Monday, June 6, 2011

TRADISI NYEKAR di JAWA


TRADISI NYEKAR
 
Pada masyarakat Jawa, dikenal istilah ”Nyadran” atau ”Nyekar”. Sebuah istilah yang mengandung arti mengunjungi makam keluarga yang telah meninggal. Kegiatan Nyadran atau Nyekar marak dilakukan pada bulan-bulan menjelang bulan suci Ramadhan. Pada saat itu, biasanya peziarah menabur bunga di atas makam, sambil membaca doa bersama-sama.
TUJUAN DILAKSANAKANNYA TRADISI NYEKAR
1. MENGUATKAN ORIENTASI HIDUP
Menabur bunga ke makam, jika dirunut-runut asal-muasalnya, ternyata bukan tradisi Islam, melainkan tradisi Jawa, atau daerah lain, yang bersentuhan dengan tradisi Hindu.
Dalam Islam, nyekar ke makam adalah memanjatkan doa, tidak menggunakan apa-apa. Ritual berdoa di makam leluhur sambil membakar kemenyan, dupa, dan melakukan sesaji di makam adalah pengaruh Hindu, Buddha, Cina, dan kepercayaan lokal.

“Tradisi nyekar seperti yang dilakukan banyak orang Indonesia, sangat mungkin adalah pengaruh Hinduisme. Orang Hindu banyak sekali menggunakan bermacam-macam bunga, baik untuk ritual sesaji sehari-hari, perayaan hari besar, upacara perkawinan, kematian, dan lainnya. Masing-masing upacara membutuhkan jenis dan komposisi bunga yang berbeda,” kata kandidat doktor Ilmu Perbandingan Agama dari Temple University, AS, ini. Dalam tradisi Hindu, sesaji dilengkapi unsur-unsur bunga, yang bermakna persembahan terhadap dewa-dewa. Dalam konteks ini, nyekar bisa dilihat sebagai rangkaian bermacam-macam sesaji yang dikenal oleh penganut Hinduisme.
Orang Hindu percaya, setelah meninggal, tubuh manusia akan kembali kepada unsur-unsurnya semula, yakni tanah, air, dan api. Sementara jiwanya akan mengalami proses yang berbeda. Kalau hidup seseorang baik, dia akan dilahirkan kembali dalam keadaan yang lebih baik. Kalau terjadi sebaliknya, kehidupan berikutnya akan ’turun derajat’.
Setiap orang dilahirkan menurut karma masing-masing. Atau, jika sempurna, akan meraih moksa, lepas dari lingkaran reinkarnasi dalam kehidupan di dunia ini.
Pemeluk Hindu di Bali tak punya tradisi nyekar. Sebelum upacara ngaben, makam orang yang meninggal tetap diziarahi, sambil membawa sesajen, karena ia dianggap masih ‘tidur.’ Setelah diaben, keterikatan antara keluarga dan makam tak ada lagi.
“Jadi,  ziarah dalam tradisi Hindu, bisa dipahami sebagai tindakan untuk mengenang para leluhur sebagai cermin kehidupan dan tambatan tentang asal-usul seseorang. Maknanya sama sekali berbeda, jika dibandingkan dengan nyekar yang dilakukan pemeluk Islam. Hindu tidak mengenal tradisi mendoakan arwah. Surga dan neraka juga tidak ada,” kata Munjid. Dilihat dari perspektif itu, Munjid menyimpulkan, awal mula nyekar bisa dibilang kombinasi kreatif akulturasi antara tradisi sesaji Hinduisme dan praktik ziarah Islam. Meski pada praktiknya, nyekar yang dilakukan umat Islam menjadi lebih dominan sesuai dengan proses yang dialami masyarakat. Tentang bunga untuk nyekar, Munjid berkomentar, kebanyakan agama dunia telah lama mengenal bunga sebagai bagian dari upacara pemakaman atau acara untuk mengenang yang telah meninggal. Di Barat, agama Kristen telah lama menggunakan bunga sebagai bagian dari upacara kematian. Bagi banyak orang, nyekar tak hanya dilakukan pada bulan Ruwah. Sejumlah hal mendorong orang untuk datang ke makam leluhur. Misalnya, ketika sedang gamang, akan menggelar hajat, menghadapi krisis, atau sedang akan mengambil keputusan besar dalam hidupnya. Mengapa demikian? Munjid mengatakan, ”Maknanya lebih agar seseorang tak lupa tentang hakikat hidup yang sedang dijalaninya. Juga, agar ia tak mengalami disorientasi, tidak terperangkap oleh cul-de-sac kenyataan hidup. Sejatinya, ketika seseorang nyekar ke makam orang tua, ia sedang mengikuti proses pengukuhan kembali keyakinannya dengan menggunakan makam orang tua atau leluhur sebagai tambatan sekaligus cermin.”
Sebagai tambatan, karena setiap individu berasal dari orang tua dan leluhurnya yang sudah meninggal. Melalui mereka, seseorang mengenal asal-usul, baik yang bersifat lahir maupun batin. Keberadaan mereka yang telah meninggal, dan kehidupan dunia yang telah dilewati, juga merupakan cermin mengenai hakikat hidup yang sedang dijalani pelaku nyekar. Sebagai contoh, Megawati Soekarnoputri nyekar sebelum memutuskan untuk maju mencalonkan diri sebagai presiden pada periode lalu.

2. BUKAN MINTA SOLUSI INSTAN
Ada kebingungan di antara sebagian masyarakat, tentang perlu tidaknya nyekar ke makam. Ada yang bilang, jika ingin mendoakan almarhum, sebenarnya kan, bisa berdoa dari rumah. Damardjati berpendapat, menjalani ritual ke makam atau tidak, membawa bunga tertentu atau tidak, sebenarnya itu bukanlah esensinya. “Kalau seseorang tidak bisa memaknai tradisi nyekar, berarti nyekar-nya hanya ritual saja. Tetapi, jika ia bisa mengambil makna dari tradisi itu, ia akan bisa menggapai ’keabadian’ dalam masa hidup yang begitu pendek di dunia,” kata Damardjati. Idealnya, setelah nyekar, seseorang akan berubah menjadi pribadi yang lebih baik. “Melestarikan nama baik leluhur, itu yang lebih penting daripada menabur bunganya. Minimal mengenang sisi baik orang yang sudah meninggal, lalu bertekad untuk menjadi lebih baik, insya Allah akan beramal yang abadi,” tuturnya, bijak. Damardjati menggarisbawahi, nyekar itu untuk orang yang hidup, bukan untuk yang sudah meninggal. Agar yang masih hidup berhati-hati dalam hidupnya, dengan mengambil hikmah dari riwayat hidup yang sudah meninggal. ”Mereka yang meninggal, ketentuannya sudah di tangan Tuhan. Menurut agama Islam, hal yang bisa sampai kepada orang mati hanya tiga perkara, antara lain, amal jariah, anak saleh, dan ilmu yang bermanfaat,” lanjutnya. Damardjati punya persepsi unik tentang nyekar. Menurutnya, nyekar juga berarti mendendangkan lagu-lagu kehidupan. Dalam budaya Jawa, semua termaktub dalam nama-nama tembang macapat. Macapat sendiri mengandung makna yang sangat tinggi. Urutannya adalah sebagai berikut:
1. Mijil (berarti lahir).
2. Sinom, agar wanita menjadi sinom perdopo dan pria menjadi maskumambang (masa pertumbuhan, menyerap ilmu sebanyak-banyaknya).
3. Asmorondono (cinta kasih).
4. Dandanggula (bisa membedakan mana gula, mana yang manis, semua gula pasti manis, tapi tidak semua yang manis itu gula).
5. Durma (darma, berbuat baik pada sesama).
6. Pangkur (menyingkirkan hawa nafsu dan angkara murka)
7. Gambuh (memasuki kehidupan pernikahan).
8. Megatruh (dari kata megat – memutus- roh, semua makhluk hidup akan menghadapi fase kematian).
9. Kinanti (menjadi tujuan hidup, yakni menjadi hamba yang disayang Allah).

Karena itu, ritual nyekar, sejatinya adalah sebuah perilaku simbolis dari filosofi tersebut. ”Sebaiknya, nyekar jangan hanya berhenti pada upacaranya saja, tetapi juga dihayati sebagai filosofi hidup yang diterapkan dalam perilaku kehidupan sehari-hari,” kata Damardjati. Munjid memandang, orang yang tak mempraktikkan tradisi nyekar, tentu tak berarti salah. Dan orang yang melakukan nyekar, tidak dengan sendirinya benar. Masing-masing kembali pada niat dan pemahaman mereka. Masyarakat muslim di Lombok, misalnya, punya tradisi nyekar ke makam para ulama terpandang, setiap Idul Fitri dan Idul Adha. Selain berdoa, mereka juga melakukan silaturahmi dengan sesama peziarah di kompleks pemakaman. Hanya saja, Munjid menyayangkan, masih adanya orang yang mempraktikkan nyekar secara keliru. Seolah-olah, orang yang sudah di alam kubur bisa memberikan solusi instan atas berbagai persoalan hidup yang sedang dirundungnya. Mereka datang ke makam untuk mengadu, merengek, meminta solusi dengan membawa sesaji. Bukan untuk berdoa dan menjernihkan batin agar bisa memahami hakikat hidup seperti yang diajarkan oleh tradisi tasawuf.
”Kalau kemudian peziarah ini meraih hajat hidupnya, entah karena sebab yang mana, ia akan datang lagi, terkadang untuk memugar makam. Makanya, banyak makam yang dibuat megah, karena tindakan begitu. Ini terjadi sejak lama di mana-mana.”
“Yang keliru, dan perlu dikritik, adalah jika ada kelompok yang tak paham tradisi ziarah namun dengan sewenang-wenang menghakimi, dan mengatur-atur praktik ziarah yang dilakukan orang lain, semata berdasarkan pemahaman sendiri. Lantas, mereka memosisikan diri seolah-olah pandangannyalah yang paling benar dan harus diikuti semua orang. Sikap demikian bukan cuma dikritik, tapi harus ditolak,” ujarnya, tegas.