Saturday, June 4, 2011

PUITIKA LINGUISTIK : ANTARA KEJERNIHAN STRUKTUR DAN KABUT MAKNA Effendi kadarisman


PUITIKA LINGUISTIK :
ANTARA KEJERNIHAN STRUKTUR DAN KABUT MAKNA
Effendi kadarisman

MAKALAH REVIEW
DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS
MATAKULIAH BAHASA INDONESIA KEILMUAN

Dosen Pembimbing : Dr. Gatot Sarmidi, M,pd

Oleh
Nama : Agus Priyono
N.I.M : 090401080002











UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
DESEMBER 2009


Pengertian puitika berbeda –beda, karena istilah ini berkaitan dengan linguistik dan sastra sekaligus, dan memiliki arti sempit dan luas dalam kaitanya dengan keduanya. Maka, setidak – tidaknya ada empat pengertian yang berbeda
Puitika Jakobson mempunyai kekuatan dan kelemahan
Sebagai seorang bahasawan fungsionalis, Jacobson (1960) tidak bisa menerima teori linguistik formal yang hanya peduli pada struktur bahasa dan hanya dengan demikian mengabaikan fungsi utama bahasa,yakni sebagai alat komunikasi verbal. Linguistik formal yang cenderung matematis hanya mau melihat fenomena kebahasaan yang lugas dan obyekti. Yang memilki makna makna denotatif yang jelas dan tidak “dikotori” oleh serpih-serpih makna konotatif atau nuansa emotif yang subjektif. Dan yang lazimnya dipenuhi oleh makna konotatif dan makna emotif adalah bahasa puitis. Analisis strutural terhadap I LIKe Ike, dan terhadap teks puisi serius maupun sajak mainan anak-anak diatas mengisyaratkan dua klaim, teojar dan praktis. Pertama secara teoritis bahasa puitis adalah bagian wajar dantak terpisahkan dari bahasa ilmiah pada umunya. Jika tgas linguistik adalah mengkaji bahasa alamiah maka ia tidak bisa mengelakkan diri dari mengkaji bahasa puitis. Karena sifatnya yang khusus bahasa puitis menjadi objek kajian puitika, merupakan bagian tak terpisahkan dari linguistik. Kedua tahap praktis, analisis struktural yang terutama mengutamakan perhatian pada bentuk dan struktur bahasa dapat mencapai ketuntasan pemerian, selama bahasawan peneliti memiliki pengetahuan linguistik yang memadai. Namun, klaim yang kedua ini masih harus dipertanyakan keabsahannya. Kalimat ini terdiri dari lima kata. Kata yang tengah, cap,terdiri dari satu suku kata. Sedangkan kedua frasa yang mengapit dari kanan-kirinya, masing-masing terdiri dari dua kata dan setiap kata terdiri dari dua suku kata. Yang mencemaskan adalah bila setelah memberikan pemerian strutur tersebut, kita juga akan mengambil kesimpulan yang mirip dengan kesimpula Jakobson.
Culler (1975) juga memberiakan kritik terhadap teori pitika Jakobson. Secara struktural memang benar bahwa tidak akan ada keindahan puitis tanpa hadirnya bentuk atau bahasa puitis. Tetapi bila kita mencoba menjelaskan keindahan puitis itu hanya dengan mengandalkan ketajamannya pisau analisis untuk membedah struktur kita bisa terjebak. Dalam kutipan dari Hamlet di atas (to be ot not to be ) misalnya, tidak da kosa kata yang puitis atau emotif. Oleh karena itu, culler menyarankan agar kajian puitika dimulai dari efek atau makna puitis. Berangkat dari makna puitis inilah, kemungkinan besar kita bisa memberikan penjelasan yang bersifat struktural meskipun ini bukan jaminan mutlak untuk bisa menjawab pertanyaan : mengapa kalimat atau kutipan ini terdengar indah dan mengesankan?
Ringkasanya, linguistik mengalami kesulitan bagaimana harus menjelaskan “makna puitis” dalam teks sastra. Jacob son mencoba memecahkan kesulitan ini secara struktural, dengan teori puitikanya yang melihat teks sastra sebagai bahasa yang memiliki fungsi puitis. Tetapi analisis Jacob Son inipun bukan tanpa masalah. Keasikan mengupas bentuk dan struktur bisa seperti keasikan mengupas bawang, lapis demi lapis, untuk menemukan intinya.
Simbolisme bunyi bahasa dan Gema puitis
Dalam kaitanya dengan bahasa puitis, mudah diduga bahwa aspek bunyi dari puisilah yang mudah diamati dan dijelaskan oleh linguistik. Apa yang dapat dikatakan oleh linguistik, khususnya fonetik dan fonologi,mengenai puisi seperti ini ? Sebagaimana penjelasanya terhadap struktur bunyi dan frasa di atas. Fonetik dan fonologi bisa banyak memberikan penjelasan. Dalam puisi d atas memang tak ada kata-kata yang melanggar kaidah fonotaktik atau kaidah penyusunan urutan bunyi atau fonem dalam kata. Tetapi mengapa kata yang terdengar aneh? Ada dua sebab. Pertama, dalam kutipan itu banyak kata yang terdiri dari Empat atau lima dan bahkan enam suku kata. Bagaimana dengan makna puisi sutarji itu ? dalam fonetik dan fonologi ada istilah fonetik dan simbolisme dan sound symbolis yang berarti bunyi secara langsung menyatakan makna.
Berdasarkan kaidah-kaidah mengenai makna bunyi yang dikemukakan oleh simbolisme bunyi bahasa tersebut maka, arti dari dari “ Husspuss” di atas dapat dijlaskan atau diduga-duga. Jadi,arti tepatnya bagaimana? Arti tepatnya tidak ada, yang ada hanya arti impresif dan auditif yang ditimbulkan bunyi puisi tersebut.
Sebagai bandingan, perhatikanlah kata-kata nonsen berikut : Bindu, tanggil, lapin, kiatu, jirapa,sembangin, yang semuanya terbaca atau terdengar sperti kata dalam bahasa indonesia, tetapi tidak memiliki arti. Dalam bahasa, memang bisa menciptakan kata-kata nonsen yang seolah-olah ada artinya. Dalam pembicaraan mengenai makna bunyi dalam puisi, ada istilah euphony dan cacophony (kennedy 1990 : Perrine dan arp 1984 ).
Eufoni adalah : bunyi lunak atau lembut yang menyarankan kelembutan dan kehalusan, sedangkan kakofoni adalah : bunyi kasar dan keras yang menyarankan kekasaran keganasan atau kekejaman. Contoh Eufoni adalah : Calm is the sea, the waves work less and less. Dan contoh Kakofoni adalah : Grate on their scrannel pipes of wretched straw. Singkatnya, lapis bunyi adalah aspek puitika yang palin mudah dijelaskan oleh linguistik. Dan di sinilahletak kekuatan modelanalisis Jacobson.
MEMBIDIK MISTERI, MENEMBAK KABUT
Dalam komunikasi lisan yang kita lakukan sehari-hari, fungsi utama bahasa adalah refrensial. Artinya, sebagai alat komunikasi, bahasa berfungsi membungkus pesan dan mengantarkan pesan itu bolak-balik antara pembicara dan lawan bicara. Puisi bahasa egoistis, yang bentuknya menyimpang dari bentuk lazim demi keelokanya sendiri bukan sekedar berfungsi refrensial. Ia tidak hanya berfungsi menyampaikan pesan, tetapi menyodorkan totalitas pengalaman. Dan maksud ini, puisi tidak hanya melibatkan pemahaman, tetapi juga melibatkan kepekaan indrawi, ketajaman perasaan, dan keliaran imajinasi. Maka yang refrensial-intelektual, sensual, emosional dan imajinatif seluruhnya hadir bersama-sama sebagai totalitas.
Secara semantik, kaitan antara judul dan isi nampak samar-samar saja, bahkan cenderung misterius. Kata malam jelas berkaitan dengan bulan dan karena lebaran jatuh pada awal bulan syawal, tentunya bulan di sini adalah bulan mudah tetapi mengapa “di atas kuburan” apa hubungan antara malam lebaran dan “bulan di atas kuburan”. Menurut penyairnya, pada suatu malam lebaran dia mengunjungi seorang sahabatnya untuk saling bermaaf-maafan. Ternyata teman itu tidak ada di rumah. Sewaktu pulang, dia melewati kuburan dan melihat bulan mudah bergayut di atasnya maka lahirlah puisi yang super pendek itu.
PENUTUP
Dengan menggunakan metode puitika Jacobson, dengan mudah kita dapat menjaring tubuh puisi, namun sering luput menangkap rohnya. Ini bukan hanya menunjukan kelemahan teori Jacobson, melainkan juga mengisyaratkan betapa samardan ilusfnya makin puitis. Sebagai catatan akhir, ada hal yang tidak boleh kita lupakan : linguistics dan poetics, makalah Jacobson kini menjadi klasik itu, tiada habis-habisnya memberikan pencerahan kepada para sarjana bahasa maupun sarjanah sastra yang ingin menautkan linguistik dengan sastra atau sebaliknya















KOMENTAR
  1. Isi dari Jurnal penelitian ini kurang begitu bisa dipahami karena dalam pemakaian bahasa lebih menonjolkan bahasa inggris sehingga tidak semua orang bisa memahami maksud dari jurnal tersebut.
  2. Susunan kalimat cukup baik, masih menunjukan EYD yang benar sehingga jurnal ini cukup mengikuti perkembangan jurnal masa kini.

No comments: