NAMA : AGUS PRIYONO
N.P.M :090401080002
RANGKUMAN
Schemerhon dalam Purwanto (2007) mendefinisikan kelompok etnik sebagai kolektiva yang memiliki persamaan asal nenek moyang, baik secara nyata maupun semu, memiliki pengalaman sejarah yang sama, dan suatu kesamaan fokus budaya yang terpusat pada unsur-unsur simbolik yang melambangkan persamaan ciri-ciri fenotipe, religi, bahasa, pola kekerabatan, dan gabungan unsur-unsur itu. Dalam konteks perenungan ini, dinamika dan kompleksitas fenomena keetnikan dan kebahasaan khususnya, dipersoalkan dan dikaji dalam perspektif linguistik ekologi dan ekolinguistik kritis (lihat Fill, 2004). Kendati di dalam keetnikan itu termasuk pula sejumlah komponen terkait seperti asal-muasal, ras, tradisi, dan budaya, namun bahasan ini dibatasi hanya pada relasi keduanya, etnik dan bahasa, dalam dimensi ruang hidup dan gerak waktu (momen) yang terbatas pula.
Dengan kekuatan budaya ilmu yang jujur, rasional, dan objektif diharapkan akar permasalahan ketidakseimbangan, ketetidaksetaraan, ketidakadilan, dominasi, dan hegemoni intraetnis dan antaretnis yang mengganggu hak hidup keetnikan sebagai pilar penyangga keutuhan bangsa, (termasuk hibriditas lintas etnik dengan diasporanya di pelbagai wilayah Nusantara yang menghadirkan pijinisasi dan kreolisasi), dapat diatasi dengan penuh respek, toleransi, dan arif.
Ekologi etnik atau ekologi manusia adalah lingkungan hidup buatan yang juga menjadi ekologi bahasa dan ragam-ragamnya. Kategori nomina nyata yang melambangkan bahan bangunan dan pemukiman misalnya, atau juga verba proses pemanfaatan sumber daya hutan untuk pembangunan rumah dan ruang pemukiman misalnya, seperti juga budaya makanan-kuliner, terekam secara verbal (band. Preziosi, 1984:47-49) dalam bahasa etnik. Secara kreatif, bahasa memang merekam pengalaman dan merefleksikan kenyataan yang ada di lingkungan (lihat Halliday, 2001).
Kenyataan juga menunjukkan bahwa secara sosio-psikologis telah terjadi ketidakseimbangan kedwibahasaan di Indonesia. Bahasa Indonesia, bahkan juga bahasa asing, sangat kuat pengaruh dan lebih tinggi prestisenya, mendominasi kehidupan kebahasaan sehingga bahasa-bahasa etnik yang menjadi simbol dan perekat jiwa keetnikan, kian kerdil tumbuhnya, kian lemah daya tahannya karena kian jarang penggunaannya secara mendalam, apalagi dikaitkan dengan dinamika kebudayaan Indonesia dan derasnya arus budaya global.
Dalam konteks perbincangan ini, komponen pengikat dan penanda (marker) keetnikan dalam praktik budaya dan diskursus sosial, yang tiada lain adalah bahasa-bahasa etnik, semisal bahasa Batak, bahasa Minang, bahasa Melayu, bahasa Aceh, bahasa Lampung, bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Bali, bahasa Madura, bahasa Sasak, bahasa Bima, bahasa Sawu, bahasa Roti, bahasa Sika, bahasa Lamaholot, bahasa Bugis, bahasa Bajo, bahasa Biak Numfor, dan sebagainya, masing-masing dengan sejumlah dialeknya, menjadi fokus kajian akademis yang sangat penting. Kekayaan bahasa dalam pelbagai tatarannya, adalah gambaran tentang kekayaan budaya dan kekayaan lingkungan alamnya. Sebelum bahasa-bahasa etnik yang kecil mati, dan sebelum punah pula sumber daya alam yang disimbolisasikan secara verbal itu, perekaman khazanah budaya keetnikan dan kekayaan sumber daya lingkungan secara ekoleksikografis, menjadi sangat mendesak dan strategis.
Ketidakserasian hubungan dalam komunitas etnik yang juga komunitas tutur dengan lingkungan alam, berakar pula dari “penyalahgunaan” energi bahasa dan juga bertautan dengan disfungsi bahasa secara sosioekologis karena di balik sistem kode kebahasaan tersimpan makna dan nilai kultural dan natural. Fungsi simbolis dan makna referensial kode-kode lingual menjadi kabur oleh waktu, terutama oleh gerusan arus budaya global. Keterpinggiran dan ketercerabutan akar lokal berdampak pada kegoyahan jati diri kolektif, baik pada jenjang lokal keetnikan maupun jati diri sebagai bangsa Indonesia yang plural.
No comments:
Post a Comment