkan harus terus mengejarnya. Terus saja mengejarnya. Dan tidak
perlu mendapatkannya. Karena mengejar saja sudah cukup. Mengejar jauh
lebih indah daripada mendapatkannya.
“Kok senyum-senyum sendiri?” tanya istriku tiba-tiba.
Aku menoleh. (*)
Jakarta, 16 Desember 2010
M A A F
Cerpen Putu Wijaya (Jawa Pos, 19 September 2010)
PADA hari raya Idul Fitri muncul tamu yang tak
dikenal di rumahku. Aku pura-pura saja akrab, lalu menerimanya dengan
ramah tamah. Terjadi percakapan. Mula-mula sangat seret, sebab aku
sangat berhati-hati jangan sampai kedokku terbuka. Di samping itu,
diam-diam aku berusaha keras untuk membongkar seluruh kenangan. Setiap
bongkah aku bolak-balik, mencoba menyibak, siapa kira-kira dia, tetapi
sia-sia.
Seseorang yang mau nagih hutang yang karena satu dan lain sebab aku
lupakan? Orang yang keliru menyangka aku temannya? Penipu atau orang
sakit jiwa?
Setengah jam pertama lewat, tetapi masih tetap gelap. Cangkir teh
tamu itu sudah kosong. Aku dengan berbasa-basi menawarkan apakah boleh
menambah isi cangkirnya. Maksudnya untuk mengingatkan bahwa kalau itu
sebuah kunjungan basa-basi sudah masanya untuk diakhirinya. Tetapi tamu
itu mengangguk, ya, cangkirnya boleh diisi lagi, sekiranya tidak
memberatkan.
Aku berseru memanggil Taksu, yang memang tidak ada di rumah. Tentu
saja Taksu tidak keluar-keluar. Yang muncul adalah istriku yang sudah
hendak jalan ke tetangga. Ia mengerti apa yang dimaksudkan suaminya,
lalu mengangguk sopan, membawa cangkir masuk. Tetapi kemudian keluar
dengan sebuah gelas penuh teh, mungkin supaya tidak perlu bolak-balik
lagi. Aku membuang muka karena kecewa. Apa boleh buat sudah telanjur.
Ternyata istriku juga menyodorkan setoples kacang sebelum kemudian pamit
pergi ke tetangga.
Mau tak mau aku terpaksa memainkan kehadiran kacang itu. Ternyata
dengan kacang kapri percakapan menjadi lebih renyah. Aku mulai mendapat
informasi bahwa tamu itu sudah menjalani perjalanan yang panjang sebelum
menemukan rumahku. Ia menyebut-nyebut kapal laut, kereta api, dan
kemudian pesawat terbang. Aku lalu menduga orang itu datang dari
Jakarta. Tidak ada kereta api yang sepanjang itu di pulau lain.
Lalu aku ingat pada beberapa kenalanku yang tinggal di Jakarta.
Barangkali ini salah satu anggota keluarga Ikra atau Soegianto. Ia
datang pasti karena mendapat rekomendasi dari mereka. Dengan harap-harap
cemas aku menunggu kalau salah satu nama temanku itu melompat dari
mulutnya. Tapi setengah jam lagi berlalu, itu tak terjadi. Tamu itu,
setelah memuji kegurihan dan kerenyahan kacang yang katanya paling enak
dari semua kacang yang pernah dicicipinya, ia malah banyak bertanya
tentang kesehatan jasmaniku.
Apa aku sudah mulai punya keluhan asam urat atau darah tinggi.
Mungkin diabet atau jantung berdebar-debar. Apa aku masih rajin
olahraga orhiba. Belum punya pantangan makanan? Masih berani makan sate
kambing dan duren? Bagaimana kalau kopi? Berapa kali minum kopi sehari?
Dan merokok?
Ketika mendengar aku tidak merokok dengan penuh perhatian ia
menanyakan bagaimana aku bisa menghindar dari rokok yang menjadi alat
pergaulan itu. Apakah aku memang tidak merokok sejak awal, tetapi
nampaknya itu mustahil, karena merokok sudah jadi identitas semua pemuda
yang aktif. Jadi bagaimana caranya aku keluar dari cengkeraman rokok
yang menjadi salah satu pembunuh kejam itu.
Aku mulai meyakini bahwa orang itu pemadat yang berusaha untuk
membebaskan dirinya dari nikotin tetapi selalu gagal. Bukan karena
cengkeraman nikotin itu tak bisa dihindari, tapi karena sebenarnya ia
tak sungguh-sungguh ingin berhenti merokok. Ia nampak menikmati
ceritanya sendiri yang selalu gagal lagi, gagal lagi bercerai dengan
rokok.
Tiba-tiba ia menanyakan apakah aku tidak pernah merasa takut, karena
sudah melakukan dosa? Bukan dosa yang dilakukan dengan sengaja tapi
dosa-dosa yang tak diketahui, semacam kekhilafan atau kekurangtahuan.
Aku terkejut. Terpaksa lebih berhati-hati lagi menjawab. Aku mulai
curiga, sehingga berusaha agar lebih banyak mendengar daripada bicara.
Tapi celakanya orang itu menganggap aku sangat tertarik dan tekun
mendengar. Sambil tak henti-hentinya mengunyah kacang, ia menceritakan
ada beberapa tingkat dosa yang biasa dilakukan oleh manusia tanpa
disadari oleh pelakunya.
Pertama, katanya, dosa bagi yang membiarkan perbuatan berdosa
dilakukan. Seperti melihat ada pencuri. Kalau diam saja tidak berusaha
menghalangi pencuri itu melakukan praktik jahanamnya merugikan orang
lain, orang yang melihat itu berarti setuju dan ikut mencuri. Hukumannya
sama saja.
Yang kedua, dosa yang tidak peduli terhadap orang-orang yang sudah
melakukan dosa. Tidak pernah berusaha untuk memberikan teguran atau
bimbingan agar orang yang berdosa itu sadar pada perbuatannya.
Jangan-jangan pendosa itu melakukan dosanya karena tak tahu itu
perbuatan dosa. Bagi yang tahu tapi membiarkan saja orang itu sesat,
hukumannya sama. Orang itu berarti ikut membantu melakukan perbuatan
dosa.
Dan, yang ketiga, dosa bagi yang tidak mau memaafkan mereka yang
berdosa karena ingin menghukum agar pendosa itu kapok. Seorang yang
berbuat dosa terlalu besar, mungkin sudah tertutup mata hatinya,
sehingga ia tidak melihat perbuatan itu dosa. Jadi bagaimana mungkin dia
akan insaf. Sementara itu, seseorang yang berbuat dosa terlalu besar,
mungkin sadar perbuatannya itu tidak termaafkan. Jadi ia pasti malu
datang untuk minta maaf karena ia sendiri sadar perbuatannya itu sulit
dimaafkan.
Nah, kata tamu misterius itu, bagi yang tahu kondisi orang itu, dan
membiarkannya tetap berada dalam kegelapan dosa, berarti yang
bersangkutan juga berdosa. Hukumannya sama saja. Bahkan bisa lebih
berat, sebab orang yang tak mengetahui dan orang yang tak berdaya itu
tindakannya tidak lagi terkendali, karena ia seperti orang yang tidak
berkemampuan. Sebaliknya, orang yang berdaya yang tidak punya kesulitan
bertindak untuk mencegah dosa itulah yang akan menanggung dosanya.
Sampai di situ, aku sudah tidak bisa lagi menahan kesabaran. Kacang
di toples tinggal separo. Sudah hampir tiga jam aku mendengar tamu yang
tidak punya perasaan dan mungkin sinting itu, menyita waktuku. Padahal
sudah dua kali aku sempat tertidur ketika ia menguraikan teori-teori
tentang dosa, tetapi setiap kali aku terbangun, orang itu masih terus di
situ. Makan kacang dan bicara.
Lalu aku putuskan hendak berdiri. Tapi dia lebih cepat bangkit dan
menahan aku di tempat duduk. Tidak, katanya, sudah cukup kunjungan saya
kali ini. Terima kasih atas penerimaan Pak Amat yang begitu baik,
sekarang saya mau melanjutkan perjalanan lagi, katanya sambil menangkap
tanganku. Aku tak sampai hati mengelakkan tangan, apalagi ketika orang
itu mencium tanganku, lalu bergegas pergi.
Aku tetap duduk di kursi, tak sudi mengantarkan, untuk menunjukkan
rasa kesal. Ketika istriku pulang, ia terkejut melihat suaminya bengong
di kursi seperti ketika ia tinggalkan tiga jam yang lalu.
“Kenapa Pak? Kok dari tadi bengong melulu. Masak makan kacang sampai setengah toples, nanti bibirnya lumpangan lho. Mau minum lagi?”
Aku terkesima. Tiba-tiba aku sadar siapa yang tadi bertamu.
“Ayo, Bu, kita ke rumah Pak Bimantoro untuk mengucapkan selamat hari raya!”
Istriku tercengang.
“Lho, bukannya dia musuh kita yang sudah memfitnah Bapak korupsi uang warga yang mau dipakai untuk membangun sekolah?”
“Betul. Dan sekarang sudah terbukti itu bohong! Dia pasti malu besar.
Dia orang berpendidikan tinggi, pasti dia tidak akan berani minta maaf
karena ia tahu fitnahnya yang kejam itu sukar dimaafkan. Kita ke sana
saja, jangan biarkan dia berdosa. Sekarang, mumpung masih siang.”
Aku cepat mengganti baju dan sandal.
“Ayo, Bu!”
Istriku tak membantah, hanya penasaran.
“Kenapa Bapak jadi berubah pikiran? Bukannya Bapak yang kemarin
mati-matian menolak keras waktu diajak untuk silaturahmi maaf-maafan ke
situ?”
“Ya. Tapi tadi aku kedatangan tamu. Dia bilang tolonglah orang yang
tidak berani mengakui dosanya, supaya berkurang dosanya dan supaya aku
sendiri tidak berdosa karena sudah membiarkan orang terus berdosa. Ayo,
Bu!”
Istriku tambah heran.
“Tamu siapa? Memang tadi ada tamu?”
“Sudah, kok ngomong terus. Ayo cepet! Nanti keburu malam.”
Dalam perjalanan, istriku terus bertanya-tanya. Apa yang sudah
menyebabkan aku berbalik pikiran. Menurut dia, sudah betul apa yang aku
putuskan. Menurut istriku, orang kaya itu adalah teroris yang berbuat
seenak perutnya sendiri saja. Tanpa punya bukti dia dengan seenak
perutnya main tuduh mengatakan aku sudah makan uang warga. Dan itu
menyangkut nilai sampai setengah miliar. Padahal uang itu tidak hilang,
tapi dipinjamkan oleh bendahara pada warga yang memerlukan atas
persetujuan panitia pembangunan sekolah itu sendiri. Dan orang kaya itu
termasuk anggotanya, tapi tidak pernah hadir dalam rapat. Belum apa-apa
ia sudah mengundang wartawan dan berkoar-koar. Maksudnya jelas, ingin
menarik simpati masyarakat karena ia ingin terpilih menjadi caleg.
Akibatnya masyarakat marah. Hampir saja ia didemo. Tapi atas
kesalahannya itu ia sama sekali tidak merasa bersalah. Malah menuduh
warga yang berusaha memfitnah dia. Dia berkoar-koar lagi di mana-mana
mengatakan sudah diacuhin warga.
“Sekarang bukannya minta maaf, dia malah bikin rumahnya open house, supaya kita semua rame-rame datang ke situ maaf-maafan, seakan-akan kita semua yang salah. Itu kan memutar balik soal. Ngapain kita meladeni orang yang sesoprenia?”
“Untuk menunjukkan bahwa kita berjiwa besar?”
“Ah itu namanya jiwa kecil. Seperti kita semua ngiler mau makan enak dan ambil bungkusan, paling juga dia dapat dari sponsor!”
“Bungkusan apa?”
“Aku baru datang dari rumah tetangga yang barusan ke sana. Tiap orang yang datang ke situ pulangnya dibawaain
tas plastik berisi suvenir. Tahu apa isi tas itu? Barang-barang contoh
rokok, sampo, sabun, ciki-ciki racun, dan paket mie baru yang pasti dia
dapat dari sponsor!”
Aku terkejut. Tapi kami sudah ada di depan rumahnya. Mau membatalkan
tidak bisa karena penyambut tamu mempersilakan kami masuk. Silakan
masuk, silakan masuk, Pak. Sebentar lagi akan ditutup.
Ternyata di dalam rumah sepi. Mungkin tidak ada yang sudi datang.
Hanya aku dan istriku. Mau balik langkah, sudah telanjur masuk. Terpaksa
dilanjutkan. Muka istriku sudah mulai masam. Aku mencoba berjiwa besar.
“Sabar. Niat kita datang kemari baik, jangan kita rusak dengan perasaan negatif. Ini hari untuk saling memaafkan.”
“Silakan Pak, Ibu. Apa sopnya mau dipanasin dulu?”
“Tidak usah, tidak usah.”
Istriku tidak mau makan. Tapi piring sudah diulurkan. Terpakasa aku
terima. Makanan begitu berlimpahan, mewah dari catering kelas satu. Aku
merasakannya sebagai semacam penghinaan kepada kemiskinan yang
berserakan di mana-mana. Kenapa kenikmatan itu diumbar dalam rumah itu,
tidak dibagikan saja kepada mereka yang lebih membutuhkan?
Pelayan yang meladeni kami menghampiri.
“Silakan Bapak dan Ibu, yang santai saja. Kalau nanti ada yang mau dibawa pulang, pesan Ibu mangga, kotak plastiknya ada di atas meja itu. Atau perlu saya bantu.”
Aku tak menjawab, hanya senyum-senyum. Tapi istriku melabrak dengan sinis.
“Terima kasih. Tapi tuan rumahnya ke mana kok nggak nongol?”
Pelayan itu tersenyum.
“O ya, Bu. Bapak dan Ibu minta maaf, keluar sebentar untuk
bersilaturahmi karena sudah seharian di rumah. Tapi sebentar lagi beliau
akan datang. Silakan menunggu sebentar.”
Sebentar apaan, ini sudah satu jam, bentak istriku. Ngapain kita kemari? Darahnya sudah mulai naik. Aku setuju, kunjungan dengan niat suci dan luhur itu ternyata sebuah kesalahan.
Kemudian ada dua tetangga yang memang punya reputasi tukang jilat
muncul. Mereka heran melihat kami. Setelah basa-basi, mereka langsung
mengganyang makanan. Kemudian membungkusnya, lebih banyak dari yang
sudah mereka makan. Lalu cepat-cepat permisi dengan alasan akan
bersilaturahmi pada yang lain.
Istriku langsung mau ikutan. Aku berkeras menahan.
“Kedatangan kita kemari mau menunjukkan kepada dia bahwa meskipun
kita sebenarnya yang pantas dimintai maaf, tapi kita sudah datang kemari
karena dia sendiri tidak punya nyali untuk minta maaf. Ini sebuah
pembelajaran moral kepada dia!”
Tapi setengah jam kemudian, ketika tuan rumah belum juga nongol,
akhirnya kami pergi diam-diam. Begitu pelayannya menyelinap ke belakang,
kami buru-buru kabur.
“Alhamdulillah!” kata istriku lega, seperti lepas dari tekanan batin,
“meskipun di situ makanannya enak-enak, diupah juga aku tidak mau masuk
lagi. Ini penghinaan! Bapak terlalu lembek, mau mau datang. Dia akan
tambah sombong sekarang. Lihat, nggak ada orang yang datang ke
situ, karena semua punya harga diri. Kita saja yang coba-coba datang
karena jiwa kita yang besar, akhirnya dihina seperti ini!”
Aku tak menjawab, karena setuju. Tapi karena aku setuju, istriku justru tambah marah lagi. Sepanjang jalan dia terus marah.
“Orang kaya tidak pernah peduli apalagi mengerti apa yang sebenarnya
terjadi pada orang lain. Dia tidak akan mau melihat kesalahannya, karena
matanya sudah penuh berisi tuduhan-tuduhan yang mengatakan kita yang
salah. Tidak akan ada pikiran malu, apalagi mau minta maaf sama kita.
Dia pikir dengan uangnya itu, semua bisa diatur. Dan memang bisa. Lihat
itu penjilat-penjilatnya yang datang tadi. Mereka menyangka kita ini mau
ikut-ikutan menjilat. Malu!”
Begitu sampai di teras rumah, aku tidak tahan lagi. Aku banting
kantong plastik itu ke meja. Isinya terburai berserakan. Belum puas, aku
tendangi lagi isinya. Mie, rokok, permen, dan ciki-ciki racun hancur
berantakan. Salah satunya tertendang masuk ke pintu depan yang terbuka.
Tiba-tiba anakku Taksu muncul.
“Pak dari mana aja?”
“Bapak kamu baru saja membuktikan kekonyolannya!”
“O ya? Tumben!”
“Habis sudah aku dipermalukan.”
“Kenapa?”
“Bapak kamu mau menolong bangsat yang tidak berani datang minta maaf karena keder lantaran dosanya sudah kelewatan itu, eh nggak tahunya masuk perangkap dan dipermalukan habis. Rumahnya kosong!”
“Siapa?”
“Setan kaya yang….”
Taksu mengangkat tangan sambil memotong.
“Bapak sudah ditunggu tiga jam.”
“Ditunggu? Ngapain, kan Bapak silahturahmi?”
“Udah tak bilangin begitu, tapi di situnya ngotot mau nungguin!”
“Siapa sih?”
“Saya Pak.”
Tiba-tiba di depan pintu muncul orang kaya itu.
Darahku tersirap. Di belakangnya muncul istri dan kelima anaknya.
Sekeluarga lengkap. Aku bengong. Sementara aku ke rumahnya dan menunggu
sambil memaki-maki, rupanya dia sekeluarga datang dan menunggu dengan
sabar hanya untuk minta maaf.
Orang kaya yang barusan aku maki-maki itu mendekat, langsung menjabat
tanganku erat. Minta maaf atas segala kesalahannya dan memeluk.
Istrinya menyusul. Lalu anak-anaknya satu per satu mencium tanganku
dengan hormat, pasti sudah diberi instruksi orang tuanya.
Wajah istriku meledak gembira. Sumpah serapahnya kontan senyap.
Apalagi kemudian para tetangga keluar dari rumahnya, menyaksikan
silaturahmi itu dan sekalian ikut salam-salaman. Taksu diam-diam dengan
gesit mengumpulkan suvenir yang berceceran di mana-mana itu lalu
melenyapkannya ke belakang. Hari itu menjadi hari perdamaian yang tidak
pernah aku bayangkan sebelumnya.
Ya Tuhan, alangkah mudahnya seluruh rasa benci dan permusuhan itu
diselesaikan oleh hari raya. Bayangkan kalau hari yang begitu perkasanya
menendang semua permusuhan yang setahun mapat, tak ada? Boleh jadi
lebih banyak lagi baku hantam di dunia yang haus darah ini. Hari raya
adalah mahakarya. Aku memejamkan mata dan bersyukur.
Waktu itu, tamu itu kembali. Ia menjatuhkan badannya di kursi sebelum sempat aku tegur.
“Aku tak bisa menemukan alamatnya,” katanya sembari memejamkan
matanya yang lelah, “Mungkiin dia sudah pindah atau sudah tak ada.
Bagaimana kalau aku nginap saja di sini?”
Begitu selesai ngomong dia sudah mendengkur pulas. Aku terkesima.
Kutunggu beberapa saat, barangkali dia tersentak bangun dan tentu saja
lebih baik pergi, karena sudah larut malam. Tapi dadanya turun naik
teratur. Ia sudah jauh. Kucium rasa lelah yang kental meruap dari
tubuhnya, tanda sudah menjelajah perjalanan maraton.
“Sudah larut, kendaraan yang terakhir akan berangkat,”bisikku.
Tapi ia sama sekali tak berkutik. Kemudian istriku keluar dari dalam rumah menegur.
“Tidur, Pak, sudah malam.”
“Ya, sebentar lagi.”
“Jangan pakai sebentar lagi. Angin malam merusak paru-paru, ayo!”
Dengan berat hati aku berdiri.
“Ayo!”
“Ya, ya! Tapi dia bagaimana?”
“Apa?”
“Nggak!”
Istriku tidak mau pergi sebelum aku benar-benar masuk. Setelah itu
dia menutup pintu dan menguncinya. Dalam hati aku berkata: meskipun kita
tidur bersama setiap malam selama bertahun-tahun, tapi yang ini tidak
akan kamu mengerti, Sayang.
Tetapi tiba-tiba istriku nyeletuk.
“Aku kawin hanya dengan satu laki-laki!”
Aku terpaku. Siapa bilang perempuan tidak mengerti, hanya tidak semua yang mereka katakan. (*)
Merdeka
Cerpen Putu Wijaya (Jawa Pos, 29 Agustus 2010)
MENJELANG pertempuran terakhir yang menentukan, kami
semua, para prajurit, bersiap. Mengumpulkan tenaga, mengerahkan
jiwa-raga untuk mengakhiri habis-habisan benturan yang sudah berlangsung
ratusan tahun ini.
Aku duduk di batang pohon kelapa yang mati disambar geledek. Di
pangkuanku senjata, sisa-sisa peluru, rasa sakit, dan lelah yang sudah
tidak aku pedulikan lagi. Bila subuh pecah dan matahari menyerakkan bara
di langit timur, kami harus menyerbu. Hidup atau mati itu soal nanti.
Roda sejarah ini tidak boleh berhenti.
Kawan-kawanku ada yang berbaring tidur untuk menikmati mimpinya yang
mungkin tidak akan pernah lagi kembali. Ada yang menulis surat buat
keluarganya meskipun dia tahu semua itu tidak akan pernah sampai. Di
depan nyala api, komandan termenung seperti membaca apa yang akan
terjadi.
Waktu itulah sebuah tangan menepuk pundakku. Setan datang dengan
wajah yang gemilang. Lebih cantik dari semua bintang layar kaca atau
bidadari di kelir wayang yang pernah aku tonton. Senyumnya menghancurkan
seluruh duka yang bersembunyi di balik tulang dan urat-uratku yang
sudah patah dan rengat. Dan baunya bukan main harum. Semerbak sehingga
medan pertempuran yang anyir oleh bau darah itu berubah jadi kamar hotel
berbintang sembilan yang sensual.
“Bang,” suaranya mendesah membasahi telinga.
Aku tak berani menoleh. Imanku sudah runtuh mendengar sapa yang menyengatkan listrik ribuan voltase itu.
“Bang, aku datang membawa pesan untukmu. Abang punya waktu sebentar aku ganggu?”
“Pesan apa?”
“Jangan memandang ke depan hanya sebatas pandang.”
“Kenapa? Apa yang bisa aku lakukan, aku hanya manusia biasa yang sudah bertahun-tahun tidak sempat tidur.”
“Kalau Abang hanya melihat yang ada di depan Abang, Abang hanya akan
melihat sebuah tiang bendera. Paling banter Abang hanya akan kepingin
menaiki tiang itu untuk mengibarkan bendera.”
“Betul, memang begitu.”
“Paling banter Abang hanya akan menikmati bendera itu mengibas-ngibas
ditiup oleh angin yang bertiup membawa asap knalpot, sampah pabrik, dan
debu-debu kotor yang penuh penyakit. Dalam waktu sekejap Abang akan
sakit.”
“Tidak apa. Aku sudah biasa sakit. Tambah sakit lagi tidak akan
berarti apa-apa. Sebentar lagi ini akan berakhir. Begitu rona merah
menebarkan api di langit, pertempuran yang tidak seimbang ini akan
memusnahkan kami semua. Tapi tidak apa. Demi merdeka jiwa-raga harus
rela dikorbankan.”
“Itu bodoh. Itu tidak perlu terjadi. Abang harus terus hidup untuk
mengalami apa yang akan terjadi. Untuk apa berjuang kalau hanya untuk
mati?”
“Untuk merdeka.”
“Abang sudah tertipu! Lihatlah ke depan. Enam puluh lima tahun lagi,
kalau Abang merdeka, Abang akan menyesali apa yang sudah Abang lakukan.”
“Kenapa?”
“Enam puluh tahun lagi dari sekarang, pohon-pohon itu akan ditebangi
jadi jalan dan mall. Pencakar-pencakar langit akan menancap di setiap
jengkal tanah di seluruh tubuh kota. Jalan layang melilit kota, tidak
ada lagi yang akan sempat melihat pagi dan senja merah, karena langit
sudah dihancurkan oleh dosa-dosa pembangunan. Di jalanan tidak ada lagi
ruang bagi pejalan kaki dan sepeda, semua direbut oleh kendaraan mewah
punya para konglomerat. Kehidupan ini bukan milik rakyat, tapi para
pemimpin, ketua-ketua partai, dan para cerdik pandai yang nenjadi
selebriti karena teori-teori kemanusiaannya yang luar biasa cerdas,
tetapi tak pernah berpihak kepada kemanusiaan. Uang adalah dewa yang
paling tinggi yang ingin dimiliki oleh semua orang dengan segala macam
cara. Termasuk menipu, menindas, membunuh, juga mempergunakan ideologi,
ilmu pengetahuan, kesenian, dan agama. Karena itu, terimalah ini. Aku
diminta menyampaikan ini kepada Abang. Buanglah senjata yang tidak akan
sempat meletus itu, karena senjata-senjata kuman sudah terlebih dahulu
akan mematuk nyawa Abang. Kecuali kalau Abang terima ini!”
Setan mengulurkan sebuah cek.
“Berapa saja angka yang Abang taruh di atasnya, cek ini akan bunyi tetapi dengan satu syarat.”
“Aku harus meletakkan senjata? Tidak!”
“O tidak, tidak! Abang tak perlu meletakkan senjata, itu melanggar
janji seorang prajurit. Tetap saja angkat senjata Abang dan kemudian
tembakkan. Karena itulah gunanya senjata itu diberikan. Tapi jangan
menembak ke arah depan. Karena musuh yang sebenarnya bukan di depan,
tetapi di samping dan di belakang. Terutama di dalam diri Abang sendiri.
Tembak semuanya itu, bersihkan musuh-musuh dalam selimut yang sudah
membuat enam puluh lima tahun merdeka itu lebih neraka dari apa yang ada
sekarang.”
Aku tercengang.
“Menembak ke dalam diriku sendiri?”
“Ke samping dan ke belakang juga.”
“Tapi, itu bunuh diri.”
“Bukan. Itu pembersihan rohani!”
“Itu berarti aku akan membunuh teman-teman seperjuanganku sendiri.”
“Bukan. Mereka itu musuh dalam selimut.”
Aku terkejut.
“Bagaimana, berkenan? Mohon jangan menolak, karena aku akan kecewa dan sedih.”
Setan tidak menunggu jawabanku. Dia langsung menjatuhkan diri ke
pelukanku. Lalu mencium dengan mulutnya menempel seperti bekicot. Ciuman
lengket itu membuat tubuhku meleleh. Pagutan tangannya adalah
lengan-lengan gurita yang mengurung dan membelit sukma sehingga aku
ringsek total.
Senjata itu terlepas dari tanganku, sementara cek yang diselusupkan
ke kantung bajuku seperti tangan nakal yang merogoh liar kegairahanku,
sehingga dalam ketegangan yang tak tertahan, aku tidak bisa bilang
tidak. Aku terpanggang di dalam api setan. Aku melambung dilalap
kenikmatan yang belum pernah kualami.
Apa yang lebih berharga lebih dari rasa bahagia. Apa aku harus
menolak apa yang dikejar oleh semua orang dengan mengorbankan jiwa-raga
dan kehormatannya, apalagi ia datang menyerahkan diri kepadaku tanpa
syarat.
Aku kelenger. Belum pernah aku menikmati kenikmatan yang begitu
panjang dan seakan-akan tidak akan pernah berakhir. Aku hanyut dan
menyerah. Aku ingin berada di puncak kebahagiaan itu selama-lamanya.
Tetapi, tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundakku. Ketika aku
terbangun, aku terperanjat. Di depanku, sahabat karibku berlumuran
darah. Wajahnya begitu dekat, sehingga aku tepercik oleh darah yang
menetes dari lubang peluru di dahinya. Ia membuka mulutnya tetapi begitu
lemah, sehingga aku menempelkan telingaku untuk mendengar.
Bangun, tembak, jangan tidur, mereka menyerbu sebelum kita sadar,
katanya, lalu langsung roboh. Aku gugup tapi berdiri. Sekitarku sudah
menjadi lautan mayat. Semua temanku sudah tertembak mati. Tinggal aku
sendiri yang luput karena sudah bermimpi atau memang aku disisihkan
supaya katut menang, karena setan sudah memilih.
Lupa pada cek yang ada di kantung. Lupa pada gambar yang sudah
ditempelkan setan di benakku tentang kebobrokan 65 tahun yang akan
datang, aku angkat senjata. Tapi mana senjataku. Tanganku kosong,
senjata entah di mana. Aku berteriak histeris, tapi suaraku ditelan
kebekuan kalah. Aku berontak. Aku angkat tanganku, tapi tidak bisa,
tanganku kaku. Aku menadahkan muka ke atas menjerit minta pertolongan.
Tiba-tiba, di atas sana aku lihat bendera sang saka berkibar di
puncak tiang. Gagah dan bergelora dikibas-kibaskan angin. Negeriku sudah
merdeka. Rakyat bebas. Aku meledak. Kesedihanku berubah jadi
kegembiraan. Aku terlempar ke 65 tahun yang akan datang di tahun 2010.
Terima kasih Tuhan!
Tapi, ketika memandang di sekitar, aku terperanjat. Hutan dan gunung
gundul. Sungai kering dan laut terpolusi. Musim hujan tidak karuan.
Bencana alam menghantam. Hujan, banjir, longsor tetapi hutan terbakar,
gunung meletus, sumur bumi muncrat menenggelamkan kota dalam kubangan
lumpur. Demam berdarah, flu babi, narkoba, kemiskinan, korupsi,
gontok-gontokan agama, disintegrasi. Rakyat kelaparan sementara para
pejabat sibuk bertengkar saling menyalahkan dan menghasut dialah yang
paling tepat memimpin. Keos!
Lalu aku dengar setan tertawa.
Betul tidak, betul tidak apa yang aku aku katakan, kata setan. Tidak
ada gunanya kemerdekaan. Kemerdekaan hanya buat orang kaya dan yang
berkuasa. Kalian, 220 juta kawula, akan tetap menjadi budak yang tidak
punya masa depan. Bukan kalian yang akan menulis sejarah tapi para
konglomerat, petualang-petualang politik dan para elite yang melihat
kehidupan dari balik teori-teori akademisnya yang abstrak.
Setan tertawa ngakak.
Aku jadi muak! Benci! Marah! Sumpek! Aku sumpahi, ludahi, hajar habis semua kebiadaban itu. Aku malu, aku luka, aku sakit!
Tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundakku. Ketika kubuka mata, anakku, Taksu, berdiri di depanku dan berbisik.
“Kalau kubiarkan dan pelihara terus kekesalan dan kebencian kepada
para penindas, mereka yang pernah menderaku selama 27 tahun itu akan
terus menyandera diri dan jiwaku. Aku ingin menjadi orang yang merdeka.
Karenanya aku buang semua kebencian itu, sehingga aku benar-benar merasa
sebagai orang yang bebas dan merdeka.”
Aku terkejut. Kupandang Taksu seperti melihat terowongan gelap.
“Apa? Coba ulangi!”
Taksu mengucapkan sekali lagi, sementara aku memejamkan mata.
Kalimat-kalimat itu seperti ujung jarum yang menembus kuping dan masuk
langsung ke hulu hatiku. Jantungku yang robek dijahitnya kembali. Sedang
hulu hatiku yang tertutup dibukanya lebar-lebar agar udara yang segar
berembus masuk mencuci pikiranku yang sumpek.
Begitu Taksu selesai bicara, kubuka mata seperti orang baru sadar
dari pingsan. Aku seperti dilahirkan lagi. Segar, bersemangat, dan penuh
dengan harapan. Entah dari mana perasaan yang indah itu begitu saja
merasukiku. Itu pemaknaan yang baru terhadap kemerdekaan yang membuat
horison menjadi berbeda. Luas, tak terbatas, dan siap untuk ditempuh
sekali lagi. Luar biasa!
Aku tatap anakku dengan kagum.
“Kamu hebat sekali, Taksu! Sejak kapan kamu berpikir mulia begitu?”
Taksu membuka HP.
“Itu pesan Facebook dari Yulie Panthi, salah satu kawanku di FB.”
“Waduh, hebat sekali dia!”
“Itu kutipan dari ucapan Nelson Mandela.”
“Pemimpin Afrika Selatan itu?”
“Betul!”
“Wah, wah, wah! Hebat!”
“Yang hebat Nelson Mandela!”
“Tidak! Teman kamu dan kamu juga hebat! Hanya orang-orang yang hebat
mengerti makna-makna yang hebat. Itu pemahaman kemerdekaan yang luar
biasa, dewasa, dan mulia, yang sangat perlu direnungkan oleh seluruh
bangsa Indonesia sekarang yang hatinya penuh benci, dengki, marah, dan
berangasan!”
Taksu ketawa mengejek.
“Berarti Bapak juga hebat dong sebab memuji kalimat itu setinggi langit. Buat aku sih
biasa-biasa saja. Kuno! Kata-kata mutiara bisa dibuat seratus biji
dalam satu menit, tetapi bukan itu yang kita perlukan. Kita memerlukan
tindakan. Indonesia di usia 65 sudah inflasi kata-kata mutiara. Sekecil
apa pun, tetapi tindakan selalu lebih konkret dari kata-kata yang hanya
akan menenggelamkan Bapak ke dalam mimpi siang! Good-bye!”
Sebaliknya, daripada membantah aku memejamkan mata kembali. Nelson
Mandela sudah meniupkan angin baru yang membuat aku bebas, lega, dan
lapang dada.
“Sekarang aku mengerti,” gumanku ketika istriku lewat mau ke dapur.
Seperti aku harapkan, dia berhenti.
“Mengerti apa?”
“Apa sejatinya makna kemerdekaan.”
“Apa?”
“Bebas.”
“Memang dari dulu begitu kan? Masak baru tahu?
Makanya Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan kita. Kami
bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal
mengenai pemindahan kekuasan dan lain-lain akan diselenggarakan dengan
seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”
“Dan apa sejatinya makna kebebasan?!”
“Apa?”
“Melupakan!”
Istriku terkejut.
“Melupakan? Masak?”
“Ya! Kelihatannya tidak mungkin, bahkan sepele. Tetapi nyatanya
Nelson Mandela sudah membuktikan itu. Tak mungkin orang besar dari
Afrika Selatan itu mampu bertahan disekap puluhan tahun di penjara,
padahal usianya sudah uzur, sehingga ketika dibebaskan dia masih sehat
jasmani dan rohani sehingga mampu memimpin sebagai presiden pertama
Afrika Selatan!”
Lalu kuulangi Mandela seperti yang aku dengar dari Taksu.
“Kalau kubiarkan dan pelihara terus kekesalan dan kebencian kepada
para penindas, mereka yang pernah menderaku selama 27 tahun itu, akan
terus menyandera diri dan jiwaku. Aku ingin menjadi orang yang merdeka.
Karenanya aku buang semua kebencian itu, sehingga aku benar-benar merasa
sebagai orang yang bebas dan merdeka.”
Dewi, istriku, manggut-manggut.
“Hebat, mulia, dan sangat agung pikirannya kan, Bu?”
“Ya, iyalah Pak, orang besar memang pikirannya juga harus besar!”
“Lho, bukan orang besar saja. Orang kecil, rakyat jelata,
seperti kita juga harus meneladani apa yang ditemukan oleh orang-orang
besar itu. Karena itulah kita sebut dia pemimpin. Bukan hanya karena dia
berdiri paling depan kalau kita berperang, itu sih wayang.
Tetapi karena dia membuka makna-makna di dalam kehidupan, sehingga kita
bisa melihat apa sebenarnya inti baik, buruk, adil, dan khususnya
kemerdekaan itu. Tidak seperti kita sekarang di Indonesia ini yang sibuk
membenci orang lain, meskipun memang pantas dibenci!”
Istriku termenung.
“Jadi Bapak setuju pada Mandela?”
“Lho bukan hanya aku yang sudah tua bangka ini, Bu. Bukan
hanya kita yang sudah bangkotan karena kebanyakan makan garam ini saja.
Anak kita, si Taksu yang masih mentah itu, juga setuju. Justru dia yang
tadi membacakan pikiran agung Nelson Mandela itu kepadaku, sehingga aku
seperti mendapat pencerahan. Begitu hebatnya arti kata-kata. Hanya
kata-kata, tetapi cukup bisa mengubah perasaanku. Itu dia kehebatan
seni. Pikiranku seperti dicuci bersih, plong sekarang oleh kebenaran
yang diulurkan Mandela. Umpama Ibu hanya masak tempe-tahu atau ikan asin tok
seperti biasanya, suamimu ini tidak akan sambat lagi. Perasaanku jadi
tenang setelah mendapat siraman kebenaran dari Mandela. Batu pun rasanya
sekarang enak!”
“Ah, Bapak kalau lagi senang suka melebih-lebihkan begitu.”
“Lho, aku serius! Ini penting sekali. Perubahan itu tidak dimulai dari penampakan jasmani, tetapi rohani. Kalau di dalam sini sudah bener, semuanya akan jalan. Tapi kalau di hati sudah rusuh dan kotor, apa saja, yang baik dan sudah adil juga jadi salah. Ya nggak?”
“Jadi Bapak sekarang pengikut Nelson Mandela?”
“Bukan, bukan, ini bukan kultus individu. Nelson Mandela tidak usah
dipuja-puja. Dia juga manusia biasa. Tetapi pikirannya tentang
kemerdekaan dan kebebasan itu sangat agung, perlu, harus, wajib, dan
mesti kita laksanakan, kalau mau mengubah keadaan baik di Indonesia
maupun di batin kita sendiri. Kita harus menjadi manusia yang merdeka,
bebas, sehat, dan waras!”
Dewi menganguk-angguk.
“Sekarang aku ke tetangga dulu dan menyebarkan virus kemerdekaan dan
kebebasan Nelson Mandela ini. Hal-hal yang baik tidak ada gunanya kalau
tidak disosialisasikan! Ini ibadah!”
Aku bergegas keluar. Kutumpahkan ucapan Nelson Mandela itu, lengkap
dengan kecap manisku. Aku pujikan usaha berpikir positif, yang konkret
dan arif-bijaksana itu.
Tak cukup kepada beberapa tetangga, kusamper warung dekat rumah. Aku
tularkan konsep kemerdekaan yang membebaskan perasaan itu kepada semua
orang. Yang menyenangkan, hampir semua, setelah diberi penjelasan,
keplok tangan, sepakat menganggap Nelson Mandela sudah memasok rumusan
penting untuk membuka citra baru tentang apa itu merdeka.
Sore hari baru aku pulang. Ketika membuka pintu, terdengar suara azan
dan beduk tanda buka puasa. Tepat sekali. Aku bergegas masuk, lalu
nyruput teh manis panas yang sudah dihidangkan istriku. Nikmat. Tak ada
yang lebih indah dari seteguk teh panas manis di ujung puasa. Perutku
langsung gemeletuk minta diisi. Tapi ketika membuka tutup meja makan aku
terkejut.
Tempe, tahu, dan ikan asin lagi.
“Kok hanya tempe-tahu dan ikan asin tok? Beribu-ribu kali aku sudah makan tempe-tahu dan ikan asin, masak aku mesti makan semuanya itu sekali lagi sekarang sesudah 12 jam tidak makan dan minum? Mana pecel lelenya?”
Istriku cepat datang.
“Kenapa, Pak?”
“Kenapa tempe-tahu dan ikan asin lagi. Tempe-tahu dan ikan asin tiap hari. Mana pecel lelenya? Aku kan sudah minta sekali ini pecel lele? Aku kan minta pecel lele?”
“Ya!”
“Mana?”
“Tapi?”
“Jangan tetapi! Pecel lele! Mana? Aku kan minta pecel lele, bukan tempe-tahu dan ikan asin! Pecel lele!”
“Ya, Bapak memang minta pecel lele, tapi setelah itu Bapak bilang….”
“Pecel lele!”
“Tidak! Setelah minta pecel lele, Bapak bilang, kalau hati sudah
plong, bersih, merdeka, dan lapang, apa pun jadi baik. Batu pun jadi
enak!”
Aku tertegun.
“Aku bilang begitu?”
“Ya, Bapak bilang begitu!”
Aku terhenyak.
“Ya, ya sudah, kalau aku sudah bilang begitu, memang harus begitu. Nggak ada masalah. Tempe-tahu dan ikan asin juga enak kalau batu saja enak!”
Kontan kulupakan pecel lele, kembali pada Nelson Mandela. Tempe-tahu
dan ikan asin itu aku andaikan dalam hati ikan reca-reca. Dengan garang
aku lahap tempe-tahu dan ikan asin itu dengan nikmat. Peluh berleleran
dari kepalaku. Istriku takjub seperti tak percaya.
“Bener nikmat?”
Nikmat sekali. Lalu aku berbisik mesra untuk membuktikan kenikmatanku.
“Besok pagi kita kabulkan permintaan Taksu yang sudah dua tahun kita
tunda, karena khawatir dia ketularan budaya kemewahan. Kita belikan dia
motor baru. Ibu tarik semua uang kita yang dipinjam oleh
tetangga-tetangga, karena memang sudah lama betul belum dikembalikan.”
“Tidak bisa!”
“Lho, kenapa tidak? Tiga bulan lalu mestinya sudah mereka kembalikan!”
“Itu dia, Pak. Daripada aku tekanan batin sampai malas keluar rumah
ketemu tetangga, karena kesal dicurigai mau nagih hutang-nagih hutang
melulu, setiap aku keluar mau bersilaturahmi mereka langsung mencelup
masuk, seperti ada hantu, takut akan aku tagih! Sudah berapa hari ini
aku jadi segan keluar rumah. Supaya bisa bebas dari tekanan batin dan
merdeka lagi, tadi aku datangi mereka dan bilang pada semuanya, ya
sudah, hutang-hutangnya dilupakan saja semua. Jadi, sekarang aku sudah
bisa tenang lagi seperti kata Nelson Mandela.”
Aku langsung berhenti makan. Tempe-tahu dan ikan asin itu terasa
sekeras batu. Batu-batu itu mengganjal kerongkonganku sehingga aku
tercekik.
“Ya Tuhan, alangkah beratnya memperjuangkan kemerdekaan. Tapi
seberat-beratnya berjuang merebut kemerdekaan, ya Tuhan, alangkah
beratnya hidup sesudah merdeka!”
Jakarta, 19 Agustus 2010
Bola
Cerpen Putu Wijaya (Suara Merdeka, 25 Juli 2010)
AKU merayakan kemenangan Spanyol dengan membeli
sebuah bola. Dengan bangga kuserahkan bola itu kepada anak-anak yang
suka main bola merecoki jalanan sambil berpesan:
“Dulu Argentina, Italia, dan sekarang Spanyol, sempat kalah dalam
pertandingan mereka yang pertama di Piala Dunia, tapi berkat ketangguhan
dan perjuangan habis-habisan sebagai sebuah tim, akhirnya mereka
menjadi juara dunia. Hebat kan?! Nah, ternyata dengan menonton sepak
bola, kita tidak hanya menghibur diri, tetapi belajar meneguhkan mental.
Coba apalagi yang dapat kalian pelajari dari begadang sebulan penuh
nonton piala dunia, sampai pilek-pilek begitu?!”
Anak-anak itu bersorak, lalu rebutan menjabat tanganku. Mereka
mengacungkan jempol dan memuji-muji. Ada yang langsung mengangkatku
sebagai pembina, lalu menuntut supaya aku membelikan mereka seragam,
karena mereka akan bertanding.
“Bapak paling hebat, Bapak satu-satunya yang memihak anak-anak muda.
Mereka yang lain cuma bisa maki-maki mengumpat kami bandit, karena kami
main bola di jalanan. Padahal kami kan main di pinggir jalan, nggak ada yang main di tengah jalan. Ya kalau mau supaya kami main di lapangan, bikinkan lapangan dong!”
Aku kecewa. Bukan itu yang aku harapkan. Ternyata petuahku tidak terlalu diperhatikan. Anak-anak itu lebih suka hadiahnya.
Sampai di rumah aku sambat.
“Sebagus apa pun pelajarannya, tapi kalau yang menerima otaknya batu, tidak akan ada gunanya. Mubazir semua! Payah!”
Istriku heran.
“Maksudnya?”
“Ya begitulah mereka itu. Diajak rembugan, nggak ada yang ngarti!
Bagaimana bisa hebat kalau tidak pakai otak? Main bola itu kan bukan
sekadar menyepak bola, tapi pakai taktik, strategi, pakai perhitungan.
Memerlukan kecerdasan! Nggak cuma kekuatan. Ngawur! Lihat Spanyol!”
“Siapa mereka?”
“Anak-anak kampung yang suka main bola di jalanan itu!”
Istriku terkejut.
“Lho, sejak kapan Bapak bergaul sama anak-anak itu? Bukannya Bapak
yang dulu memelopori kompleks supaya ngusir mereka supaya jangan main
bola di jalanan?”
“Memang. Main bola kok di jalanan itu gila. Membahayakan diri dan
mengganggu lalu-lintas. Itu namanya asosial. Main bola di lapangan dong.
Itu ada tanah kosong di belakang rumah Pak Haji, kalau dibersihkan kan
bisa dijadikan lapangan. Pak Haji yang punya tanah juga sudah menawarkan
sendiri. Dia seneng kok tanahnya dipakai sebelum dibangun . Daripada
jadi semak belukar dan sarang ular seperti sekarang ini?!”
Istriku manggut-manggut.
“Lho kamu kok manggut-manggut?”
“Habis Bapak sudah ketularan perilakunya pemain politik. Dulu marah-marah sama mereka, sekarang malah bergaul. Aneh!”
“Mereka harus mengerti apa arti kemenangan Spanyol. Jangan hanya
menangnya saja dilihat. Ngapain kita ikut seneng-seneng padahal orang
lain yang menang. Ya, karena kita mendapat pelajaran! Spanyol itu
menang, bukan karena yang paling keras menendang bola, tapi karena
taktiknya pas. Jadi main bola itu tidak hanya pakai kaki!”
“Pakai apa?”
“Otak!”
Istriku ketawa cekakakan. Tapi lalu pergi. Padahal aku sedang
kepingin menerangkan panjang lebar pelajaran apa saja yang bisa ditarik
dari Piala Dunia. Rasanya tidak ada yang mengerti apa sebenarnya makna
main bola. Mereka pikir otak ditaruh di rumah kalau sudah beraksi di
lapangan hijau.
“Kenapa perempuan ditakdirkan tidak suka nonton bola, Ami?” kataku menyalurkan rasa dongkolnya kepada cucuku.
Ami yang sedang baca buku menoleh.
“Kakek masih kesel ya, Argentina dan….”
“O tidak. Kakek sudah seneng, Spanyol menang. Mereka juga
mempraktikkan sepak bola indah. Sepak bola itu seni, Ami. Banyak yang
bisa kita pelajari dari sepak bola.”
“Misalnya?”
“Disiplin, bekerja sebagai sebuah tim, menahan emosi, mengatur strategi.”
“Dan main di jalanan, mengganggu lalulintas!”
“Nah itu dia! Itu sepakbola yang tidak pakai otak. Mereka hanya pakai
kaki. Main bola hanya untuk kesenangan tok. Itu sepak bola hiburan.
Sepak bola yang sebenarnya itu serius. Sepak bola itu adalah ilmu!”
“Ilmu menendang bola ngenain kepala, supaya Ami jatuh lagi
dari motor?! Udah ah! Ami mau baca. Cukup satu orang saja yang gila bola
dalam rumah. Satu bulan Ami susah tidur karena Kakek teriak-teriak di
depan televisi seperti orang kesurupan!”
Aku tidak mau berantem dengan cucu. Lalu duduk menyepi di teras.
Waktu itu, tetangga lewat. Darahku berdesir, karena tetangga itu
membawa sebuah bola. Entah kenapa ia yakin sekali, itu adalah bola yang
sore tadi aku hadiahkan kepada anak-anak jalanan itu.
Aku pura-pura menyapa.
“Dari mana Pak, malam-malam?”
Tetangga menoleh dan tersenyum.
“Baru pulang kerja Pak. Tadi ribut dengan anak-anak itu.”
“Ada apa?”
“Mereka main bola lagi di jalanan. Padahal sudah beberapa kali bolanya ngenain kepala orang naik motor, sampai pengendaranya jatuh babak-belur. Putri Bapak juga pernah kena batunya kan?”
Aku mengangguk lemah.
“Betul!”
“Akhirnya bolanya saya rampas!”
“O ya? Kenapa?”
“Habis tadi giliran kepala saya jadi sasaran tadi! Motor saya masuk
selokan, jadi terpaksa dibawa ke bengkel. Untung saya tidak apa-apa!”
Aku tak berani lagi bertanya.
“Saya dengar dari mereka bolanya dari Bapak. Betul?”
Aku tak bisa mengelak.
“Ya, ya, saya kasih mereka bola, supaya mau bikin lapangan di tanah kosong itu dan berhenti mengganggu lalu-lintas di jalanan.”
Tetangga itu lalu menghampiri sambil mengulurkan bola.
“Hadiah Bapak tidak salah. Bapak pasti tidak berniat yang bukan-bukan
dengan hadiah ini. Memang betul, masih lebih baik mereka main bola
daripada kecanduan narkoba. Yang salah adalah kita yang tidak pernah
menyediakan tempat bermain buat anak-anak itu, sehingga mereka main di
jalanan. Tetapi masalahnya, main bola bukan lagi mengajarkan mereka
menjunjung kejujuran, tapi suka akting meniru-niru pemain-pemian bola
itu yang pinter memancing supaya dapat free-kick atau penalti.
Masak terang-terangan, mereka tendang ke kepala saya, tapi mereka
sumpah-sumpah bilang motor saya yang salah jalan. Ya saya memang melawan
arus, sebab saya mau pulang, rumah saya kan memang di sini, mereka tahu
itu. Lha mereka itu bilang saya ganggu mereka. Padahal mereka yang
selama ini sudah ganggu kita. Jalan kan untuk motor, bukan buat main
bola!”
Aku terpaksa manggut-manggut.
“Ini bolanya Pak, kalau mereka datang, pasti mereka akan datang,
jangan katakan saya sudah kembalikan bolanya ke Bapak. Biar mereka
bicara sama saya. Kalau mereka minta maaf dan menyadari kesalahannya,
silakan bolanya kalau mau dikembalikan! Supaya jadi pelajaran!”
Dengan perasaan tak enak, aku terpaksa menerima bola itu. Dan betul
saja, seperti yang diperkirakan tetangga, tengah malam, anak-anak itu
muncul. Mukanya sedih.
“Pak, mohon maaf malam-malam mengganggu.”
“Ada apa?”
“Bola yang Bapak berikan pada kami itu, Pak!”
“Kenapa?”
“Pecah digilas stoom, Pak.”
Aku menghelas napas. Benar kata tetangga itu. Yang dipelajari anak-anak itu dari main bola adalah aktingnya. Sialan.
Setelah pikiranku tenang, aku terpaksa ikut berakting.
“Kalian semua tahu, apa sebabnya stoom yang mestinya hanya ngurus jalan-jalan rusak yang harus diaspal itu, kok ujug-ujug melindas bola baru kalian itu sampai pecah?”
Anak-anak itu heran. Mereka pandang-pandangan satu sama lain. Tak menyangka dapat pertanyaan seaneh itu.
“Tidak tahu kan?”
Anak-anak itu tersenyum.
“Tidak.”
“Nah! Bola kalian digilas sampai pecah, supaya kalian datang ke
rumahku mengadu seperti sekarang ini, bukan hanya sekadar laporan bola
baru yang aku hadiahkan kepada kalian itu sudah hancur. Tapi karena aku
memang belum mendengar apa jawaban kalian, kenapa Spanyol menjadi juara
dunia?
Semuanya nonton kan?”
Semuanya nonton kan?”
“Nonton Pak.”
“Kalau begitu kalian pasti tahu bahwa Spanyol menang bukan karena dia
yang paling pinter main bola. Siapa yang bisa meragukan kepintaran
pemain-pemain Brasil dan Argentina? Kaki mereka sudah seperti tangan
saja. Tapi main bola tidak hanya menendang bola. Main bola juga
memerlukan jiwa seorang pemain bola yang bener. Tahu kalian, apa
sebenarnya jiwa pemain bola yang sejati?”
“Memanfaatkan serangan balik, Pak!”
“Salah!”
“Kekompakkan, Pak!”
“Tidak cukup!”
“Mempergunakan kelengahan lawan!”
“Tidak hanya itu!”
“Kepercayaan diri, Pak!”
“Boleh tapi belum sempurna!”
“Kematangan juara, Pak!”
“Semua itu benar tapi bukan intinya! Intinya adalah inti dari apa yang dimaksudkan sebagai sport, sejak olahraga itu itu disebut sport.
Intinya adalah sportivitas. Kejujuran! Spanyol menjadi juara karena dia
yang paling tangguh di dalam membela kejujuran. Sepak bola adalah
pendidikan untuk menjadikan manusia jujur. Mengerti?”
Anak-anak itu tertawa. Itulah yang aku tunggu-tunggu. Bagaikan Arjuna ketika membunuh Niwatakawaca, aku langsung membetot.
“Kalian boleh ketawa! Itu menunjukkan bahwa kalian lebih tidak tahu
lagi apa sebenarnya sepak bola itu! Percuma main bola kalau tidak tahu
apa sejatinya arti main bola. Lebih baik pulang sekarang, renungkan apa
yang sudah aku katakan tadi. Nanti kalau sudah mengerti apa maknanya,
boleh datang ke mari lagi, pintu rumahku selalu terbuka.”
Anak-anak itu terpesona.
“Maksud, Bapak?”
“Ya itu tadi. Cari inti apa yang aku katakan tadi. Main bola itu
bukan hanya menendang bola, tapi mengasah pikiran dan juga perasaan.
Tanpa itu, Spanyol tidak akan pernah jadi juara. Hanya mencoba
memanfaatkan kelemahan dan kelemahan lawan, itu bukan sport,
itu namanya judi. Untung-untungan. Main bola seperti itu, tidak ada
gunanya untuk pembentukan karakter bangsa. Negara membiayai olahraga
main bola dengan menyisihkan miliaran belanja negara yang berasal dari
cucur-keringat rakyat, untuk apa, kalau bukan untuk membina negara dari
dalam rohani rakyatnya. Pembangunan fisik saja akan membuat bangsa ini
timpang, para pajabat korup dan hukum tidak bergigi!”
Tiba-tiba istriku keluar.
Aku menyangka dia muncul untuk menghidangkan minuman. Ternyata
perempuan yang sudah 40 tahun menemaniku tidur setiap malam itu, keluar
sambil membawa bola anak-anak muda yang dirampas tetangga itu.
Tanpa berkata sepatah pun, dia meletakkan bola itu di meja, kemudian
pergi. Aku kontan mati langkah. Seluruh kecapku berantakan. Anak-anak
itu bersorak. Mereka mengambil bola itu, lalu lari keluar tanpa bilang
apa-apa lagi. Aku tak bisa mengatakan apa-apa lagi.
“Habis, aku bosan dengar Bapak ngasih kuliah sama anak-anak itu!”
kata istriku kemudian di tempat tidur. “Kok bicara tentang kejujuran,
kejujuran, kejujuran, padahal sendirinya tidak jujur! Sudah jelas
anak-anak itu bohong, bagaimana mungkin bola dilindas stoom.
Semua juga tahu, bola itu dirampas tetangga kita, karena menghantam
kepalanya sampai dia jatuh dari motor, karena anak-anak itu main bola di
jalanan. Kenapa tidak bilang terus-terang saja apa adanya. Jangan main
bola di jalanan? Apa kebohongan mesti dilawan dengan kebohongan?!!”
Aku sebenarnya malas menjawab. Tapi mulutku bicara.
“Aku kan hanya mau mengajarkan agar anak-anak itu jangan berbohong!”
“Dengan berbohong?”
“Berbohong demi kebaikan itu perlu!”
“Bohong tetap saja bohong! Bohong itu tidak bisa dihubungkan dengan kebaikan.”
“Tapi itu kata-kata orang besar!”
“Betul! Tapi kalau yang mengatakannya orang besar, tidak apa, sah!
Apa Bapak sudah merasa diri orang besar sehingga bohong itu jadi
betul?!”
Mulutku tidak mau menjawab lagi. Istriku nampak sedang dalam keadaan yang tidak ingin dibantah.
“Ingat! Bapak bicara sama anak-anak jalanan. Kalau mau melarang
mereka, pakai bohong-bohongan, mereka lebih pinter lagi. Betul tetangga
kita itu! Kalau mau melarang main bola di jalanan, pakai tindakan tegas,
ambil saja bolanya. Jangan pakai berunding ke sana-ke mari, anak-anak
jalanan itu bukan tempat perundingan. Salah urus itu namanya!”
Aku memekakkan telingaku. Lalu duduk di teras rumah menyepi.
Pagi-pagi tetangga menghampiri.
“Pak, semalam anak-anak itu datang dan minta maaf. Silakan Bapak
kalau mau memberikan bola itu lagi kepada mereka. Saya sudah merasa puas
mereka sudah belajar mengakui kesalahannya. Namanya juga anak-anak
muda. Kalau tidak nakal sedikit, bukan anak muda.“
Aku hanya menjawab dengan senyum. Dua atau tiga hari lagi, kepala
tetangga itu akan kena bola lagi, yang sengaja ditendang oleh anak-anak
itu. Kalau dia jatuh lagi dari motornya, bukan hanya bola itu yang
direbutnya, anak-anak itu pasti akan dihajarnya.
Aku benar-benar kecewa.
“Tak ada yang benar-benar nonton bola piala dunia dan mengerti
mengapa Spanyol menang,” kataku pada Ami. “Semua orang menganggap
kemenangan adalah tanda kejagoan. Hanya aku yang tetap melihat olahraga
bukan pertandingan kehebatan, tetapi arena pemeliharaan kejujuran yang
sudah semakin punah di dunia ini karena digoreng politik dan dagang.”
Seperti biasa, Ami juga tidak peduli.
Untuk menjaga agar pikirannya tidak rusak, aku membuang jauh-jauh
masalah bola. Aku tidak peduli lagi apakah anak-anak itu akan terus
mengacau main bola di tengah jalan. Biarin saja berapa banyak lagi
pengendara motor yang akan jatuh disodok bola. Peduli amat ada anak
nanti yang mati ditabrak truk karena ngejar bola.
Tapi aneh, sore itu jalanan yang biasa ribut oleh pekik anak-anak
setan itu jadi sunyi-senyap. Hanya suara motor satu dua. Tapi makin
sore, suara kendaraan mulai ramai. Dan pada pukul 18.00 jalanan jadi
riuh-rendah. Erangan mesin, knalpot dan pekik klakson riuh-rendah.
Rupanya melihat tidak ada lagi anak-anak main di jalanan, arus
lalu-lintas yang selalu padat mulai mengambil jalan pintas, mengalir ke
jalan depan rumahku. Udara pun kontan bau dan kotor. Kebisingan itu
terus berkelanjutan makin marah sampai larut malam.
“Ya Tuhan, kalau begini, kita panggil anak-anak itu lagi, jangan main
di tanah kosong milik Pak Haji, main di jalan raya saja!” kataku
menghasut tetangga, “Mereka lebih paham dari kita, kenapa Spanyol
menang!” (*)
Jakarta, 14 Juli 2010
R a s a
Cerpen Putu Wijaya (Jawa Pos, 27 Juni 2010)
MEMANDANGI koran, melahap foto doktor termuda
Indonesia I Gusti Ayu Diah Werdhi Srikandi WS, 27 tahun, mataku tidak
berkedip. “Cantik, badannya bagus, senyumnya mempesona,” gumanku memuji.
“Kalau aku masih muda, aku akan datang kepadamu dan langsung melamar.”
Ami yang sejak tadi di belakangku nyeletuk, “Begitu ya? Bagaimana kalau ditolak?” Aku mengangguk.
“Ditolak, diusir, bahkan diinjek-injek pun aku masih senang. Aku
kagum di Indonesia ini masih ada perempuan yang belum kepala 3 sudah
jadi doktor. Sudah jadi bintang di malam gelap bagi pelaut yang sesat.
Gila!”
Aku menunggu reaksi Ami. Tapi Ami diam saja. Ia mengambil koran dari tanganku.
“Seorang wanita adalah sebuah cahaya,” kataku selanjutnya
menggembungkan pujian, “Hanya cahaya yang bisa membuat negeri ini
bangkit dari kegelapan. Begitulah arti kehadiran perempuan. Jadi bukan
hanya memikirkan mobil, rumah mewah dan duit untuk berfoya-foya, tetapi
membangun negeri. Mengembalikan kembali greget para pemimpin negara yang
sudah bangkrut moralnya seperti sekarang. Jadi banggalah menjadi
perempuan, Ami!”
Tak ada jawaban. Waktu kutoleh ternyata Ami sudah masuk ke dalam kamar.
“Anakmu selalu begitu!” protesku kemudian kepada ibunya.
“Habis Bapak sih tidak punya perasaan!”
“Tidak punya perasaan bagaimana?”
“Masak memuji perempuan di depan anak perempuan satu-satunya?”
“Lho kenapa? Apa salahnya? Ami sudah besar. Dia harus bisa menerima kenyataan!”
“Tidak semua kenyataan harus dipujikan di depan anak!”
Aku tidak menjawab. Bukan karena tidak punya jawaban. Karena istriku
terus ngomel. Baru setelah kembali sendirian, aku muring-muring.
“Aneh! Aku tidak mengerti! Ini rumahku. Masak aku tidak
boleh memuji kalau memang ada orang cantik yang pintar. Biasanya orang
cantik kan bodoh. Atau meskipun banyak perempuan yang pintar, tapi
jarang yang cantik. Karena kecantikan dan kepintaran seperti air dan
minyak, sulit digabung. Itu fakta! Boleh tidak suka, tapi itulah
realita!”
Sepanjang malam aku jengkel. Baru surut esok paginya setelah Ami
ternyata tidak nampak sarapan. Pintu kamarnya terkunci. Berarti ia bolos
ke kampus.
“Anakmu kenapa, Bu?”
“Pasti sakit!”
Aku tak percaya. Aku ketuk pintu kamar Ami, pura-pura menanyakan, apa
dia perlu kuantar ke puskesmas. Tapi tidak ada jawaban. Ya, orang sakit
atau hanya pura-pura sakit sama saja. Mereka tidak akan mau menjawab
kalau ditanya. Aku cepat pergi ke apotek dan membeli obat maag.
“Siapa yang sakit Pak Amat?” sapa tukang warung. Aku terpaksa singgah sambil curhat.
“Pak Iskan, situ juga punya anak gadis kan?”
“Betul Pak, tapi anak saya putus sekolahnya di SMA. Putri Bapak saya dengar sudah hampir lulus sarjana?”
“Ya. Tapi kelakuannya makin kekanak-kanakan. Masak bapaknya memuji perempuan cantik dia tersinggung. Apa hubungannya?!”
Tukang warung itu, ketawa.
“Kok pakai memuji orang lain, putri Pak Amat kan cantik dan pintarnya bukan main?”
Aku tertegun.
“Kuman di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tidak kelihatan, Pak!”
Aku kontan tertawa. Tapi sebenarnya jantungku terpukul. Setelah beli
tablet kunyah untuk maag, aku bergegas pulang. Ternyata pintu kamar Ami
sudah terbuka. Hanya saja waktu aku masuk, kosong. Aku langsung ke
dapur.
“Ami mana Bu?”
“Ke rumah temannya. Kenapa?”
“Lho, bukannya sakit?”
“Katanya sudah baikan.”
Aku manggut-manggut. Aku taruh obat maag itu di atas meja belajar
Ami. Koran berisi foto doktor termuda itu tergeletak di atas buku-buku
Ami. Seakan-akan sengaja dipamerkan untuk aku yang akan melihatnya.
Langsung saja aku ungsikan, supaya jangan memicu persoalan lebih jauh.
Menjelang makan malam, ternyata Ami belum pulang. Aku mulai was-was.
“Kok Ami belum pulang, Bu?”
“Ya kan belajar di rumah temannya!”
“Tapi ini sudah malam.”
“Ya nggak apa, Ami sudah bawa salin.”
“O ya? Menginap di ruman teman?”
“Memang.”
“Kenapa?”
Istriku membentak. “Ya, belajar!”
Aku sudah biasa dibentak istri. Jadi tidak kaget. Tapi hanya Tuhan
yang tahu, bagaimana perasaan seorang bapak kalau anak perawannya larut
malam belum pulang.
“Sakit kok belajar di rumah teman. Mestinya temannya yang kemari. Aku susul saja ya?!”
“Jangan! Memang kenapa?!”
“Masak anak gadis nginap di rumah teman?”
“Apa salahnya? Memangnya zaman Sitti Nurbaya? Ami itu bukan anak-anak
lagi Pak. Dia sudah bisa mandiri. Biar saja belajar di situ supaya
dapat nilai A plus, nanti kan bisa jadi doktor.”
Aku terhenyak. Satu jam aku mondar-mandir dikili-kili perasaan. Sudah
jelas sekarang, Ami ke rumah temannya untuk melarikan perasaannya yang
tersinggung.
Aku sudah menyakiti dia. Dan penyesalan selalu terlambat. Aku jadi
sebal, kenapa masih membiarkan diri alpa. Kenapa aku tidak peka. Aku
tidak pernah lupa Ami bukan anak kecil lagi tapi perempuan dewasa.
Kenapa aku selalu memperlakukannya sebagai anak-anak yang harus selalu
dilindungi?
Tengah malam.
Aku tak bisa lagi mengendalikan perasaan. Diam-diam aku pergi
menjemput. Tapi di jalan aku baru sadar, sebenarnya aku belum tahu Ami
menginap di rumah temannya yang mana. Terpaksa aku kembali, celakanya
istriku sudah tidur. Nampaknya begitu pulas sehingga aku tidak sampai
hati membangunkan. Lagi pula buat apa membangunkan macan tidur.
Akhirnya aku terpaksa menebak-nebak. Lalu memutuskan pergi ke rumah
Rani. Dugaanku tepat. Ami sedang belajar dengan Rani. Ia kaget melihat
bapaknya datang.
“Ngapain ke mari Pak?”
“Mau jemput kamu.”
“Ami belum selesai belajar.”
“Tapi ibu kamu sakit!”
Ami terkejut. Matanya langsung berkaca-kaca seperti mau menangis. Aku
jadi iri. Aku yakin mata itu tak akan mengucurkan air kalau yang sakit
itu bapaknya. Tapi sudahlah. Biar saja. Itu memang nasib seorang bapak.
Dan aku tidak pernah menyesal jadi seorang bapak.
Ami buru-buru mengemasi buku-buku dan menyambar tas gendongnya.
“Sakit apa? Sudah dibawa ke puskesmas.”
“Tenang! Nanti Bapak ceritakan.”
Dalam perjalanan pulang, Ami mendesak terus apa sakit ibunya. Aku terpaksa berterus-terang. Lalu blak-blakan minta maaf. Ami bingung.
“Bapak kok minta maaf sama aku?”
“Ya. Harus!”
“Kenapa?”
“Aku salah!”
“Apa salah Bapak?”
“Bapakmu ini sudah manula Ami. Bapak sudah kena biasan pendidikan
kolonial, jadi kuno. Bapak minta maaf sebab bapak sudah menyinggung
perasaanmu. Bukan maksud Bapak untuk menyindir. Sama sekali bukan.
Seperti kata pepatah, burung terbang di langit dicari, burung di tangan
dilepaskan. Kuman di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tidak
kelihatan. Bapak minta maaf.”
Ami tertawa.
“Kamu jangan menertawakan orang yang minta maaf.”
“Sama sekali tidak. Tapi Bapak salah alamat.”
“Salah alamat bagaimana?”
“Bapak menyangka saya sudah tersinggung?”
“Ya. Kamu sebenarnya tidak sakit dan tidak sedang belajar. Kamu pasti
hanya muak pada kelakuan Bapak yang kurang menghargai kamu. Bapakmu ini
memang laki-laki kuno. Sudah ketinggalan sepur. Dulu orang tua untuk
merangsang anaknya maju biasanya dengan cara membanding-bandingkan. Kata
Pak Iskan tukang warung itu, sebaliknya daripada silau oleh kehebatan
orang lain, harusnya Bapak bangga pada kamu, sebab kamu cantik dan
pintar, Ami!”
Ami tertawa.
“Salah alamat, Pak!”
“Salah alamat bagaimana?”
“Yang tersinggung itu bukan Ami, tapi ibu.”
“Ah?”
“Ibu. Ibu yang menyuruh Ami jangan keluar kamar, jangan makan malam di meja makan dan pergi nginap belajar di rumah Rani.”
Aku terpesona.
“Jadi ibu kamu?”
“Ya!”
Aku bengong.
“Ya sudah kalau begitu, kamu kembali ke rumah Rani, belajar terus
sampai pagi, supaya bisa jadi doktor! Kalau perlu nginap samalam lagi di
situ. Biar Bapak pulang!”
“Tapi ibu?”
“Ibu kamu tidak tidak apa-apa. Bapakmu ini yang sakit!”
Ami tersenyum.
“Ayo Ami kita kembali ke rumah Rani.”
“Tidak usah!”
“Tapi kamu harus belajar supaya dapat A plus!”
“Ami sudah selesai ujian.”
“O ya? Jadi ngapain kamu di rumah Rani?”
“Di suruh ibu!”
Aku terhenyak lagi.
“Tadi sebelum Bapak datang, ibu menelepon. Kalau dijemput Bapak jangan mau!”
“O begitu?”
“Ya.”
“Tapi kenapa kamu mau Bapak bawa pulang?”
“Sebab Ami ingin Bapak cepat-cepat pulang dan langsung pulang, jangan
pakai singgah di warung Pak Iskan lagi. Lihat itu ibu sudah menunggu.”
Ami menunjuk ke rumah. Ternyata istriku, bukan tidur pulas seperti kukira, tapi dia menunggu di teras rumah.
“Bapak harus bersyukur. Bapak punya seorang istri yang menyayangi
Bapak seperti itu. Tapi ibu memang tidak suka menunjukkan perasaannya
itu, karena dia terdidik untuk menyimpannya. Tidak seperti Ami dan
perempuan-perempuan sekarang yang memang harus berani mengutarakan
perasaan, karena zaman sudah berubah. Bapak pulang saja, sudah
ditunggu.”
“Kamu?”
“Saya kembali ke rumah Rani, sebab dia sudah menunggu. Itu dia!”
Ami menunjuk ke belakang. Aku terkejut. Rani di atas motor bebeknya
ketawa sambil melambaikan tangannya di bawah bayang-bayang pohon.
Perasaanku kacau. Aku malu. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.
Rasanya tak ada yang sudah kupelajari dalam kehidupan yang sudah ubanan
ini. Aku kira aku sudah tahu banyak, tapi jangankan perasaan istriku,
perasaan anakku juga aku tak tahu. Aku murid yang tak pernah naik kelas.
“Ayo Pak, cepat pulang, bawa ibu ke dalam, nanti dia masuk angin!”
Ami mendorongku pulang, lalu berbalik ke arah Rani. Dia naik ke boncengan Rani dan melambai.
“Besok saya nginap lagi semalam!”
“Jangan!”
“Itu perintah ibu!”
Ah? Apalagi itu. Motor telah berbelok dan lenyap di tikungan. Tinggal
aku. Ketika aku menoleh, istriku juga sudah tidak ada lagi di teras.
Mungkin dia tahu aku datang karena bunyi motor itu. Seperti anak muda
yang baru kali pertama mengunjungi rumah pacarnya, aku melangkah pulang.
Kenapa begitu banyak rahasia yang luput kutahu. Tetapi justru karena
tak pernah benar-benar tahu itulah aku jadi terus ingin tahu dan
mengejarnya. Goblok banget kalau selama ini aku merasa sendirian. Itu di
situ, bukan hanya rumahku, tapi istriku menunggu. Bagaimana aku tidak
akan mencintainya. (*)
Jakarta, 9 Pebruari 2010
(buat sahabatku Iskan)
2010
Cerpen Putu Wijaya (Jawa Pos, 3 Januari 2010)
TAK terasa 2010 datang. Semua orang bertanya, apa yang akan terjadi?
“Kalau boleh memilih, lebih baik para koruptor, manipulator tertidur
pulas semuanya. Negara kita akan aman. Ketimbang banyaknya para dermawan
yang rajin menyumbang bencana alam ataupun kemiskinan, yang akhirnya
jadi dagelan, karena semua jatuhnya bukan ke tangan korban yang
sebenarnya!” kata seorang tetangga.
Saya manggut-manggut.
“Setuju. Tapi kalau dipikir-pikir, segala bencana yang menimpa kita
itu sebenarnya sebuah pembelajaran!” jawab saya, “Bayangkan, dengan
adanya berbagai rongrongan, justru hukum kita, para cendekiawan kita,
para politisi kita, bahkan juga wartawan dan rakyat jelata, jadi
terlatih untuk bersikap awas dan kritis! Ya, nggak?!”
Tetangga itu ganti manggut-manggut.
“Memang dalam ilmu persilatan, pendekar-pendekar dari Shaolin itu
berlatih dengan cara disiksa! Tapi bangsa ini kan bukan pendekar silat.
Jangankan main silat, memainkan lidah saja tidak mampu karena tiap hari
sudah kena tipu. Yang kita perlukan di tahun 2010 adalah kiamatnya
kejahatan, matinya semua koruptor dan manipulator, termasuk
pemimpin-pemimpin yang hanya memperkaya dirinya sendiri! Supaya rakyat
banyak bisa hidup! Selama mereka yang hidup kita akan terus dikubur!”
Tanpa peduli reaksi saya tetangga itu kontan cabut pergi. Saya lalu pulang dan menjual kembali obrolan itu di rumah.
“Jadi kita wajib mensyukuri juga segala rongrongan yang sudah
terjadi, karena berkat itulah kita menjadi dewasa. Lihat saja, kalau
tidak ada pencuri yang membobol rumah kita, kita tidak akan pasang
terali besi, sehingga ketika tetangga-tetangga habis disikat oleh
pencuri, satu-satunya yang selamat adalah rumah kita ini,” kata saya
berpidato di depan siapa lagi kalau bukan istri.
Tapi seperti biasa, istri saya sama sekali tidak menanggapi. Saya terpaksa mencari anak saya.
“Bagaimana pendapatmu, Ami?”
“Tentang apa?”
“Apa yang kamu harapkan akan terjadi di tahun 2010?”
“Hanya satu!”
“Apa?”
“Bapak beli mobil!”
Saya kecewa.
“Jawaban kamu menunjukkan bahwa kamu juga sudah terperangkap pada kebutuhan materi! Semua diukur dengan mobil. Kamu payah, Ami!”
Ami tertawa.
“Habis yang ditanya harapan.”
“Memang! Tapi jangan salah! Harapan itu bukan mimpi. Itu namanya
ngelamun. Harapan itu keinginan keras untuk mewujudkan sesuatu yang ada
hubungannya dengan kebersamaan. Jangan hanya untuk kepentingan diri
sendiri, thok!”
Saya hampir saja memberi kuliah panjang lebar, keburu istri saya muncul dari rumah tetangga.
“Bapak kok belum berangkat juga?”
“Ke mana?”
“Ya nengok tetangga yang diopname itu. Nanti dia keburu pulang!”
“Orang sudah mau pulang buat apa lagi ditengok?”
“Justru harus ditengok sebelum pulang. Itu yang disebut silahturahmi.
Kalau terlambat, nanti didahului keluarganya yang sudah siap-siap mau
jemput. Ayo cepetan ke situ, sebelum dia pulang. Dulu kan dia yang
paling rajin nengok waktu Bapak sakit?! Cepet!”
Saya terpaksa buru-buru ganti pakaian, lalu keluar rumah.
“Naik apa?”
“Naik ojek saja. Nanti orangnya keburu pulang!”
Istri saya mengulurkan ongkos ojek.
“Cepet!”
Saya menyambut uang itu, lalu terbang. Tapi di mulut jalan yang
biasanya ramai tukang ojek, sama sekali sepi. Setengah jam saya
menunggu, tak satu pun hidung tukang ojek yang nongol. Karena tidak
sabar, akhirnya saya naik angkot.
Tapi begitulah angkot. Tiap sebentar berhenti, seperti anjing yang
tiap beberapa meter kencing. Belum lagi jalanan macet. Bahkan angkot
sengaja masuk ke terminal dan antre di belakang angkot-angkot lain untuk
menjaring penumpang yang dengan malasnya turun dari bus.
Hampir dua jam saya baru sampai di rumah sakit. Begitu masuk ke kamar
yang menurut istri saya dihuni tetangga kami, orangnya sudah pergi. Di
tempat tidurnya sudah ada pasien lain.
“Baru saja pulang, Pak,” kata perawat.
Saya misuh-misuh, lalu berbalik pulang. Saya langsung ke rumah
tetangga yang sakit itu. Anehnya, rumah itu juga sepi. Kata yang jaga
rumah, semua baru saja berangkat ke rumah sakit untuk menjemput. Amat
membingungkan. Setelah dicek dengan teliti, ternyata kamar yang tadi
saya masuki salah.
Gila. Tergopoh-gopoh saya kembali ke rumah sakit. Tapi, sekali lagi,
saya terlambat. Kamar itu sudah kosong. Dengan heran, perawat yang sama
memberi keterangan yang sama: “Baru saja pulang, Pak!”
Dengan amat sangat kesal saya keluar dari rumah sakit. Untuk
mengobati hati saya yang luka, saya tidak segera pulang. Pulang juga
tidak ada gunanya, hanya akan didamprat istri. Saya coba menenangkan
otak dengan jalan-jalan ke mal. Meskipun dihina banyak orang bahwa
mal-mal yang balapan –bahkan maksa-maksa– berdiri di semua kota sudah
membunuh pasar tradisional, nyatanya pusat perbelanjaan itu menjadi
hiburan buat rakyat jelata.
Tapi, tak disangka-sangka, ketika masuk restoran mau makan ayam
goreng buatan Amerika, saya berpapasan dengan tetangga yang sakit itu.
Ia kelihatan lebih sehat dari orang sehat. Saya tak habis pikir, orang
sebugar itu kok masuk rumah sakit.
“Pak Amat mau ke mana?”
“Habis dari rumah sakit, mau nengok Anda. Tapi katanya baru saja pulang. Sudah sembuh ya?”
Dia tertawa.
“Belum.”
“Belum kok sudah gentayangan di mal?”
“Ya itulah gunanya mal. Ini rumah sakit yang paling baik untuk cuci mata dan cuci otak di samping cuci kantong. Ya kan, Pak?”
Dia tertawa lagi dan mengguncang tangan saya.
“Jadi?”
“Saya mau pindah ke rumah sakit lain. Di situ tidak betah. Perawatnya
judes-judes. Tapi, sebelum masuk rumah sakit, saya pingin makan burger.
Sudah dua minggu ini makan daging busuk yang direndam air comberan.
Mana ada makanan enak di rumah sakit, ya kan, Pak?!”
“O, begitu?”
“Ya iyalah, Pak. Hidup ini kan hanya sekali, jadi harus dinikmati.
Buat apa kita banting tulang cari uang melulu. Jadi kalau uangnya sudah
didapat mesti dibanting balik supaya bisa kita cari lagi. Ya kan, Pak!”
Dia tertawa lagi. Waktu itu saya mulai yakin bahwa dia memang sakit.
“Jadi mau masuk rumah sakit lagi?”
“Ya. Mau pindah rumah sakit. Seminggu di situ saya mules-mules dan muntah terus habis makan.”
“Jadi sekarang mau ke rumah sakit mana?”
“Tidak. Sekarang mau pulang dulu.”
“Pulang?”
“Ya. Habis sudah sehat, kan sudah makan burger. Terima kasih sudah nengok!”
Dia mengguncang tangan saya lalu pergi. Saya menatap takjub. Makanan
cepat yang sering dikutuk sebagai sampah dan racun itu, ternyata sudah
bikin dia sehat. Saya jadi merasa diri saya bego.
“Banyak sekali yang sudah berubah,” komentar hati kecil saya, “orang
ke rumah sakit tidak karena sakit lagi, tapi karena mau istirahat dan
dapat pelayanan yang manis dari para perawat yang sudah terlatih untuk
memanjakan pasien. Rumah sakit sudah jadi bisnis rumah
bersenang-senang.”
Langit sudah dimerahkan ketika saya kembali ke rumah. Istri saya
tidak ada. Kata Ami sudah sejak tetangga itu pulang, ibunya ngerumpi di
tetangga. Saya melanjutkan termangu-mangu dan ngobrol dengan perasaan
saya.
Ami jadi penasaran.
“Bapak kenapa?”
“Kamu percaya tidak, Ami?”
“Apa?”
“Rumah sakit bukan lagi rumah sakit. Rumah sakit adalah tempat untuk mendapat kemanjaan buat orang-orang yang berduit.”
“Memang.”
Saya tercengang.
“O ya, jadi kamu setuju?”
“Bukan setuju atau tidak. Faktanya memang begitu!”
“Tapi kamu setuju atau tidak?”
“Kenapa mesti setuju atau tidak? Saya tidak dalam posisi itu!”
Saya menatap anak saya. Lalu saya bertambah yakin bahwa dia memang
makhluk lain yang datang dari planet lain. Bukan sejenis saya atau istri
saya.
“Kok Bapak melotot begitu?”
“Kamu aneh!”
“Saya atau Bapak yang aneh?”
Kami saling memandang. Dan saya tahu kami memang sama-sama merasa
aneh. Dan itu tidak ada kesepakatan. Saya selalu membiarkan perbedaan
itu mengapung di antara kami yang menjadi pembelajaran kami setiap hari
dalam banyak hal. Dari sana saya mulai banyak memahami berbagai hal.
Tidak seperti biasanya, saya mencoba berdamai.
“Kalau begitu, Bapak sekarang mengerti mengapa harapanmu pada tahun 2010 itu hanya mobil.”
“O begitu?”
“Ya. Sebab mobil buat kamu, bukan lagi kendaraan mewah, seperti waktu
Bapak muda. Waktu muda Bapak menganggap mobil adalah kendaraan
dewa-dewa. Siapa yang punya mobil berarti dewa. Mobil adalah status
sosial. Tapi sekarang mobil hanya alat transportasi. Kelengkapan
bekerja, seperti alas kaki atau sepeda yang sangat penting karena
kecepatan adalah tuntutan masyarakat kota yang serba bergegas.”
Ami ketawa.
“Salah.”
“Salah?”
“Ya! Ami menyebut mobil hanya untuk mancing, supaya Bapak ingat kembali pada cita-cita Bapak yang sudah mulai luntur.”
“Cita-citaku yang sudah luntur?”
“Persis!”
“Ngarang! Cita-citaku tidak pernah luntur!”
“O ya? Apa cita-cita Bapak yang tidak pernah luntur itu?”
Saya terkejut lalu segera mulai membongkar-bongkar. Tapi terlalu lama. Ami kontan mengejar.
“Apa coba?”
Saya masih memilih-milih. Kemudian istri saya muncul. Rupanya ia
sudah mendengarkan sejak tadi, lalu langsung menolong saya menjawab.
“Hidup harus diabdikan pada kepentingan bersama!”
Ami tertawa lalu masuk ke kamarnya. Istri saya tersenyum. Dia kembali
berhasil memberikan saya tamparan yang telak. Padahal, kendati memang
saya yang melakukannya, tetapi sebenarnya inspirasinya datang dari dia
juga. Dialah yang sudah memprovokasi suaminya, saya yang lemah ini,
terus mencari peluang untuk meningkatkan kenyamanan hidup dengan dalih
masa depan yang lebih baik. Tak peduli itu bisa mengganggu kenyamanan
orang lain.
“Bapak yang baru kembali dari rumah sakit itu memergoki Bapak tadi di mal makan ayam goreng Amerika ya?”
Saya tertawa.
“Bukan dia, aku yang memergoki dia makan burger. Orang sakit kok makan makanan sampah di mal!”
“Itu dia. Makanya dia masuk rumah sakit! Bapak mau ikut-ikutan sakit?!”
Saya tidak meneruskan percakapan itu. Saya tidak perlu menang di
dalam rumah. Yang penting istri tersenyum dan anak tertawa, itu
kebahagiaan saya. Besoknya saya jumpai tetangga.
“Saya kira Bapak betul,” kata saya mencoba membuka percakapan yang tertunda sebelumnya.
Tetangga itu tercengang.
“Apanya yang betul?”
“Ya. Kita tidak perlu dermawan. Cukup asal para koruptor, manipulator
dan pemimpin-pemimpin palsu itu tidur, negeri kita pasti akan aman.”
Tetangga itu memperhatikan saya dengan sinis.
“O, jadi itu sebabnya Bapak belum mengembalikan edaran sumbangan warga itu?”
“Ah? Edaran sumbangan apa?”
“Edaran sumbangan dari warga untuk diberikan kepada para satpam
sebagai hadiah tahun baru atas pengabdian mereka 24 jam bertugas tiap
hari itu?”
Saya tertegun.
“Ya Pak?”
Akhirnya saya terpaksa menjawab.
“Ya.”
“Kenapa?”
“Sebab itu akan mengajarkan mereka moral pengemis. Bukan etos kerja
profesional. Mereka harus bangga sebagai petugas keamanan, sebab itu
profesi mereka dan mereka profesional. Jangan hanya bekerja untuk
menunggu kita mengedarkan surat edaran para warga untuk diberikan
sebagai sumbangan. Itu pengemisan. Naikkan gaji mereka sesuai dengan
pekerjaannya yang berat berjaga 24 jam tiap hari. Buat mereka bangga
pada pekerjaannya dan menjadi profesional!”
Tetangga saya hanya manggut-manggut. Nampak kagum. Dia pasti tidak
ingat, yang dulu, pertama dan paling getol menolak kenaikan gaji satpam
adalah saya. Karena saya lihat mereka semua pemalas. Kebanyakan tidur
bahkan sering meninggalkan gardu jaganya kosong.
Sebelum tetangga itu sadar bagaimana caranya menjawab dengan telak,
saya langsung ngacir untuk menutupi rasa malu. Ketika melintas di depan
gardu satpam, saya berhenti, lalu membagikan kepada keenam satpam yang
kebetulan sedang kumpul di situ masing-masing selembar 50 ribuan. Supaya
meredam api amarah, kalau omongan saya ke tetangga tadi, nanti masuk ke
telinga mereka.
Sambil menunggu kehadiran 2010 saya selalu berpikir bahwa tak ada
obat yang mujarab. Semua memerlukan proses. Banyak lubang yang akan
terus bertambah, kalau yang kita sumbat hanya satu-satu. Mesti semuanya.
Dan itu memerlukan waktu, sebab kita semua sekarang memandang dari kaca
mata yang berbeda-beda.
“2010 hanya 2 tahun dari kiamat yang diramalkan suku Maya yang
keseramannya sudah dibayangkan oleh film yang nyaris dilarang MUI itu,
memerlukan kesabaran kita. Boleh banyak berharap, tetapi banyak khawatir
juga perlu, supaya berimbang sehingga kita tetap awas,” komentar hati
kecil saya.
Istri saya mendengar, lalu ngomel, seperti biasa.
“Sabar itu tidak berarti diam. Itu namanya malas. Sabar itu adalah
tahan banting sembari terus mencari peluang untuk membuat istrimu selalu
senyum, anakmu tertawa, rumahmu bercahaya, dan para tetangga menyapa
ramah!”
Anak saya juga nimbrung.
“2010 tak akan jadi datang, kalau kita hanya mau menerima separonya.
Mesti diterima penuh. Total. Tidak berarti menerima itu setuju atau
tidak setuju, tapi berani menghadapinya lalu menyelesaikannya secara
jantan!”
Saya mencoba tertawa.
Di tahun 2010, apakah matahari masih akan terbit setiap hari di timur
dan tenggelam di barat? Apakah malam tetap silih bergantian dengan
siang? Adakah hal-hal yang baik masih saling berselipan dengan yang
buruk? Akankah hidup kembali menjadi hidangan sepiring gado-gado?
Berbagai unsur tersaji, tinggal siapa dan bagaimana menyantapnya.
Semuanya dikembalikan kepada manusia yang akan mengisinya.
Kepada setiap orang apa ada kesempatan menuliskan riwayat hidupnya.
Bahwa menolak dan pasrah tidak berarti akan dituliskan, tetapi sudah
merakit sendiri. Bahwa manusia selalu mendapatkan peranan dan
menjalankan peranan. Bahkan kematian dan kemusnahan pun tidak memutuskan
riwayatnya.
Kearifan lokal mengatakan ada itu tak ada, tak ada itu ada. Maka 2010
sudah datang sebelum datang. Dan sudah pergi sebelum kita alami. Kita
tak pernah tahu hanya peran pembantu yang tak mampu mengubah nasib. Kita
adalah para penulis yang mencipta dan meletakkan sendiri bagaimana
cerita akan berjalan atas kehendak-Nya.
Tiba-tiba HP saya ada SMS:
“Kecemasan itu perlu untuk membatalkan yang tidak kita kehendaki
mungkin terjadi. Baik Djojobojo, Nostradamus atau suku Maya, mereka
sudah memahaminya. Ramalan adalah sebuah kearifan lokal untuk
membalikkan takdir menjadi nasib yang ditulis oleh manusia, tetapi
semuanya juga atas kehendak-Nya.”
Siapa yang sudah mengirim pesan itu?
“Aku,” bisik 2010.
Saya pikir, tak ada kata akhir, selama kita masih mau berpikir. (*)
Jakarta, 16 Desember 09
No comments:
Post a Comment