TANYA JAWAB DENGAN SYEH SITI JENAR
Ajaran
Syekh Siti Jenar dikenal sebagai ajaran ilmu kebatinan. Suatu ajaran
yang menekankan aspek kejiwaan dari pada aspek lahiriah yang kasat mata.
Intinya ialah konsep tujuan hidup. Titik akhir dari ajaran Siti Jenar
ialah tercapainya manunggaling kawula-Gusti. Yaitu bersatunya
antara roh manusia dengan Dzat Allah. Paham inilah yang hampir sama
dengan ajaran para zuhud, wali dan orang-orang khowash. Zuhud banyak
dijumpai dalam dunia tasawuf. Mereka merupakan orang-orang atau kelompok
yang menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan duniawi. Sebab
mereka mempunyai tujuan hidup yang lebih utama, yakni ingin mencapai
kesucian jiwa atau roh.
Inti ajaran Syeh Siti Jenar adalah pencapaian spiritualitas yang tinggi dalam penyatuan antara makhluk dengan Dzat Pencipta, yang lebih populer disebut sebagai manunggaling kawula-Gusti.
Bagian-bagian dari ajaran itu adalah meliputi penguasaan hidup,
pengetahuan tentang pintu kehidupan, tentang kematian, tempat kelak
sesudah ajal, hidup kekal tak berakhir, dan tentang kedudukan Yang
Mahaluhur. Paham yang hampir senada dengan falsafah Jawa kuno.
Suatu ketika Syeh Siti Jenar mengajarkan ilmu kepada para murid-muridnya. Syeh Siti Jenar berkata,”Manusia harus berpegang pada akal, meyakini pula dua puluh sifat yang dimiliki Allah”.
Antara lain yakni; wujud, tak berawal, tak berakhir, berlainan dengan
barang baru, berkuasa, berkehendak, berpengetahuan, memiliki ilmu secara
hakikat dan sebagainya. Para santri mengajukan pertanyaan- pertanyaan
sebagai berikut;
Tentang Ketuhanan
M (murid) ; Apakah wujud dari Tuhan itu dapat dimiliki oleh manusia ?”
S (Syeh Jenar) ;
Memang, sifat wujud itu bisa dimiliki manusia dan itulah inti dari
ajaran ini. Selama manusia mampu menjernihkan kalbunya, maka ia akan
mempunyai sifat-sifat itu. Sifat tersebut pun sudah kumiliki. Kalian
bisa melakukannya dengan mengamalkan apa yang hendak kuajarkan. Allah
adalah satu-satunya yang wajib disembah. Dia tidak tampak dan tidak
berbentuk. Tidak terlihat oleh mata. Sedangkan alam dan segala isinya
merupakan cerminan dari wujud Allah yang tampak. Seseorang bisa meyakini
adanya Allah karena ia melihat pancaran wujudNya melalui jagad raya
ini. Allah tidak berawal dan berakhir, memiliki sifat langgeng, tak
mengalami perubahan sedikitpun. Allah berada di mana-mana, bukan ini dan
bukan itu. Dia berbeda dengan segala wujud barang baru yang ada di
dunia.
M ; Wahai Kanjeng Syeh, jelaskan kepada kami tentang hakikat kodrat !”
S ;
Kodrat adalah kekuasaan pribadi Tuhan. Tak ada yang menyamainya.
KekuatanNya tanpa sarana. kehadiranNya berasal dari ketiadaan, luar dan
dalam tiada berbeda. Tak dapat ditafsirkan. Jika engkau menghendaki
sesuatu maka pasti kalian rencanakan matang-matang dan pasti pikirkan
berulang-ulang. Itupun masih sering meleset. Namun Allah tidak demikian,
bila menghendaki sesuatu tak perlu dipersoalkan terlebih dahulu.
M ; Kalau begitu Allah tidak memerlukan sesuatu ?
S ;
Benar Allah tidak memerlukan sesuatu. Karena itu jika kalian hidup
tanpa memerlukan sesuatu, tanpa butuh harta benda, tanpa butuh jabatan,
tanpa butuh pujian, maka kalian akan merasakan hidup yang sesungguhnya.
Kalian akan memiliki sifat Allah tersebut.
M ; Kalau manusia menghindari sesuatu dan merasa tidak memerlukan apapun, apakah akhirnya dapat disamakan dengan Allah ?
S ;
Tidak ! walaupun manusia hidup tanpa bergantung sama sekali kepada
duniawi, namun ia tetap berbeda dengan Allah. Tidak bisa disamakan
dengan Tuhan. Allah adalah pencipta dan kalian adalah yang diciptakan.
Allah berdiri sendiri, tanpa memerlukan bantuan. Hidupnya tanpa roh,
tidak merasa sakit dan kesedihan, Allah muncul sekehendaknya.
M ; Jika Allah berkehendak, maka apakah kehendak seseorang itu karena kemauan Allah ?
S ;
Untuk sampai pada jawaban itu, kita harus membedakan seseorang mana.
Manusia itu dibedakan menjadi beberapa tingkatan. Ada yang awam, ada yang
khowash. Orang awam hanya beribadah secara syariat, tanpa dapat
memelihara kalbu, maka ia masih jauh bisa berhubungan dengan Allah.
Sedangkan orang-orang khowash, termasuk para nabi, rasul, dan
waliyullah, mereka beribadah secara utuh. Bahkan sampai pula pada
tingkatan hakikat. Kalau kalbunya sudah bersih dari duniawi dan menyatu
dengan cahaya Ilahi, maka kehendak dan kemauannya itu berasal dari
Allah. Perbuatannya adalah perbuatan Allah. Maka jangan heran jika ada
orang yang diberi karomah sehingga segala ucapannya menjadi bertuah.
M ; Kalau begitu, ibadahnya orang yang sudah khowash itu merupakan kehendak Allah ?
S ;
Benar ! mereka mempunyai kejernihan akal budi. Memiliki kebersihan jiwa
dan ilmu. Shalat lima waktu dan berzikir merupakan kehendak yang sangat
dalam. Bukan kehendak nafsunya, namun kehendak Allah. Semangatnya
sedemikian besar. Mereka shalat tidak mengharapkan pahala, tetapi
merupakan suatu kewajiban (diri) dan pengabdian. Badan haluslah yang
mendorong untuk menjalankan.
M ; Banyak orang melakukan shalat tetapi tidak menyentuh kepada Yang Disembah. Ini bagaimana ?
S ;
Memang banyak orang yang secara lahiriah tampak khusuk shalatnya.
Bibirnya sibuk mengucapkan zikir dan doa-doa, namun hatinya ramai oleh
urusan duniawi mereka. Islam yang demikian ini ibarat kelapa, mereka
hanya makan serabutnya. Padahal yang paling nikmat adalah buah/daging
kelapa dan air kelapanya. Mereka sembahyang lima waktu sebatas lahiriah
saja. Tidak berpengaruh sama sekali kepada akal budinya. Padahal
sembahyang itu diharapkan dapat mencegah keji dan munkar namun mereka
tak mampu melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Kalaupun hakikat
shalatnya itu membekas pada budinya itupun hanya sedikit. Buat apa
sembahyang lima kali jika perangainya buruk ? masih suka mencuri dan
berbohong. Untuk apa bibir lelah berzikir menyebut asma Allah, jika
masih berwatak suka mengingkari asma. Kadang-kadang pula mereka berharap
pahala. Shalatnya saja belum tentu dihargai oleh Allah, tetapi
buru-buru meminta balasan,…..aneh!
M ; Wahai
Syeh, ada hadits Rasulullah yang menyebutkan bahwa amal hamba yang
pertama kali diperhitungkan adalah sembahyang. Jika sembahyangnya baik,
maka semua dianggap baik. Ini bagaimana ?
S ;
Itu perlu ditafsirkan. Tidak boleh dipahami secara dangkal makna dari
hadits tersebut. Hadits itu mengandung logika sebagai berikut; Orang
yang tekun mengerjakan sembahyang dengan sempurna, maka perilaku, budi
pekerti dan kalbunya juga harus terpengaruh menjadi baik. Sebab
sembahyang yang dilakukan dengan jiwa yang bersih akan berpengaruh pula
bagi cabang kehidupan lainnya. Lebih lanjut Syeh Siti Jenar mengatakan; sebaliknya
hadits itu tidak berlaku bagi orang yang tekun mengerjakan sembahyang
tetapi hatinya masih kotor, tersimpan keinginan-keinginan nafsu misalnya
ingin dipuji orang lain, terdapat ujub dan sombong, serta budinya
menyimpang dan menabrak tatanan yang dilarang.
M ; Apakah ada tuntunan mengenai pakaian seseorang yang sedang melakukan sembahyang ?
S ;
Sesungguhnya aku (Syeh Siti Jenar) tidak sependapat jika ada orang yang
mengenakan pakaian gamis dan meniru-niru pakaian orang Arab dalam
melakukan shalat. Jika selesai shalat, jubah atau gamis itu dilepaskan.
Sedangkan shalat orang tersebut tidaklah menyentuh hatinya. Meskipun
berlama-lama merunduk di masjid, namun masih mencintai duniawi.
Sembahyang yang pakaiannya kedombrangan, merunduk di masjid berlama-lama
sampai lupa anak istri. Sedangkan ia masih menyintai duniawi dan
mengumbar nafsu manusiawinya. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, ia
seringkali menyusahkan orang lain. Maka orang yang demikian itu tidak
terpengaruh oleh sembahyang yang dilakukan. Biasanya tipe orang seperti
itu sibuk menghitung pahala. Dia sangat keliru dan bodoh. Pahala yang
masih jauh tetapi diperhitungkan. Sungguh, sedikit pun tak akan dapat
dicapainya.
M ; Dzat Yang Luhur dan Sejati itu sesungguhnya siapa, wahai Syekh ?
S ;
Gusti Allah. Gusti Allah adalah Dzat yang tinggi dan terhormat. Ia
memiliki dua puluh sifat, semua timbul atas kehendakNya. Ia mampu
mencurahkan ilmu kebesaran, kasampurnan, kebaikan, keramahan,
kekebalan dalam segala bentuk, memerintah umat. Dapat muncul di segala
tempat dan sakti sekali. Aku (Syekh Siti Jenar) merasa wajib dan
menuruti kehendakNya. Sebagaimana ajaran jabariyah, dengan
kesungguhan dan konsekuen, selalu kuat cita-citanya, kokoh tak
tergoyahkan terhadap sesuatu yang tidak suci, berpegang teguh kepadaNya
selama hidup, tak akan menyembah terhadap ciptaanNya, baik dalam wujud
maupun dalam pengertian.
M ; Mengapa Kanjeng Syekh dianggap oleh para wali sebagai wali murtad ?
S ; Karena ajaranku tidak mudah dipahami orang awam.
M ; Bagaimana ajaran Kanjeng Syeh yang dianggap sesat ?
S ;
Aku adalah penjelmaan dari Dzat Luhur, yang memiliki semangat, sakti,
dan kekal akan kematian. Dengan hilangnya dunia Gusti Allah telah
memberi kekuasaan kepadaku dapat manunggal denganNya, dapat langgeng
mengembara melebihi kecepatan peluru. Bukannya akal, bukannya nyawa,
bukan penghidupan yang tanpa penjelasan dari mana asalnya dan kemana
tujuannya.
M ; Apa hubungannya antara kanjeng Syeh Siti Jenar dengan Allah, yang kau sebut sebagai Dzat sejati ?
S ;
Dzat yang sejati menguasai wujud penampilanku. Karena kehendakNya maka
wajarlah jika aku tidak mendapat kesulitan. Aku bisa berkelana ke
mana-mana. Tidak merasa haus dan lelah, tanpa sakit dan lapar, karena
ilmu kelepasan diri, tanpa suatu daya kekuatan. Semua itu disebabkan
jiwaku tiada bandingannya. Secara lahiriah memang tidak berbuat sesuatu,
tetapi tiba-tiba sudah berada di tempat lain. Gusti Kang Murbeng Dumadi
(Allah) yang kuikuti, kutaati siang malam, yang kuturut segala
perintahNya. Tiada menyembah Tuhan lain, kecuali setia terhadap suara
hati nuraniku. Allah Mahasuci.
M ; Wahai Syeh jelaskan apa yang di maksud bahwa Allah itu Maha Suci ?
S ;
Allah Mahasuci itu hanyalah sebatas istilah saja. Merupakan nama saja.
Sebenarnya hal itu dapat disamakan dengan bentuk penampilanku. Jika
kalian melihatku, maka tampak dari luar sebagai warangka (kerangka), sedangkan di dalamnya adalah kerisnya
(intinya) Hyang Agung, yang tak ada bedanya dengan kerangka. Tuhan itu
wujud yang tidak dapat dilihat dengan mata, tetapi dilambangkan seperti
bintang yang bersinar cemerlang. Sifat-sifatNya berwujud samar-samar bila dilihat, warnanya indah sekali seperti cahaya.
M ; Di manakah Tuhan berada ? kami membayangkan Dia ada di langit ke 7 dan bersemayam di atas singgasana layaknya raja.
S ;
Siti Jenar mendadak tertawa. Setelah tertawanya reda, ia berkata, “Itu
salah besar, itu kebodohan. Sesungguhnya Tuhan tidak berada di langit
ketujuh dan tidak bertahta di singgasana atau arsy (Kursi). Bila kalian
membayangkan demikian, maka hati kalian sudah musyrik. Berdosa besar.
Karena kalian menyamakan Dia dengan raja atau dengan penguasa.
M ; Kami jadi bingung, Kanjeng Syekh, lantas Tuhan itu ada di mana ?
S ; Kalau kalian bertanya demikian, maka jawabnya mudah. Gusti Allah itu tidak kemana-mana, tetapi ada di mana-mana.
M ; Kami semakin tak mengerti. Bisakah Kanjeng Syeh memberi penjelasan yang lebih gamblang ?
S ;
Gusti Allah itu berada pada dzat yang tempatnya tidak jauh. Dia
bersemayam di dalam tubuh kita. Tetapi hanya orang yang khowash, orang
yang terpilih dapat melihat. Tentunya dengan mata batin. Hanya mereka
yang dapat merasakannya.
M ; Apakah Allah itu berupa roh atau sukma ?
S ;
Bukan roh dan bukan sukma. Allah adalah wujud yang tak dapat dilihat
oleh mata, tetapi dilambangkan seperti bintang-bintang bersinar
cemerlang. Sudah kukatakan tadi, warnanya indah sekali. Ia memiliki dua
puluh sifat seperti; sifat ada, tak berawal, tak berakhir, berbeda
dengan barang-barang yang baru, hidup sendiri dan tidak memerlukan
bantuan dari sesuatu, berkuasa, berkehendak, mendengar, melihat,
berilmu, hidup dan berbicara. Sifat Gusti Allah yang duapuluh itu
terkumpul menjadi satu wujud mutlak yang disebut dengan Dzat. Sifat
duapuluh itu juga menjelma pada diriku. Karena itu aku yakin tidak akan
mengalami sakit dan sehat, punya budi kebenaran, kesempurnaan, kebaikan
dan keramahan. Roh ku memiliki sifat duapuluh itu, sedangkan ragaku yang
lahiriah memiliki sifat nur Muhammad.
M ; Wahai
Syekh, bukankah Muhammad SAW itu seorang nabi. Apakah Syekh mengaku
sebagai Nabi ? Sedangkan dikatakan bahwa setelah nabi Muhammad, di dunia
ini tidak ada kenabian lagi ?
S ;
Jangan salah menafsirkan kata-kataku. Jika salah, maka kau akan sesat
dan timbul fitnah. Tentu saja memfitnah diriku. Begini, bahwa rohku
adalah roh Ilahi. Karena aku pun memiliki sifat duapuluh. Sedangkan
badan wadag ku, jasadku ini, adalah jasad Muhammad. Dari segi
lahiriah Muhammad adalah manusia. Namun manusia Muhammad berbeda dengan
orang kebanyakan. Muhammad memiliki jasad yang kudus, yang suci. Aku dan
dia sama-sama merasakan kehidupan, merasakan manfaat panca indera. Dan
panca indra itu hanyalah meminjam. Jika sudah diminta
kembali oleh Pemiliknya akan berubah menjadi tanah yang busuk, berbau,
hancur dan najis. Nabi atau wali, jika sesudah kematian jasadnya menjadi
tak bermanfaat. Bahkan berbau, kotor, najis, busuk dan hancur. Warangka jika sudah ditinggalkan kerisnya maka tiada guna.
M ; Jika seseorang sudah mati, berarti selesai sudah kehidupannya ?
S ;
Siapa bilang begitu ? Tidak ! meskipun jasadnya mati, tetapi sebenarnya
ia tidaklah mati. Karena itu, kalian semua harus mengerti bahwa dunia
ini sesungguhnya bukanlah kehidupan. Buktinya ada mati. Di dunia ini,
kehidupan disebut kematian. Coba rasakan ! Aku mengajarkan kepada kalian
untuk tidak menyintai dunia ini dan tidak terpesona terhadap
keindahannya. Carilah kebenaran dan kebahagiaan sejati demi kehidupan
mendatang, kehidupan setelah kematian. Kalian akan berarti jika telah
menemui kematian dan hidup sesudah itu. Engkau harus memilih hidup yang
tak bisa mati. Dan hidup yang tak bisa mati itu hanya kalian rasakan
setelah nyawa terlepas dari badan. Kehidupan itu akan dapat dirasakan
dengan tanpa gangguan seperti sekarang ini. Ketahuilah, hidup yang sesungguhnya adalah setelah nyawa lenyap dari badan.
M ; Agar dapat meraih kehidupan dalam kemuliaan sejati
kelak, dalam kehidupan di dunia ini dibutuhkan kebenaran dan kebahagian
sejati. Bagaimanakah cara mendapatkannya Kanjeng Syekh ?
S ;
Jiwa manusia adalah suara hati nurani. suara hati nurani merupakan
ungkapan Dzat Allah yang harus ditaati perintahnya. Maka ikutilah hati
nuranimu.
M ; Bagaimana caranya meyakinkan bahwa suatu bisikan adalah suara hati nurani yang sesungguhnya ?
S ; Kalian harus cermat, karena hati nurani berbeda dengan akal budi, jiwa itu milik Allah, sedangkan akal milik manusia. Akal
bersifat manusiawi, karena itu kadang-kadang akal tak mampu menemukan
keajaiban Allah. Kehendak, angan-angan, ingatan, merupakan suatu akal
yang tak kebal atas kegilaan. Suatu ketika akal bisa menjadi bingung
sehingga membuat seseorang lupa diri. Akal seringkali tidak jujur. Siang
malam membuat kepalsuan demi memakmurkan kepentingan pribadi.
M ; Bukankah manusia menjadi lebih mulia jika dibandingkan dengan makhluk lainnya, karena manusia diberi akal oleh Allah ?
S ;
Ya, itulah yang membedakan. Tapi jangan lupa bahwa akal seringkali
tidak jujur. Sering bersifat dengki, suka memaksa, melanggar aturan,
jahat, suka disanjung-sanjung, sombong, yang ahirnya membuat manusia
justru tidak berharga samasekali. Lebih hina dari makhluk lainnya.
M ; Jadi kita harus menggunakan akal sesuai dengan jiwa atau kehendak Allah ?
S ;
Ya, benar. Jika seseorang mampu mengendalikan akalnya dengan ajaran
Allah, dengan kebenaran, dan dengan jiwa yang bersih, maka ia
bermanfaat. Menjadikan diri lebih mulia.
M ; Apa yang menghalangi seseorang sehingga gagal dalam dalam menempuh manunggaling kawula-Gusti ?
S ;
Jangan mementingkan kehidupan duniawi. Sebab kehidupan duniawi yang
kalian jalani penuh kotoran. Akal kalian mudah tercemar dengan kotoran
sifat dan mudah dikuasai oleh nafsu, sehingga menghalangi kalian untuk
bisa menuju pada tahap manunggaling kawula-Gusti.
M ; Di dunia ini ada yang cantik, tampan dan gagah. Bagaimana kedudukan orang-orang tersebut jika kelak telah terlepas rohnya ?
S ; Kalian jangan menyintai dan mengagumi bentuk yang cantik, tampan atau gagah. Sebab sebenarnya badan wadag (jasad) laksana sangkar yang mengurung jiwa. Badan wadag merupakan beban yang memberatkan dan menyakitkan roh kalian.
M ; Wahai Syekh, benarkah sesudah kematian ada surga neraka ?
S ;
Para wali memang mengajarkan demikian. Inilah ajaran yang justru
menurutku menyesatkan karena terlalu dangkal. Para wali hanya
mengajarkan “serabut” atau kulitnya, tidak sampai pada isinya; tidak
sampai pada hakikat yang sebenarnya. Para wali mengajarkan bahwa surga
dan neraka hanya dijumpai kelak setelah kiamat. Adanya di akherat. Dan
orang-orang awam menelan mentah-mentah keterangan itu. Siksa kubur hanya
dijumpai dan dirasakan badan wadag ketika di tanam di kuburan.
Para wali memang bertujuan baik, tetapi diputus sampai di situ. Mereka
enggan menjelaskan lebih dalam dan lebih sampai pada makna yang hakiki.
M ; Kalau menurut Syekh bagaimana ?
S ;
Begini, untuk menemui dan merasakan surga dan neraka maka seseorang
tidak harus menunggu sampai mati atau sampai datangnya kiamat. Di dunia
ini saja kita sudah dapat merasakan surga dan siksa neraka. Karena
sesungguhnya surga dan neraka itu berada di dalam jiwa kalian. Berada
di dalam jiwa setiap manusia yang bernafas. Jika jiwa manusia telah
bersih dari gangguan hawa nafsu dan dapat menyatu dengan Gusti Allah,
maka di dunia ini ia akan merasakan suatu kenikmatan surga. Jika budi
kalian, misalnya menolong orang lemah, lalu hati menjadi ikhlas dan
puas, maka itulah yang disebut surga. Sedangkan neraka,
perwujudannya adalah jika hawa nafsu telah menguasai diri seseorang.
Kemudian jiwanya meronta dan merasa bersalah. Maka dia tentu tersiksa.
Ia tidak bisa tidur, gelisah pikirannya, sedih dan bermacam-macam rasa
tak enak. Itulah yang dinamakan neraka.
M ; Jadi surga dan neraka di akherat tidak berlaku ? maksud kami tidak ada ?
S ;
Surga dan neraka di hari kiamat, di akherat kelak, sudah diterangkan
dalam Al Quran. Itu perkara gaib dan erat kaitannya dengan iman. Kalian
harus meyakininya.
M ; Untuk
apa meyakini ? bukankah jika di dunia berbudi baik dan beriman kepada
Allah sudah merasakan surga. Sedangkan surga dan neraka di akhirat
hanyalah bersifat menakut-nakuti manusia agar tidak berbuat buruk ?
S ;
Pendapatmu memang cerdas dan kritis. Namun kalian tidak usah
mempertanyakan, apakah kelak di akhirat ada surga dan neraka. Itu urusan
Gusti Allah. Kalian harus meyakini. Karena meyakini hari akhir
merupakan rukun iman. Sekali lagi, untuk mendapatkan surga pun kalian
tak perlu menunggu datangnya hari akhir. Meskipun seseorang sembahyang
seribu kali setiap hari, toh akhirnya mati juga. Walaupun badanmu kau
tutupi dengan kain surban dan jubah, namun akhirnya menjadi debu juga.
Maka jiwalah yang paling penting. Jika keadaan jiwa seperti Tuhan, maka
surga akan didapatkannya. Kenikmatan luar biasa akan dirasakan.
M ; Wahai
Syeh, sesungguhnya yang menjadi pikiranku adalah sebelum ada dunia ini,
apakah sudah ada dunia lainnya. Atau setelah kiamat, apakah Tuhan
membuat dunia baru lagi seperti sekarang ?
S ;
Sebelum dunia ada, apakah ada dunia lain, itu hanya Allah yang tahu.
Tetapi sekarang kita berada di dunia ini menempati ruang dan waktu.
Dunia ini asalnya adalah baru. Kemudian mengalami kerusakan dan kelak
akhirnya menjadi hancur. Lenyap tak berharga. Setelah kiamat, apakah
Tuhan membuat dunia baru untuk keduakalinya ? Tidak !
M ; Wahai Syekh, kalau begitu dunia erat kaitannya dengan raga kita, sedangkan jiwa erat kaitannya dengan alam akhirat ?
S ;
Benar, dunia itu erat kaitannya dengan raga. Raga mempunyai sifat
seperti alam semesta, yang semula baru kemudian rusak. Sedangkan jiwa
tidak akan mengenal kerusakan karena jiwa merupakan penjelmaan Dzat
Allah. Ketahuilah bahwa raga adalah barang pinjaman yang suatu saat akan
diminta oleh Pemiliknya. Ketahuilah wahai murid-muridku. Raga ini
sesungguhnya sangkar yang membelenggu dan menyulitkan jiwa. Agar jiwa
menjadi bebas, maka suatu saat kelak, kalian akan kuajarai bagaimana
cara melepas jiwa dari raga. Ilmu melepas jiwa artinya bahwa kematian
adalah titik awal kehidupan yang sebenarnya. Jika seseorang raganya
mati, maka jiwanya menjadi merdeka, bebas dan tidak terkungkung lagi.
Sebab raga berhubungan erat dengan alam semesta. Sedangkan jiwa
berhubungan erat dengan Dzat Tuhan. selamanya jiwa tak akan bisa mati
atau rusak.
M ; Apakah yang dimaksud jalan kehidupan, wahai Syekh ?
S ;
Jalan kehidupan adalah jalan menuju kepada hidup yang sebenar-benarnya,
setelah engkau mengalami kematian. Jika seorang bayi lahir, maka
bukanlah awal kehidupan, namun merupakan awal “kehidupan palsu” seperti
yang kalian rasakan saat ini. Inilah yang sesungguhnya kematian sejati.
M ; Jika demikian badan ini tidak bisa merasakan kehidupan yang sebenar-benarnya ?
S ;
Ya, tidak bisa. Kehidupan sejati tidak dapat dirasakan oleh raga,
karena jika raga mati akan tetapi dapat dirasakan oleh jiwa. Membusuk
menjadi tanah.
M ; Bagaimana
jika sekarang ini seseorang berbuat dosa. Apakah jiwanya ikut
bertanggungjawab. Sedangkan yang melakukan dosanya adalah raga.
S ;
Tetap ikut bertanggungjawab, karena jiwa yang menyatu ke dalam raga
tidak bisa mencegah hawa nafsunya serta akal yang suka berbuat buruk.
M ; Maaf saya belum paham Syekh.
S ;
Ketahuilah, setiap orang yang lahir di dunia ini maka jiwanya menyatu
dengan akal. Selain akal dalam diri manusia juga ada hawa nafsu. Ketika
seseorang berbuat buruk, berarti raganya didorong dan dipengaruhi oleh
hawa nafsu dan akalnya. Akal dan nafsu memang suka berbuat
buruk. Apabila jiwa mencegah (melalui hati nurani), maka raga tidak
akan berbuat buruk. Akan tetapi jika jiwa membiarkannya, maka raga tetap
melakukannya. Karena itu bagaimanapun juga jiwalah yang akan
mempertanggungjawabkan perbuatan baik dan buruk raganya.
M ; Tadi Syekh mengatakan jiwa adalah penjelmaan dzat Tuhan. Mengapa kadang-kadang jiwa mau mencegah dan kadang membiarkannya ?
S ;
Perlu kalian semua ingat, bahwa di dalam raga ini terdapat nafsu-nafsu.
Jika nafsu kuat menguasai, maka jiwa menjadi terbelenggu. Karena itulah
mengapa aku katakan bahwa kehidupan sekarang ini adalah kematian.
Sedangkan setelah ajal merupakan awal kehidupan. Sesudah kematian maka
seseorang akan mencapai kebebasan jiwanya.
Ajaran
Syekh Siti Jenar memang agak beda dengan ajaran para wali sanga. Siti
Jenar mengajarkan bahwa Tuhan adalah Zat yang mendasari adanya manusia,
hewan, tumbuhan dan segala yang ada. Keberadaan segala di dunia ini
tergantung pada adanya Zat. Tanpa ada Zat Yang Mahakuasa, maka mustahil
sesuatu yang wujud itu ada.
Ajaran ini tidak pernah disampaikan oleh para Wali Sanga. Mereka menyadari bahwa umatnya masih terlalu awam terhadap Islam, sehingga memberi materi yang ringan dan praktis saja.
Syeh Siti Jenar (Lemah Abang) dalam Mengenal Tuhan
Ajaran
Siti Jenar memahami Tuhan sebagai ruh yang tertinggi, ruh maulana yang
utama, yang mulia yang sakti, yang suci tanpa kekurangan. Itulah Hyang
Widhi, ruh maulana yang tinggi dan suci menjelma menjadi diri manusia.
Hyang
Widhi itu di mana-mana, tidak di langit, tidak di bumi, tidak di utara
atau selatan. Manusia tidak akan menemukan biarpun keliling dunia. Ruh
maulana ada dalam diri manusia karena ruh manusia sebagai penjelmaan ruh
maulana, sebagaimana dirinya yang sama-sama menggunakan hidup ini
dengan indera, jasad yang akan kembali pada asalnya, busuk, kotor,
hancur, tanah. Jika manusia itu mati ruhnya kembali bersatu ke asalnya,
yaitu ruh maulana yang bebas dari segala penderitaan. Lebih lanjut Siti
Jenar mengungkapkan sifat-sifat hakikat ruh manusia adalah ruh diri
manusia yang tidak berubah, tidak berawal, tidak berakhir, tidak
bermula, ruh tidak lupa dan tidak tidur, yang tidak terikat dengan
rangsangan indera yang meliputi jasad manusia.
Syeh Siti Jenar mengaku bahwa, “aku adalah Allah, Allah adalah aku”. Lihatlah, Allah ada dalam diriku, aku ada dalam diri Allah. Pengakuan
Siti Jenar bukan bermaksud mengaku-aku dirinya sebagai Tuhan Allah Sang
Pencipta ajali abadi, melainkan kesadarannya tetap teguh sebagai
makhluk yang diciptakan Tuhan. Siti Jenar merasa bahwa dirinya bersatu
dengan “ruh” Tuhan. Memang ada persamaan antara ruh manusia dengan “ruh”
Tuhan atau Zat. Keduanya bersatu di dalam diri manusia. Persatuan
antara ruh Tuhan dengan ruh manusia terbatas pada persatuan manusia
denganNya. Persatuannya merupakan persatuan Zat sifat, ruh bersatu
dengan Zat sifat Tuhan dalam gelombang energi dan frekuensi yang sama.
Inilah prinsip kemanunggalan dalam ajaran tentang manunggaling kawula Gusti atau jumbuhing kawula Gusti. Bersatunya dua menjadi satu, atau dwi tunggal. Diumpamakan wiji wonten salebeting wit.
Pandangan Syeh Lemah Abang Tentang Manusia
Dalam memandang hakikat manusia Siti Jenar membedakan antara jiwa dan akal. Jiwa
merupakan suara hati nurani manusia yang merupakan ungkapan dari zat
Tuhan, maka hati nurani harus ditaati dan dituruti perintahnya.
Jiwa merupakan kehendak Tuhan, juga merupakan penjelmaan dari Hyang
Widdhi (Tuhan) di dalam jiwa, sehingga raga dianggap sebagai wajah Hyang
Widdhi. Jiwa yang berasal dari Tuhan itu mempunyai sifat zat Tuhan
yakni kekal, sesudah manusia raganya mati maka lepaslah jiwa dari
belenggu raganya. Demikian pula akal merupakan kehendak, tetapi
angan-angan dan ingatan yang kebenarannya tidak sepenuhnya dapat
dipercaya, karena selalu berubah-ubah.
Menurut sabdalangit,
perbedaan karakter jiwa dan akal yang bertolak belakang dalam pandangan
Siti Jenar, disebabkan oleh adanya garis demarkasi yang menjadi pemisah
antara sifat hakikat jiwa dan akal-budi. Jiwa terletak di luar nafsu,
sementara akal-budi letaknya berada di dalam nafsu. Mengenai perbedaan
jiwa dan akal, dalam wirayat Saloka Jati diungkapkan bahwa akal-budi
umpama kodhok kinemulan ing leng atau wit jroning wiji (pohon ada di dalam biji). Sedangkan jiwa umpama kodhok angemuli ing leng atau wiji jroning wit (biji ada di dalam pohon).
Bagi
Syeh Siti Jenar, proses timbulnya pengetahuan datang secara bersamaan
dengan munculnya kesadaran subyek terhadap obyek. Maka pengetahuan
mengenai kebenaran Tuhan akan diperoleh seseorang bersama dengan
penyadaran diri orang itu. Jika ingin mengetahui Tuhanmu, ketahuilah
(terlebih dahulu) dirimu sendiri. Syeh Lemah bang percaya bahwa
kebenaran yang diperoleh dari hal-hal di atas ilmu pengetahuan, mengenai
wahyu dan Tuhan bersifat intuitif. Kemampuan intuitif ini ada bersamaan
dengan munculnya kesadaran dalam diri seseorang.
Pandangan Syeh Lemah Bang Tentang Kehidupan Dunia
Pandangan
Syeh Jenar tentang dunia adalah bahwa hidup di dunia ini sesungguhnya
adalah mati. Dikatakan demikian karena hidup di dunia ini ada surga dan
neraka yang tidak bisa ditolak oleh manusia. Manusia yang mendapatkan
surga mereka akan mendapatkan kebahagiaan, ketenangan, kesenangan.
Sebaliknya rasa bingung, kalut, muak, risih, menderita itu termasuk
neraka. Jika manusia hidup mulia, sehat, cukup pangan,
sandang, papan maka ia dalam surga. Tetapi kesenangan atau surga di
dunia ini bersifat sementara atau sekejap saja, karena betapapun juga
manusia dan sarana kehidupannya pasti akan menemui kehancuran.
Syeh
Jenar mengumpamakan bahwa manusia hidup ini sesungguhnya mayat yang
gentayangan untuk mencari pangan pakaian dan papan serta mengejar
kekayaan yang dapat menyenangkan jasmani. Manusia bergembira atas apa
yang ia raih, yang memuaskan dan menyenangkan jiwanya, padahal ia tidak
sadar bahwa semua kesenangan itu akan binasa. Namun begitu manusia suka
sombong dan bangga atas kepemilikan kekayaan, tetapi tidak menyadari
bahwa dirinya adalah bangkai. Manusia justru merasa dirinya mulia dan
bahagia, karena manusia tidak menyadari bahwa harta bendanya merupakan
penggoda manusia yang menyebabkan keterikatannya pada dunia.
Jika manusia tidak menyadari itu semua, hidup ini sesungguhnya derita. Pandangan seperti itu menjadikan sikap
dan pandangan Siti Jenar menjadi ekstrim dalam memandang kehidupan
dunia. Hidup di dunia ini adalah mati, tempat baik dan buruk, sakit dan
sehat, mujur dan celaka, bahagia dan sempurna, surga dan neraka, semua
bercampur aduk menjadi satu. Dengan adanya peraturan maka manusia menjadi terbebani sejak lahir hingga mati.
Maka Syeh Siti Jenar sangat menekankan pada upaya manusia untuk hidup
yang abadi agar tahan mengalami hidup di dunia ini. Siti Jenar kemudian
mengajarkan bagaimana mencari kamoksan (mukswa/mosca) yakni mati sempurna beserta raganya lenyap masuk ke dalam ruh (warongko manjing curigo).
Hidup ini mati, karena mati itu hidup yang sesungguhnya karena manusia
bebas dari segala beban dan derita. Karena hidup sesudah kematian adalah
hidup yang sejati, dan abadi.
Syeh Siti Jenar Mengkritik Ulama dan Para Santrinya
Alasan
yang mendasari mengapa Syeh Siti Jenar mengkritik habis-habisan para
ulama dan santrinya karena dalam kacamata Syeh Siti, mereka hanya
berkutat pada amalan syariat (sembah raga). Padahal masih
banyak tugas manusia yang lebih utama harus dilakukan untuk mencapai
tataran kemuliaan yang sejati. Dogma-dogma, dan ketakutan neraka serta
bujuk rayu surga justru membelenggu raga, akal budi, dan jiwa manusia.
Maka manusia menjadi terkungkung rutinitas lalu lupa akan tugas-tugas
beratnya. Manusia demikian menjadi gagal dalam upaya menemukan Tuhannya.
Kritik Syeh Lemah Bang Atas Konsep Surga-Neraka
Konsep
surga-neraka dalam ajaran Siti Jenar berbeda sekali dengan apa yang
diajarkan oleh para ulama. Menurut Syeh Siti Jenar, surga dan neraka
adalah dalam hidup ini. Sementara para ulama mengajarkan surga dan
neraka merupakan balasan yang diberikan kepada manusia atas amalnya yang
bakal diterima kelak sesudah kematian (akherat).
Menurut
Syeh Siti, orang mukmin telah keliru karena mengerjakan shalat jungkir
balik, mengharap-harap surga, sedang surga sesudah kematian itu tidak
ada, shalat itu tidak perlu dan orang tidak perlu mengajak orang lain
untuk shalat. Shalat minta apa, minta rizki ? Tuhan toh tidak memberi
lantaran shalat.
Santri
yang menjual ilmu dengan siapa pun mau menyembah Tuhan di masjid, di
dalamnya terdapat Tuhan yang bohong. Para ulama telah menyesatkan
manusia dengan menipu mereka jungkir balik lima kali, pagi, siang, sore,
malam hanya untuk memohon-mohon imbalan surga kelak. Sehingga orang
banyak tergiur oleh omongan palsunya, dan orang menjadi gelisah tak enak
ketika terlambat mengerjakan shalat. Orang seperti itu sungguh bodoh
dan tak tau diri, jikalau pun seseorang menyadari bahwa shalat itu
dilakukan karena merupakan kebutuhan diri manusia sendiri untuk
menyembah Tuhannya, manusia ternyata tidak menyadari keserakahannya;
dengan minta-minta imbalan/hadiah surga. Orang-orang telah terbius oleh
para ulama, sehingga mereka suka berzikir, dan disibukkan oleh kegiatan
menghitung-hitung pahalanya tiap hari. Sebaliknya, lupa bahwa sejatinya
kebaikan itu harus diimplementasikan kepada sesama (habluminannas).
Lebih
lanjut Syekh Siti Jenar menuduh para ulama dan murid mereka sebagai
orang dungu dan dangkal ilmu, karena menafsirkan surga sebagai balasan
yang nanti diterima di akhirat. Penafsiran demikian adalah penafsiran
yang sangat sempit. Hidup para ulama adalah hidup asal hidup, tidak
mengerti hakekat, tetapi jika disuruh mati mereka menolak mentah-mentah.
Surga dan neraka letaknya pada manusia masing-masing. Orang bergelimang
harta, hidupnya merasa selalu terancam oleh para pesaing bisnisnya,
tidur tak nyeyak, makan tak enak, jalan pun gelisah, itulah neraka.
Sebaliknya, seorang petani di lereng gunung terpencil, hasil bercocok
tanam cukup untuk makan sekeluarga, menempati rumah kecil yang tenang,
tiap sore dapat duduk bersantai di halaman rumah sambil memandang
hamparan sawah hijau menghampar, hatinya sesejuk udaranya, tenang
jiwanya, itulah surga. Kehidupan ini telah memberi manusia mana surga
mana neraka.
Syeh
Siti Jenar memandang alam semesta sebagai makrokosmos dan mikrokosmos
(manusia) sekurangnya kedua hal ini merupakan barang baru ciptaan Tuhan
yang sama-sama akan mengalami kerusakan, tidak kekal dan tidak abadi.
Manusia terdiri atas jiwa dan raga yang intinya ialah jiwa sebagai penjelmaan zat Tuhan.
Sedangkan
raga adalah bentuk luar dari jiwa yang dilengkapi pancaindera, sebagai
organ tubuh seperti daging, otot, darah, dan tulang. Semua aspek
keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yang suatu saat, setelah
manusia terlepas dari kematian di dunia ini, akan kembali berubah
asalnya yaitu unsur bumi (tanah).
Syeh Lemah Bang, mengatakan bahwa;
“Bukan
kehendak angan-angan, bukan ingatan, pikiran atau niat, hawa nafsu pun
bukan, bukan pula kekosongan atau kehampaan. Penampilanku sebagai mayat
baru, andai menjadi gusti jasadku dapat busuk bercampur debu, nafasku
terhembus di segala penjuru dunia, tanah, api, air, kembali sebagai
asalnya, yaitu kembali menjadi baru. Bumi langit dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia, manusialah yang memberi nama”.
Kesimpulan
Pandangan
Syeh Lemah Bang; tentang terlepasnya manusia dari belenggu alam
kematian yakni hidup di alam dunia ini, berawal dari konsepnya tentang ketuhanan, manusia dan alam. Manusia adalah jelmaan zat Tuhan. Hubungan jiwa dari Tuhan dan raga, berakhir sesudah manusia
menemui ajal atau kematian duniawi. Sesudah itu manusia bisa manunggal
dengan Tuhan dalam keabadian. Pada saat itu semua bentuk badan wadag
(jasad) atau kebutuhan jasmanisah ditinggal karena jasad merupakan
barang baru (hawadist) yang dikenai kerusakan dan semacam barang
pinjaman yang harus dikembalikan kepada yang punya yaitu Tuhan sendiri.
Terlepas
dari ajaran Siti Jenar yang sangat ekstrim memandang dunia sebagai
bentuk penderitaan total yang harus segera ditinggalkan rupanya
terinspirasi oleh ajaran seorang sufi dari Bagdad, Hussein Ibnu Al
Hallaj, yang menolak segala kehidupan dunia. Hal ini berbeda dengan
konsep Islam secara umum yang memadang hidup di dunia sebagai khalifah
Tuhan.
Pandangan Kejawen Tentang Kehidupan di Dunia
Pandangan Kejawen tentang makna hidup manusia dunia ditampilkan secara rinci, realistis, logis dan mengena di dalam hati nurani; bahwa hidup ini diumpamakan hanya sekedar mampir ngombe,
mampir minum, hidup dalam waktu sekejab, dibanding kelak hidup di alam
keabadian setelah raga ini mati. Tetapi tugas manusia sungguh berat,
karena jasad adalah pinjaman Tuhan. Tuhan meminjamkan raga kepada ruh,
tetapi ruh harus mempertanggungjawabkan “barang” pinjamannya itu. Pada
awalnya Tuhan Yang Mahasuci meminjamkan jasad kepada ruh dalam keadaan
suci, apabila waktu “kontrak” peminjaman sudah habis, maka ruh diminta
tanggungjawabnya, ruh harus mengembalikan jasad pinjamannya dalam
keadaan yang suci seperti semula. Ruh dengan jasadnya diijinkan Tuhan
“turun” ke bumi, tetapi dibebani tugas yakni menjaga barang pinjaman
tersebut agar dalam kondisi baik dan suci setelah kembali kepada
pemiliknya, yakni Gusti Ingkang Akaryo Jagad. Ruh dan jasad
menyatu dalam wujud yang dinamakan manusia. Tempat untuk mengekspresikan
dan mengartikulasikan diri manusia adalah tempat pinjaman Tuhan juga
yang dinamakan bumi berikut segala macam isinya; atau mercapada. Karena bumi bersifat “pinjaman” Tuhan, maka bumi juga bersifat tidak kekal.
Betapa
Maha Pemurahnya Tuhan itu, bersedia meminjamkan jasad, berikut tempat
tinggal dan segala isinya menjadi fasilitas manusia boleh digunakan
secara gratis. Tuhan hanya menuntut tanggungjawab manusia saja, agar
supaya menjaga semua barang pinjaman Tuhan tersebut, serta manusia
diperbolehkan memanfaatkan semua fasilitas yang Tuhan sediakan dengan
cara tidak merusak barang pinjaman dan semua fasilitasnya.
Itulah
tanggungjawab manusia yang sesungguhnya hidup di dunia ini; yakni
menjaga barang “titipan” atau “pinjaman”, serta boleh memanfaatkan semua
fasilitas yang disediakan Tuhan untuk manusia dengan tanpa merusak, dan
tentu saja menjaganya agar tetap utuh, tidak rusak, dan kembali seperti
semula dalam keadaan suci. Itulah “perjanjian” gaib antara Tuhan dengan
manusia makhlukNya. Untuk menjaga klausul perjanjian tetap dapat
terlaksana, maka Tuhan membuat rumus atau “aturan-main“ yang harus
dilaksanakan oleh pihak peminjam yakni manusia. Rumus Tuhan ini yang
disebut pula sebagai kodrat Tuhan; berbentuk hukum sebab-akibat.
Pengingkaran atas isi atau “klausul kontrak” tersebut berupa akibat
sebagai konsekuensi logisnya. Misalnya; keburukan akan berbuah
keburukan, kebaikan akan berbuah kebaikan pula. Barang siapa menanam,
maka mengetam. Perbuatan suka memudahkan akan berbuah sering dimudahkan.
Suka mempersulit akan berbuah sering dipersulit.
Konsep Kejawen Tentang Pahala dan Dosa
dan Pandangan Kejawen tentang Kebaikan-Keburukan
Ajaran
Kejawen tidak pernah menganjurkan seseorang menghitung-hitung pahala
dalam setiap beribadat. Bagi Kejawen, motifasi beribadat atau melakukan
perbuatan baik kepada sesama bukan karena tergiur surga. Demikian pula
dalam melaksanakan sembahyang manembah kepada Tuhan Yang Maha
Suci bukan karena takut neraka dan tergiur iming-iming surga. Kejawen
memiliki tingkat kesadaran bahwa kebaikan-kebaikan yang dilakukan
seseorang kepada sesama bukan atas alasan ketakutan dan intimidasi
dosa-neraka, melainkan kesadaran kosmik bahwa setiap perbuatan baik
kepada sesama merupakan sikap adil dan baik pada diri sendiri. Kebaikan
kita pada sesama adalah KEBUTUHAN diri kita sendiri. Kebaikan akan
berbuah kebaikan. Karena setiap kebaikan yang kita lakukan pada sesama
akan kembali untuk diri kita sendiri, bahkan satu kebaikan akan kembali
pada diri kita secara berlipat. Demikian juga sebaliknya, setiap
kejahatan akan berbuah kejahatan pula. Kita suka mempersulit orang lain,
maka dalam urusan-urusan kita akan sering menemukan kesulitan. Kita
gemar menolong dan membantu sesama, maka hidup kita akan selalu
mendapatkan kemudahan.
Menurut pandangan Kejawen, kebiasaan
mengharap dan menghitung pahala terhadap setiap perbuatan baik hanya
akan membuat keikhlasan seseorang menjadi tidak sempurna. Kebiasaan itu
juga mencerminkan sikap yang serakah, lancang, picik, dan tidak tahu
diri. Karena menyembah Tuhan adalah kebutuhan manusia, bukan kebutuhan Tuhan.
Mengapa seseorang masih juga mengharap-harap pahala dalam memenuhi
kebutuhan pribadinya sendiri ? Dapat dibayangkan, jika kita menjadi
mahasiswa maka butuh bimbingan dalam menyusun skripsi dari dosen
pembimbing, maka betapa lancang, serakah, dan tak tahu diri jika kita
masih berharap-harap supaya dosen pembimbing tersebut bersedia
memberikan uang kepada kita sebagai upah. Dapat diumpamakan pula
misalnya; kita mengharap-harapkan upah dari seseorang yang bersedia
menolong kita..?
Ajaran Kejawen memandang bahwa seseorang
yang menyembah Tuhan dengan tanpa pengharapan akan mendapat pahala atau
surga dan bukan atas alasan takut dosa atau neraka, adalah sebuah
bentuk KEMULIAAN HIDUP YANG SEJATI. Sebaliknya, menyembah
Tuhan, berangkat dari kesadaran bahwa manusia hidup di dunia ini selalu
berhutang kenikmatan dan anugrah dari Tuhan. Dalam satu detik seseorang
akan kesulitan mengucapkan satu kalimat sukur, padahal dalam sedetik itu
manusia adanya telah berhutang puluhan atau bahkan ratusan kenikmatan
dan anugerah Tuhan. Maka seseorang menjadi tidak etis, lancang dan tak
tahu diri jika dalam bersembahyang pun manusia masih menjadikannya
sebagai sarana memohon sesuatu kepada Tuhan. Tuhan tempat meminta,
tetapi manusia lah yang tak tahu diri tiada habisnya meminta-minta.
Dalam sikap demikian ketenangan dan kebahagiaan hidup yang sejati akan
sangat sulit didapatkan.
Sembahyang tidak lain sebagai cara mengungkapkan rasa berterimakasihnya kepada Tuhan. Namun demikian ajaran
Kejawen memandang bahwa rasa sukur kepada Tuhan melalui sembahyang atau
ucapan saja tidak lah cukup, tetapi lebih utama harus diartikulasikan
dan diimplementasikan ke dalam bentuk tindakan atau perbuatan baik
kepada sesama dalam kehidupan sehari-harinya. Jika Tuhan
memberikan kesehatan kepada seseorang, maka sebagai wujud rasa sukurnya
orang itu harus membantu dan menolong orang lain yang sedang sakit atau
menderita.
Itu lah pandangan yang menjadi dasar Kejawen bahwa menyembah Tuhan, dan berbuat baik pada sesama, bukanlah KEWAJIBAN (perintah) yang datang dari Tuhan, melainkan diri kita sendiri yang mewajibkan.
Sumber : http://sabdalangit.wordpress.com
No comments:
Post a Comment