BAB
I
BENTUK
METODE
1.1 Diksi
Untuk ketepatan pemilihan kata
sering kali penyair menggantikan kata yang dipergunakan berkali-kali yang
dirasa belum tepat, diubah kata-katanya.
Seperti pada baris kedua: bait
pertama
“Ku mau tak seorang ’kan merayu”
Merupakan pengganti dari kata “ku
tahu”.
“kalau sampai waktuku”
dapat berarti “kalau aku mati”
“tak perlu sedu sedan“
dapat bererti “berarti tak ada
gunannya kesedihan itu”. “Tidak juga kau” dapat berarti “tidak juga engkau
anaku, istriku, atau kekasihku”.
1.2 Kata Nyata
Secara makna, puisi Aku tidak
menggunakan kata-kata yang terlalu sulit untuk dimaknai, bukan berarti dengan
kata-kata tersebut lantas menurunkan kualitas dari puisi ini. Sesuai dengan
judul sebelumnya, puisi tersebut menggambarkan tentang semangat dan tak mau
mengalah, seperti Chairil itu sendiri.
1.3 Majas
Dalam sajak ini intensitas
pernyataan dinyatakan dengan sarana retorika yang berupa hiperbola, dikombinasi
dengan ulangan, serta diperkuat oleh ulangan bunyi vokal a dan u ulangan bunyi
lain serta persajakan akhir seperti telah dibicarakan di atas.
Hiperbola tersebut :
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar perlu menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
………
Aku ingin hidup seribu tahun lagi
Gaya tersebut disertai ulangan i-i
yang lebih menambah intensitas :
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku ingin hidup seribu tahun lagi
Dengan demikian jelas hiperbola
tersebut penonjolan pribadi tanpa makin nyata disana ia mencoba untuk nyata
berada di dalan dunianya.
1.4 Pengimajian
Melalui diksi, kata nyata, dan majas
yang digunakannya, penyair berupaya menumbuhkan pembayangan para penikmat
sajak-sajaknya. Semakin kuat dan lengkap pembayangan yang dapat dibangun oleh
penikmat sajak-sajaknya, maka semakin berhasil citraan yang dilakukan penyair.
Di dalam sajak ini terdapat beberapa pengimajian, diantaranya :
‘Ku mau tak seorang ’kan merayu
(Imaji Pendengaran)
‘Tak perlu sedu sedan itu’ (Imaji
Pendengaran)
‘Biar peluru menembus kulitku’
(Imaji Rasa)
‘Hingga hilang pedih perih’ (Imaji
Rasa).
1.5 Versifikasi
Ritme dalam puisi yang berjudul
‘Aku’ ini terdengar menguat karena ada pengulangan bunyi (Rima) pada huruf
vocal ‘U’ dan ‘I’
Vokal ‘U’pada larik pertama dan ke
dua, pengulangan berseling vokal a-u-a-u
Larik pertama ‘Kalau sampai
waktuku.’
Larik kedua ‘Ku mau tak seorang-’kan
merayu.
Larik kedua ‘Tidak juga kau’.
Pengulangan vokal ‘I’:
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih perih
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
1.6 Tipogafri
Tipografi atau disebut juga ukiran
bentuk. Dalam Puisi didefinisikan atau diartikan sebagai tatanan larik, bait,
kalimat, frase, kata dan bunyi untuk menghasilkan suatu bentuk fisik yang mampu
mendukung isi, rasa dan suasana. Namun dalam sajak ‘Aku’ karya Chairil Anwar
tidak menggunakan tipografi.
BAB
II
HAKEKAT
PUISI
2.1 Tema atau Sense
Tema dalam puisi ‘AKU’ ini adalah
perjuangan seperti pada baris keempat dan kelima :
‘Biar peluru menembus kulitku’
‘Aku tetap meradang menerjang’.
2.2 Feeling atau Rasa
Feeling atau Rasa merupakan salah satu
unsur isi yang dapat mengungkapkan sikap penyair pada pokok persoalan puisi.
Pada puisi di atas merupakan eskpresi jiwa penyair yang menginginkan kebebasan
dari semua ikatan. Di sana penyair tidak mau meniru atau menyatakan kenyataan
alam, tetapi mengungkapkan sikap jiwanya yang ingin berkreasi. Sikap jiwa “jika
sampai waktunya”, ia tidak mau terikat oleh siapa saja, apapun yang
terjadi, ia ingin bebas sebebas-bebasnya sebagai “aku”. Bahkan jika ia terluka,
akan di bawa lari sehingga perih lukanya itu hilang. Ia memandang bahwa dengan
luka itu, ia akan lebih jalang, lebih dinamis, lebih vital, lebih bergairah
hidup. Sebab itu ia malahan ingin hidup seribu tahun lagi. Uraian di atas
merupakan yang dikemukakan dalam puisi ini semuanya adalah sikap chairil yang
lahir dari ekspresi jiwa penyair.
2.3 Tone atau Nada
Kalau feeling menggambarkan sikap
penyair kepada pokok persoalan puisinya, sedangkan tone atau nada merupakan
unsur isi yang menggambarkan sikap penyair kepada pembacanya.
Dalam Puisi ‘Aku’ terdapat kata ‘Tidak
juga kau’, Kau yang dimaksud dalam kutipan diatas adalah pembaca atau
penyimak dari puisi ini. Ini menunjukkan betapa tidak pedulinya Chairil dengan
semua orang yang pernah mendengar atau pun membaca puisi tersebut, entah itu
baik, atau pun buruk. Disamping Chairil ingin menunjukkan ketidakpeduliannya
kepada pembaca, dalam puisi ini juga terdapat pesan lain dari Chairil, bahwa
manusia itu itu adalah makhluk yang tak pernah lepas dari salah. Oleh karena
itu, janganlah memandang seseorang dari baik-buruknya saja, karena kedua hal
itu pasti akan ditemui dalam setiap manusia. Selain itu, Chairil juga ingin
menyampaikan agar pembaca tidak perlu ragu dalam berkarya. Berkaryalah dan
biarkan orang lain menilainya, seperti apa pun bentuk penilaian itu.
2.4 Amanat
Amanat dalam Puisi ‘Aku’ karya
Chairil Anwar yang dapat saya simpulkan dan dapat kita rumuskan adalah
sebagai berikut :
- Manusia harus tegar, kokoh, terus berjuang, pantang mundur meskipun rintangan menghadang.
- Manusia harus berani mengakui keburukan dirinya, tidak hanya menonjolkan kelebihannyasaja.
- Manusia harus mempunyai semangat untuk maju dalam berkarya agar pikiran dan semangatnya itu dapat hidup selama-lamanya.
BAB
III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Dari ulasan tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa setiap seniman atau sastrawan dalam
membuat suatu karyanya dapat
menggunakan berbagai macam caranya. Salah satu caranya
dengan mengekspresikan karyanya
sebagai gundahan, gejolak, pengalaman, bayang-bayang
yang sebagai media penyaluran
karyanya untuk dapat dinikmati oleh umum.
Kiasan-kiasan yang dilontarkan oleh
Chair Anwar dalam puisinya menunjukan bahwa di dalam dirinya mencoba
memetaforakan akan bahasa yang digunakan yang bertujuan mencetusan langsung
dari jiwa. Cetusan itu dapat bersifat mendarah daging, seperti sajak “aku”.
Dengan kiasan-kiasan itu gambaran menjadi konkrit, berupa citra-citra yang
dapat diindra, gambaran menjadi nyata, seolah dapat dilihat, dirasakan
sakitnya. Di samping itu kiasa-kiasan tersebut menyebabkan kepadatan sajak. Untuk
menyatakan semangat yang nyala-nyala untuk merasakan hidup yang
sebanyak-banyaknya digunakan kiasan “aku mau hidup seribu tahun lagi”.
Jadi, di sini kelihatan gambaran bahwa si aku penuh vetalitas mau mereguk hidup
ini selama-lamanya. Jadi berdasarkan dasar konteks itu harus ditafsirkan bahwa
Chairil Anwar dalam puisi “aku” dapat didefinisaikan sebagai bentuk
pemetaforaan bahasa atau kiasan bahwa yang hidup seribu tahun adalah
semangatnya bukan fisik.
No comments:
Post a Comment